Ketika Al Fudhail Menasehati Khalifah Hingga Menangis

Ketika Al Fudhail Menasehati Khalifah Hingga Menangis

Oleh: Muhammad Taufik NT

Al Fudhail menasehati Khalifah Harun ar Rasyid dg nasehat yang membekas, membuat Khalifah menangis,…, ketika mau diberi hadiah 1000 dinar (4,25 kg emas, lebih dari Rp 2 milyar) beliau menolaknya, padahal beliau dalam kesulitan finansial,… rindu dengan ‘ulama macam ini.

***

Al-Fadhl bin Ar-Rabi’ menceritakan bahwa suatu ketika Khalifah Harun ar Rasyid mengunjungi Imam al Fudhai bin ‘Iyadh dalam rangka meminta nasehat. Maka dengan panjang lebar Imam al Fudhail bin ‘Iyadh menceritakan bagaimana para ‘ulama menasehati khalifah sebelumnya, ‘Umar bin Abdul Aziz… Amirul Mu’minin pun menangis tersedu-sedu, lalu beliau berkata kepada al Fudhail:

زدني رحمك الله

“Tambahlah nasehat kepadaku, semoga Allah merahmatimu!”

Fudhail menjawab: “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya Al-Abbas paman Al-Musthafa (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) pernah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah, angkatlah saya menjadi pemimpin?” Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

إِنَّ الإِمَارَةَ حَسْرَةٌ وَنَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا تَكُوْنَ أَمِيْرًا فَافْعَلْ.

“Sesungguhnya kepemimpinan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat nanti, maka jika engkau mampu untuk tidak menjadi pemimpin, lakukanlah!”

Maka Amirul Mu’minin menangis tersedu-sedu, lalu beliau berkata kepada Fudhail: “Tambahlah nasehat kepadaku, semoga Allah merahmatimu!”

Fudhail menjawab: “Wahai yang berwajah bagus, Andalah yang akan ditanya oleh Allah tentang hamba-hamba-Nya pada hari kiamat nanti, maka jika Anda mampu untuk bisa menjaga wajah ini dari neraka, jangan sampai Anda memasuki waktu pagi dan sore dalam keadaan di hati Anda terdapat pengkhianatan terhadap seorang pun dari rakyat Anda, karena sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ غَاشًّا لِرَعِيَّتِهِ لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.

Siapa saja yang mengkhinati rakyatnya maka dia tidak akan mencium bau surga.”

Maka Amirul Mu’minin menangis tersedu-sedu, lalu beliau berkata kepada Fudhail: “Apakah engkau memiliki tanggungan hutang?” Dia menjawab:

نَعَمْ دَيْنٌ لِرَبِّي لَمْ يُحَاسِبْنِي عَلَيْهِ فَالْوَيْلُ لِي إِنْ سَأَلَنِيَ , وَالْوَيْلُ لِي إِنْ نَاقَشَنِي , وَالْوَيْلُ لِي إِنْ لَمْ أُلْهَمْ حُجَّتِي

“Ya, hutang kepada Rabbku yang belum Dia tagih. Maka celaku diriku jika Dia telah menanyakannya kepadaku, celaka diriku jika Dia memperhitungkannya, dan celaka diriku jika aku tidak bisa mengemukakan alasan yang tepat.”

Beliau menimpali: “Yang kumaksud adalah hutang kepada hamba-hamba Allah.” Fudhail menjawab: “Sesungguhnya Rabbku tidak memerintahkanku untuk melakukan hal ini, yang Dia perintahkan kepadaku adalah agar saya mentauhidkan-Nya dan mentaati perintah-Nya. Dia Azza wa Jalla berfirman:

وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ. مَا أُرِيْدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَما أُرِيْدُ أَنْ يُطْعِمُوْنِ. إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُوْ الْقُوَّةِ الْمَتِيْنَ.

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka hanya beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58)

Maka Amirul Mu’minin berkata kepadanya:

هَذِهِ أَلْفُ دِينَارٍ خُذْهَا فَأَنْفِقْهَا عَلَى عِيَالِكَ , وَتَقَوَّ بِهَا عَلَى عِبَادَتِكَ

“Ini 1000 dinar, ambillah dan belanjakan untuk kebutuhan keluargamu dan gunakanlah untuk menguatkan ibadahmu.”

Fudhail menjawab:

سُبْحَانَ اللهِ أَنَا أَدُلُّكُ عَلَى طَرِيقِ النَّجَاةِ وَأَنْتَ تُكَافِئُنِي بِمِثْلِ هَذَا سَلَّمَكَ اللهُ وَوَفَّقَكَ

“Subhanallah, saya menunjukkan Anda kepada jalan keselamatan, sementara Anda membalasnya dengan yang semacam ini?! Semoga Allah menyelamatkan Anda dan memberi taufik kepada Anda.”

Kemudian dia (al Fudhail) diam dan tidak berbicara lagi kepada kami. Maka kami pun keluar meninggalkan rumahnya. Ketika kami sampai di pintu, Amirul Mu’minin berkata: “Wahai Abul Abbas, jika engkau menunjukkan seseorang kepadaku maka tunjukkanlah orang yang seperti ini, dialah pemimpin kaum Muslimin yang sebenarnya.”

Tiba-tiba salah seorang istrinya masuk menemuinya seraya berkata:

يَا هَذَا قَدْ تَرَى مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ ضِيقِ الْحَالِ ، فَلَوْ قَبِلْتَ هَذَا الْمَالَ فَتَفَرَّجْنَا بِهِ ؟

“Suamiku, engkau melihat bahwa kita dalam kesempitan hidup, sekiranya engkau mau menerima harta ini tentu kita mendapatkan kemudahan dengannya.” Maka Fudhail menjawab perkataan istrinya:

مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ قَوْمٍ كَانَ لَهُمْ بعيرٌ يَأْكُلُونَ مِنْ كَسْبِهِ، فَلَمَّا كَبُرَ نَحَرُوهُ، فَأَكَلُوا لَحْمَهُ

“Permisalan diriku dan kalian adalah seperti suatu kaum yang memiliki unta yang mereka makan dari hasilnya, tatkala unta tersebut telah besar maka mereka menyembelihnya dan memakan dagingnya.”

Ketika Amirul Mu’minin perkataan tersebut maka beliau berkata: “Masuklah lagi, mudah-mudahan dia mau menerima harta ini.” Ketika Fudhail mengetahui hal tersebut maka dia keluar dan duduk di atas loteng di atas pintu kamar, lalu Amirul Mu’minin ikut duduk di sampingnya dan mengajaknya bicaranya, namun dia sama sekali tidak menjawab beliau. Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba keluarlah seorang budak wanita berkulit hitam seraya berkata: “Anda telah mengganggu ketenangan Syaikh sejak malam, maka pergilah, semoga Allah merahmati Anda!” Maka kami pun pergi meninggalkan mereka.

Cerita selengkapnya cukup panjang, bisa di baca di kitab Hilyatul Awliya, juz 8 hal 105, Maktabah Syamilah. [SUMBER]

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories