Al Bay dan Istishna’

Al Bay’

Manusia Allah SWT ciptakan lengkap dengan segala potensi untuk menopang hidupnya termasuk keinginan memiliki harta, karena harta salah satu sebab yang bisa mendatangkan kemashlahatan bagi manusia.

Miskin atau kayanya seseorang tidak akan menghilangkan perasaan cinta harta (hubbud tamaluk) ini, karena perasaan tersebut suatu yang fitri yang muncul dari naluri mempertahankan hidup (gharizah baqa’).  Ketika miskin ia tidak ingin terus miskin dan seseorang yang keadaannya sudah tidak miskin alias kaya, ia ingin lebih kaya lagi.

Cara tersebut dengan perniagaan atau jual beli, di mana Allah SWT berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali melalui perniagaan yang didasarkan kerelaan di antara kalian” (TQS. An Nisa [4]:  29).

Adapun yang termasuk perniagaan (tijarah) ada 2 macam, yakni pertama adalah perniagaan yang halal disebut jual beli (al bay’) dan kedua adalah perniagaan haram yaitu riba.  Allah SWT sangat tegas membedakan dua perniagaan ini, bahkan sampai memberikan status kufur atas orang-orang yang mengingkari perbedaan antara jual beli dan riba. Allah SWT berfirman :

“Hal itu karena mereka benar-benar telah mengatakan bahwa jual beli itu juga seperti riba” (TQS. Al Baqarah [2] : 275).

Dan Allah SWT menegaskan perbedaan antara jual beli dan riba dengan menyatakan halal dan haram.

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (TQS Al Baqarah [2] : 275).

Jelaslah bagi seorang Muslim termasuk kalangan pengusahanya bila ingin mengembangkan harta tidak boleh mengembangkannya melalui perniagaan (tijarah) haram yakni riba, melainkan harus dengan cara halal yaitu jual beli.

Istishna’

Istishna’ adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna’a-yastashni’u. Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Adapun dalam istilah syar’i, istishna’ termasuk dalam jual beli (al bay’) di mana para ulama fikih menggolongkan bay’ istishna’ ke dalam bay’ salam.

Bay’ Salam adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Dalam pelaksanaannya pembeli melakukan pembayaran penuh di muka sementara penjual akan menyerahkan barang secara penuh di akhir. Biasanya komoditas yang ditransaksikan adalah komoditas pertanian seperti padi, buah-buahan, dan sebagainya.

Adapun bay’ istishna’ adalah pembelian barang dengan pembayaran bertahap sesuai dengan progres pembuatan barang pesanan misalkan dengan memberikan uang muka di depan dan pelunasannya di akhir setelah barang pesanan selesai dibuat atau dicicil tahap demi tahap tertentu atau seluruh pembayaran dilakukan di belakang. Transaksi jenis ini biasanya untuk produk manufaktur seperti gedung, mobil, perabotan rumah dan sebagainya.

Hukum bay’ istishna’ adalah boleh atau mubah berdasarkan firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya….” (TQS. Al-Baqarah [2] :282)

Dalam istishna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku disediakan oleh pemesan dan dia meminta dibuatkan barang tertentu dengan bahan baku tersebut, maka akadnya berubah menjadi ijarah bukan jual beli.

Sementara manufaktur  hukumnya juga boleh dan telah dinyatakan oleh Sunnah. Rasulullah SAW pernah membuat cincin. Anas ra menyatakan:

“Rasulullah SAW pernah membuat sebuah cincin” (HR. Bukhari).

Rasul SAW juga pernah membuat mimbar. Sahal ra berkata :

“Rasulullah SAW pernah mengutus seseorang kepada seorang wanita untuk memerintahkan putranya yang tukang kayu agar membuat untukku” (HR. Bukhari).

Muslim terutama pengusaha Muslim di masa sekarang akan berinteraksi dengan kegiatan transaksi jual beli dan manufaktur seperti dijelaskan di atas.  Oleh karena itu Syeikh Taqiyuddin An Nabhani secara khusus menuangkan pembahasan tersebut dalam bab Al Bay’ Wal Istishna’ di buku Nidzam Iqtishadiy Fil Islam.

Dalam bukunya Nidzam Iqtishadiy fil Islam beliau mengingatkan bahwa walaupun industri manufaktur telah berkembang menjadi industri modern, bukan berarti hukum-hukum Islam tidak mengatur aspek-aspek kegiatan manusia di dalamnya.  Industri modern maupun tradisional yang manual tidak akan lepas dari hukum-hukum kerja sama usaha (syirkah), jasa, jual beli dan perdagangan luar negeri.

Saat seseorang ingin mendirikan industri manufaktur modern, hampir bisa dipastikan sebagian besar industri didirikan dengan kerja sama modal dari sejumlah orang.  Bila kondisinya demikian maka berlaku hukum kerja sama usaha islami (Asy Syirkah Al Islamiyah).  Adapun dari segi administrasi, kerja dan proses pembuatan barang berlaku hukum-hukum seputar ijarah atas pekerjanya, sementara dari segi pengelolaan hasil produksi akan terikat dengan hukum-hukum jual beli dan perdagangan luar negeri.

Dari uraian di atas kita menyadari sebagai seorang Muslim dan pengusaha sudah selayaknya mempelajari aspek-aspek akad dan transaksi berdasarkan hukum syariat Islam dengan detil, mengingat perkembangan dunia usaha dan manufaktur yang semakin kompleks dan luas.

About Author

Categories