Beginilah Penjelasan Sekufu dalam Menikah

pernikahan-dalam-islam

Beginilah Penjelasan Sekufu dalam Menikah

Oleh: M. Saiyid Mahadhir, Lc.,MA

Se-kufu’ adalah istilah yang sering disebut dalam obrolan dalam tema pernikahan. Secara bahasa istilah ini diambil dari bahasa Arab yaitu Al-Kafa’ah (الكفاءة). Jika dirujuk ke dalam kamus besar Lisan Al-Arab, Ibnu Manzhur (w. 711) memberikan keterangannya bahwa kata ini berarti misal, padanan, atau tandingan (النظير), contoh penggunaannya seperti ungkapan Hasan bin Tsabit berikut:

ورُوحُ القُدْسِ لَـيْسَ لَهُ كِفَاءُ

“Malaikat Jibril itu tidak ada yang semisalnya (tandingannya)”

Jadi istilah se-kufu’ maksudnya adalah sepadan, sesuai, semisal. Sepadan disini adalah kesepadanan antara calon suami dan calon istri satu dengan yang lainnya, dan kesepadanan yang dimaksud bisa ditinjau dalam banyak aspek.

Kadang kala kesesuaian itu bisa dilihat dari fisik. Jika ada laki-laki yang ganteng semestinya ia sepadan dengan gadis yang cantik. Jika ada perempuan yang berdarah biru, biasanya ia juga akan sepadan degan laki-laki yang juga berdarah biru. Jika ada laki-laki terpelajar ia akan pas jika menikah dengan perempuan yang juga berpendidikan.

Walaupun ada saja cinta yang tertambat yang jika kita amati seakan antara keduaya tidak ada kesesauin yang nyata. Tidak sedikit perempuan cantik justru menikah dengan laki yang biasa saja (untuk tidak menyebut jelek), pun begitu dengan laki-laki kaya, kadang malah menyukai perempuan yang biasa-biasa saja.

Ayat Al-Quran

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”

Tema Ayat

Surat An-Nur secara umum memang memberikan banyak pengajaran tentang tema kesucian, oleh karenanya para ulama sering berpesan agar perempuan muslimah sering membaca surat ini; surat cinta dari Sang Pencipta tentang kesucian, walaupun dilain pihak laki-laki dianjurkan untuk sering mentadaburi surat At-Taubah yang banyak memberikan pengajaran tentang pentingnya sebuah kejujuran, agar diri jauh dari sifat munafiq.

  1. An-Nur: 26 ini adalah ayat penutup yang Allah turunkan untuk menyatakan tentang kesucian Aisyah ra istri Rasulullah SAW dari tuduhan keji yang tersiar bahwa Aisyah ra sudah berlaku mesum dengan Sufyan bin Muatthal. Penjelasan tentang kesucian Aisyah ra itu dimulai dari QS. An-Nur: 11-20.

Dalam ceritanya, seperti yang dituturkan oleh Aisyah ra sendiri, bahwa dalam tradisinya ketika hendak melakukan perjalanan Rasulullah SAW selalu mengundi istri-istrinya dalam sebuah bentuk undian, dan nama yang terpilih itulah istri yang akan menemani Rasulullah SAW keluar.

Ketika Rasulullah SAW hendak keluarga dalam ekspedesi perang Bani Musthaliq, nama Aisyah ra-lah yang keluar, sehingga dalam ekspedisi itu beliau yang menemani Rasulullah SAW.

 Ketika dalam perjalanan pulang dari peperangan, dan Aisayah ra memasuki haudaj-nya, sebuah tempat khusus yang mungkin bisa kita sebut dengan tandu yang biasa dinaiki oleh putri raja dalam banyak film. Ketika waktu istrahat Aisyah ra keluar dari tandunya untuk sebuah keperluan, dan pergi menjauh dari pasukan.

Setelah selesai melaksanakan hajatnya, Aisyah ra bergegas kembali ke pasukan, namun belumlah tiba beliau merasa kehilangan kalung yang ada lehernya, lalu beliau bergegas kembali ketempat dimana tadi membuang hajat. Dan Alhamdulillah pada akhirnya ketemu dengan kalung tersebut.

Lagi-lagi Aisyah ra bergegas menemui pasukan, namun ternyata pasukan sudah berjalanan, mereka yang membawa tandu Aisyah ra merasa yakin jika Aisyah ra sudah kembali masuk ke haudaj-nya, kebetulan pada waktu itu badan Aisyah ra belum terlalu besar, sehingga tidak terlalu beda antara tandu dalam keadaan kosong dengan tandu yang sudah ada Aisyah-nya.

Aisyah ra berusa mengejar pasukan, namun tidak kunjung bertemu, akhirnya beliau kembali ketempat semula dimana pasukan berhenti, berharap bahwa ada pasukan yang nanti mundur kebelakang mencari beliau.

Karena badan dalam keadaan capek, akhirnya Aisyah ra tertidur disana, tanpa tahu kejadian ini dan itu. Tiba-tiba dari belakang jalan muncul sosok Sufyan bin Muatthal yang memang terlambat pulang.

Sufyan bin Muatthal mengenali bahwa sosok perempuan yang tertidur dipinggir jalan itu adalah istrinya Rasulullah SAW, walaupun dalam keadaan berhijab. Merasa heran akhirnya Sufyan berucap: “Innalillah”, mungkin beliau kaget mengapa Aisyah ra berada disitu.

Aisyah ra terbangun dari tidurnya karena mendengar ucapan tersebut, dan dalam pengakuannya Aisyah ra mengatakan bahwa Sufyan bin Muatthal tidak berbicara apa-apa kecuali terus mengulang kalimat Innalillah.

Dalam diamnya Sufyan bin Muatthal mendekatkan kuda atau untanya agar dinaiki Aisyah ra. Dan beliau -sekali lagi- tidak berbuat macam-macam dan tidak juga berbicara banyak hal, kecuali hanya banyak mengulang kalimat Innalillah.

Setibanya di Madinah mulailah ada desas-desus yang menggosipkan bahwa sudah terjadi apa-apa antara Aisyah ra yang suci dengan Sufyan bin Muatthal. Isu ini bertahan hingga satu bulan.

Awalnya Aisyah ra tidak tahu dengan pemberitaan ini, karena selama satu bulan itu beliau kurang enak badan, tidak keluar rumah, mungkin capek perjalanan, terlebih itu adalah perjalanan perang, bukan perjalanan senang-senang dari Puncak.

Justru Aisyah ra tahunya dari pembantunya yang bernama Misthah. Keadaan Aisyah ra semakin terpuruk setelah pengetahuannya tentang isu yang beredar. Aisyah ra menangis sedih semalaman, dan paginya pun masih menagis.

Dalam pengakuannya Aisyah ra seakan berujar: “Pantas saja saya merasa ada yang beda pada diri Rasulullah SAW dalam sebulan terakhir.” Sikap Rasulullah SAW dirasa tidak seromantis sebelum-sebelumnya.

Dalam keguasarannya Rasulullah SAW meminta pendapat sebagin sahabanya. Zaid bin Usamah menguatkan, bahwa tidak mungkin Aisyah ra akan berbuat mesum seperti yang diisukan oleh orang-orang, namun sebagian sahabat yang lainnya dalam bahasa sindirannya seakan mengatakan bahwa masih banyak perempuan lainnya.

Dalam kedaan seperti itu pada akhirnya Rasulullah SAW berujar:

يا عائشة، فإنه قد بلغني عنك كذا وكذا، فإن كنت بريئة فسيبرئك الله، وإن كنت ألممت بذنب فاستغفري الله ثم توبي إليه، فإن العبد إذا اعترف بذنب ثم تاب، تاب الله عليه

“Wahai Aisyah, sungguh telah sampai kepadaku berita tentangmu ini dan itu, jika memang engkau bersih dari tuduhan itu niscaya Allah akan mensucikanmu, namun jika memang engkau sudah berbuat dosa, maka meminta ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah, sungguh jika seorang hamba mengakui kesalahannya dan mau bertobat, Allah akan menerima taubatnya”

Sambil menangis Aisyah ra meminta pembelaan dari Ayah dan Ibunya yang juga hadir pada waktu itu, tapi kedua orang tua Aisyah ra juga bingung mau berkata apa kepada Rasulullah SAW. Dalam keadaan penuh haru Aisyah ra hanya bisa mengulang perkataan Ayahnya nabi Yusuf as:

فصبر جميل والله المستعان على ما تصفون

“Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. yusuf: 18)

Dihari itu jugalah, setelah satu bulan lamanya isu beredar Allah SWT menurunkan firmannya yang menjelaskan tentang kebohongan para penebar isu dan menyatakan akan kesucian Aisyah ra dari tuduhan keji tersebut.Lalu turun QS. An-Nur: 11-20. Allahu Akbar!

Jadi inilah tema sentral dari ayat yang sekarang menjadi pembahasan kita. Pengetahuan ini penting sekali untuk diketahui, agar ayat ini mula-mula kita fahami dulu sesuai dengan konteks dimana ayat ini turun, dan apa yang melatar belakangi turunnya, barulah kemudian ayat ini bisa kita bawa untuk menuju hikmah berikutnya yang mungkin akan kita dapatkan selanjutnya

Makna Ayat

Kata al-khabitsat pada ayat diatas setidaknya difahami dengan dua makna; Perkataan keji atau perempuan yang keji, pun begitu dengan kata at-thayyibat bisa difahami dengan dua makna yag sama: Perkataan yang baik atau laki-laki yang baik.

Sebenarnya kedua pemakaan tersebut bisa kita ambil semua tanpa harus membuang salah satunya, dalam ilmu tafsir perbedaan pemaknaan ini masuk dalam kata gori ikhtilaf at-tanawwu’ dimana memungkin bagi kita untuk mengambil semua makna yang aslinya tidak saling bertentangan.

Jika kita fahami bahwa al-khabitsat itu bermakna perkataan yang keji, maka kira-kira makna ayat tersebut akan seperti ini: Perkataan keji itu hanya untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki keji itu memang layak mendapatkan perkataan yang keji, sedang perkataan baik itu untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik itu memang layak untuk mendapatkan perkataan yang baik.

 قال ابن عباس: الخبيثات من القول للخبيثين من الرجال، والخبيثون من الرجال للخبيثات من القول. والطيبات من القول، للطيبين من الرجال، والطيبون من الرجال للطيبات من القول

Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ra, seperti yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Quran Al-Azhim.

Namun jika kita memahaminya dengan arti perempuan yang keji, maka makna ayat tersebut akan seperti ini: “Perempuan yang keji itu untuk laki yang keji, dan laki-laki yang keji itu untuk perempuan yang keji pula, sedang perempuan yang baik itu untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik itu untuk perempuan yang baik pula”

 وقال عبد الرحمن بن زيد بن أسلم: الخبيثات من النساء للخبيثين من الرجال، والخبيثون من الرجال للخبيثات من النساء، والطيبات من النساء للطيبين من الرجال، والطيبون من الرجال للطيبات من النساء

Ini adalah pendapat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, juga seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.

Seperti yang sudah kita singgung diatas, bahwa kedua pemakanaan ini satu dengan yang lainnya bisa saling melengkapai, kedua pemaknaan ini mengarah kepada satu tema; pensucian Aisyah ra dari perkataan keji orang-orang munafik yang menebar isu miring tentang istri Rasulullah SAW ini.

Bahwa perkataan keji yang itu adalah isu panas yang tersebar dimana-dimana semestinya hanya untuk perempuan keji, bukan untuk perempuan yang suci. Pun begitu bahwa perempuan yang yang keji itu hanya untuk laki-laki yang keji pula.

Bagaimana mana mungkin isu keji itu diarahkan kepada sosok Aisyah ra yang suci. Dan mustahil rasanya istri Rasulullah SAW, orang yang paling bertaqwa didunia ini, adalah peremuan yang keji (berbuat mesum).

Itulah rahasianya mengapa kata al-khabitsat itu didaluhulukan, karena maksud awalnya adalah sesegera mungkin mensucikan sosok Aisyah ra atas isu yang melanda beliau, begitu menurut Ibnu Asyur dalam kitabnya At-Tahrir wa At-Tanwir.

Imam Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menguatkan bahwa memang sudah sunnahnya mereka yang mempunyai kesamaan itu akan bersatu, dan bersatunya Rasulullah SAW dengan Aisyah ra sebagai bukti bahwa Aisyah ra bukanlah perempuan keji seperti yang diisukan.

Hukum Fiqih

Imam As-Sya’rowi dalam menafsirkan ayat ini memberikan penekanan yang lebih akan pentingnya kesamaan antara suami dan istri. Kesamaan yang dimaksud terutama dalam hal agama, walaupun tidak menutup kemungkinan persamaan cara berpikir, starata pendidikan, starata sosial dan ekonomi juga menjadi pertimbangan yang kuat.

Maka dalam prakteknya bisa dipastikan bahwa laki-laki baik juga akan mendamkan perempuan yang baik, dan perempuan yang baik juga akan berusaha mencari laki-laki yang baik.

Memang sulit mengukur tingkat kebaikan dalam katagori agama, kecuali jika sebelumnya ada pengakuan yang jujur. Namun disinilah pentingnya jalan musyawarah, dan ini jugalah rahasianya mengapa perempuan itu tidak boleh menikahkan dirinya sendirinya, wali menjadi syarat sahnya pernikahan, karena perempuan wajib memusyawarahkannya dahulu sebelum menerima atau menolak lamaran dari laki-laki yang datang.

Jangan hanya karena hati ini sudah berbunga-bunga lalu kemudian menutup mata akan penilaian yang lainnya; bagaimana aqidahnya, sholatnya seperti apa, bagaimana akhlaknya, seperti apa dia dimata keluarga dan shabatnya, seperti apa cara pandangnya tentang kehidupan, dan seterusnya.

Lalu tiba-tiba mau diajak kawin lari, atau malah kawin kontrak. Tidakkah kita berpikir bahwa bahwa dia yang tidak berani mendatangi perempuan dengan baik adalah ciri dari laki-laki yang tidak baik. Dan sebaliknya dia yang mau diajak berbuat tidak baik adalah ciri dari perempuan yang tidak baik.

Bertaubat adalah cara terbaik untuk melepaskan diri dari cap sebagai laki-laki atau perempuan buruk. Ini adalah cara perbaikan diri berkesinambungan yang diajarkan oleh Islam. Siapa yang mengakhirkan istighfarnya sedang ia mampu unutuk beristighfar sekarang, maka istighfarnya itu membutuhkan istighfar lainnya, inilah taubatnya taubat, seperti kata Ibnu QayyimAl-Jauzi.

  1. Sekufu’ Dalam Hal Apa Saja?

Dalam Madzhab Hanafi yang dimaksud dengan sekufu adalah kesepadanan antara perempuan dan laki-laki dalam enam hal: Nasab, Islam, pekerjaan, merdeka atau budak, kualitas beragama, dan starata ekonomi.

Dalam Madzhab Maliki yang dimaksud dengan sekufu disini adalah kesamaan (al-mumatsalah) dalam dua hal, yaitu kesamaan dalam kualitas beragama dimana seorang muslim harusnya berjodoh bukan dengan yang fasik, dan yang kedua kesamaan dalam kesehatan jasmani. Keterangan seperti ini bisa ditemukan dalam kitab Taj Al-Iklil (jilid 3, ha.  460)

Adapun dalam madzhab Syafi’i seperti yang dijelaskan dalam Al-Majmu’ (jilid 2, hal. 39) yang dimasuk dengan sekufu’ adalaha kesamaan dalam empat hal; kesamaan dalam nasab, agama, starata sosial (merdeka atau budak), dan pekerjaan.

Sedangkan dalam madzhab Hanbali , Al-Mawardi dalam Al-Inshaf (jilid 8, hal. 108) sekufu’ yang dimaksud adalah kesamaan dalam lima hal: Agama, pekerjaan, starata ekonomi, status sosial (merdeka atau budak), dan nasab.

Semua sifat-sifat diatas masih dalam perdebatan diantara para ulama, untuk lebih jelas pembahasan seperti ini akan lebih detail dibahas dalam kitab-kitab fiqih semua madzhab. Namun yang lebih menjadi titik tekan para ulama adalah kesamaan agama dan kualitas bergama. Dan ini juga yang ditekankan oleh semua madzhab fiqih yang empat.

Minimal mereka yang menikah itu harus sesama muslim, terlebih untuk perempuan muslimah, jangan sampai terulang cerita cinta yang berseberangan, menikah dengan non muslim. Pembahasan tentang menikah dedah agama sudah kita bahasa pada pekan sebelumnya. [Lihat: http://www.rumahfiqih.com/tafsir/x.php?id=3&=nikah-beda-agama.htm ]

Lalu kemudian setelah itu barulah kita menilai kualitas keberagamaannya, sehingga diharapkan muslim dan muslimah tidak menikah seorang yang fasik. Pun begitu sebaliknya.

Kesadaran tentang perhatian agama ini setidaknya bisa diapat melalui hadits Rasululullah SAW berikut yang sudah sangat akrab ditelingah kita semua:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  عَنِ النَّبِيِّ  قَالَ تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ  لِمَالِهَا  وَلِحَسَبِهَا  وَلِجَمَالِهَا  وَلِدِينِهَا  فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Wanita itu dinikahi karena empat hal : karena agamanya, nasabnya, hartanya dan kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selama”t (HR. Bukhari  Muslim)

Dalam hadits lainnya seperti yang diriwayatkan oleh Suhail bin Sa’ad, suatu waktu lewatlah seorang laki-laki dihadapan Rasulullah SAW, lalu semua orang bertanya sesama mereka: Apa pendapat Anda semua tentang laki-laki ini? Lalu semua orang yang disekitar itu menjawab bahwa dia adalah orang baik, jika dia melamar pasti diterima, jika dia meminta syafaat pasti diberi dan jika dia berkata pasti didengar. Lalu kemudian lewat lagi satu orang lainnya yang fakir, dan semua bertanya bagaimanakah pendapat Anda tentang laki-laki ini? Lalu semua menjawab bahwa laki-laki ini jika melamar tidak akan diterima, dan jika meminta syafaat juga akan ditolak, juga jika berbicara tidak akan didengar. Maka Rasulullah SAW bersaba:

فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم –  هذا خير من ملء الأرض مثل هذ

“Laki-laki seperti ini (laki-laki kedua) lebih baik dari seisi dunia”

Memang agak sulit sebenarnya untuk mengetahui kualitas agama seseorang, kecuali memang ada kejujuran yang sangat jujur. Maka dalam hal ini ketika ada laki-laki atau perempuan yang tidak mempunyai catatan melakukan dosa besar, dan dia juga rajin melaksanakan yang wajib, maka ini bisa masuk dalam katagori minimal.

Namun lebih dari itu, agama sebenarnya adalah akhlak, mulai dari cara berfikir, tutur kata, penampilan, cara berjalan, empati, amanah, tanggung jawab, tidak gampang marah, jujur, lemah-lembut, menghormati yang lebih tua, penyayang, sampai pada akhirnya dalam urusan ibadah; shalat, puasa, zakat, dst.

Untuk itu urusan cinta harus melibatkan banyak orang, terutama untuk mengetahui hal-hal tersebut. Pacaran bukanlah jalan terbaik untuk mengetahui dengan jujur sifat pasangan yang diinginkan. Jalur musyawarah dengan keluarga dan lainnya akan sangat membantu dalam proses pencarian. Dan tidak juga salah jika sebagian ada yang melibatkan seorang ‘guru’ dalam  proses pecarian.

Karena siapa tahu pilihan seorang guru bertemu dengan keinginan orang tua dan pada akhirnya juga bertemu dengan pilihan Allah SWT. Karena dulunya Rasulullah SAW juga sebagai ‘guru’ dari para sahabatnya sering diminta bantuan untuk mencarikan pasangan bagi mereka.

  1. Nikah Tetap Sah

Ulama empat madzhab lebih cendrung berpendapat bahwa meskipun perkara kesepadanan ini sangat penting untuk dijadikan bahan pertimbang dalam melangsungkan pernikahan, namun pada akhirnya semua kembali kepada calon istri dan wali dari perempuan.

Karena hak menerima dan menolak lamaran itu ada ditangan istri dan walinya, jikapun yang datang ternyata tidak memenui kriteria, dan tidak sepadan dengan kualitasn perempuan.

Jika mereka rela menikah dengan yang bukan sepadan dalam hal kualitas agama (asalkan sesama muslim), juga berbeda kualitas nasab, starata ekonomi yang terlampau jauh, pekerjaan, dan seterusnya, maka dalam hal ini menurut mayoritas ulama sah-sah saja, dan status pernikahan mereka dinilai sah.

Tidak sedikit mereka yang aslinya kaya ternyata lebih terpaut hatinya dengan mereka yang biasa-biasa saja, banyak juga para artis yang suka dengan mereka yang bergelar ‘ustadz’, anak jendaral juga kadang kesem-sem dengan anak petani, orang kota pun kadang memlih orang plosok yang jauh dari perkotaan, tempat dimana tidak ada akses listrik dan signal telpon.

Tapi semua itu sah-sah saja dalam kamus cinta, bahwa cinta memang memang bersifat lintas georafis, bahwa cinta bisa mendekatkan yang jauh, dan bisa meyederhanakan yang sulit. Namun tetap saja masalah sekufu’ harus menjadi bahan pertimbangan, agar tidak menyesal dikemudian hari.

Agar jangan sampai baru menikah buru-buru mau cerai, seakan merasa menyesal dengan keputusan yang terlalu mengabaikan unsur kesamaan. Tapi jika memang jodoh yakinlah bahwa sebelum bersatunya fisik, jiwa biasa sudah bersatu duluan, ini mungkin mirip dengan intusi, sebuah ketenangan (sakinah) didalam jiwa bahwa rasa-rasanya dia adalah jodoh saya.

Rasulullah SAW memberikan isyaratnya:

الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

“Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal diantara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah” (HR. Bukhari dan Muslim) (sumber)

Wallahu A’lam Bisshawab

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories