Skema Abadi Imperialisme

Skema Abadi Imperialisme

Oleh : Umar Syarifudin
(Pengamat Politik Internasional)
“Sungguh telah aku tinggalkan kalian di atas Islam yang jelas; malamnya seperti siangnya; tidak menyimpang darinya, kecuali orang yang binasa”. [HR Ibnu Majah].
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir, memberikan jawaban yang shohih mengapa tragedi demi tragedi masih terjadi pada umat Islam. Dalam kitab Nida‘ Har Syaikh Taqiyuddin menjelaskan,  “Sesungguhnya umat Islam telah mengalami tragedi karena dua musibah. Pertama: penguasa mereka menjadi antek-antek kafir penjajah. Kedua: di tengah mereka diterapkan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah, yaitu diterapkan sistem kufur.”
Penjajahan politik kokoh lewat sistem demokrasi. Lewat prinsip utama kedaulatan di tangan rakyat, sistem demokrasi ini secara efektif digunakan untuk menentukan penguasa tertinggi yang dapat dikontrol oleh penjajah. Bisa disebut, siapapun kemudian penguasa yang lahir lewat  proses demokrasi ini bisa lulus dengan catatan mendapat restu dari penjajah.
Buku Killing Hope: US Military and CIA Intervention Since World War II karya William Blum mengungkap fakta, bahwa pada sejarah perang modern, rekor AS selaku agresor duduk di tangga tertinggi. Pasca kemerdekaan tahun 1776 misalnya, ia aktif menebar konflik dan mengobarkan sembilan perang besar. Ada sekitar 200-an penyerbuan militer dilakukan. Dan terhitung 1977-1993 tercatat, Paman Sam mengirim militernya (invasi) ke 32 wilayah di luar negaranya. Apa yang diurai Blum di atas, belum termasuk invasinya ke Afghanistan (2001), penyerbuan Iraq (2003), atau bombardier terhadap Libya via Resolusi PBB Nomor 1973 No Fly Zone memakai tangan NATO, dan lain-lain. Kembali ke Perang Dingin.
AS dan NATO menyadari, bahwa SDA yang dibutuhkan kapitalisme terbentang di Benua Asia. Kawasan basah berlimpah mineral dan aneka tambang. Namun celakanya, dalam perspektif hegemoni Barat, mayoritas penduduk di jalur tersebut didominasi umat Islam yang (sebelumnya) tidak berminat dengan  demokrasi. Tidak boleh dielak, demokrasi merupakan sistem politik yang cenderung menyuburkan geliat industrialisasi, liberalisasi, kapitalisasi, dan jenis ‘isasi-isasi’ lainnya. Pertanyaan timbul, “Apakah demokrasi itu wujud strategi Barat guna mengontrol ekonomi dan menguasai SDA di sebuah negara?” Ini perlu menjadi bersama agar setiap muslim tak hanyut dalam euphoria yang sengaja ditebar oleh Barat guna melemahkan kedaulatan sebuah negara yang ditargetnya. Ingat doktrin: “Control oil and you control nations. Control food and you control the people” (Henry Kissinger), itulah tujuan permanen atau skema abadi kolonialisme apapun di muka bumi.
Barat pun melanjutkan petualangannya untuk menguasai secara total benua asia khususnya The Silk Road, kawasan berlimpah SDA yang berpenduduk mayoritas muslim. Pintu pembuka memasuki Dunia Islam adalah Perang Afghanistan (1979), dimana AS dan Uni Soviet (sebelum Negeri Tirai Besi pecah) saling berkompetisi. Kemudian berlanjut Perang Irak-Iran (Perang Teluk I, 1980), Perang Teluk II (1990) antara Irak-Kuwait, lalu penyerbuan kembali Afghanistan (2001), pengeroyokan Irak (2003) oleh pasukan koalisi pimpinan AS, dan lain-lain.
Conflict is the protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Itu asumsi tentang konflik di kalangan global review dan penggiat geopolitik yang kerap disampaikan Dirgo D Purbo, pakar (geo) perminyakan, dalam rangka menyikapi maraknya konflik di banyak kawasan (muslim) produsen gas dan minyak. Termasuk asumsi: “Konflik lokal adalah bagian dari konflik global.” Maksudnya ialah, bahwa sebuah konflik bukanlah faktor tunggal berdiri sendiri, mungkin hanya test case atau prolog dari skenario politik yang besar. Dan konflik juga kerap diciptakan untuk deception atau pengalihan perhatian publik agar hidden agenda (tujuan sebenarnya) yaitu menguasai jalur-jalur dan kawasan kaya mineral, tidak terpantau.
Isu utama yang dipakai oleh Barat untuk memasuki (dan menciptakan konflik) di Dunia Islam pasca Perang Dingin selain melalui isu semacam memerangi terorisme, pemimpin tirani, korupsi, demokratisasi, HAM dsb yang teraktual adalah stigma: “Radikalisme Islam”. Al Qaeda merupakan INDUK atau “pokok batang”-nya, sedang ranting-rantingnya adalah al-Qaeda in Arabian Peninsula di Yaman misalnya, atau Ansar al-Sharia di Libya, Boko Haram di Nigeria, Jabhat al-Nusra di Syria, al-Qaeda in Islamic Maghreb, al-Shabab, atau yang paling aktual kini Islamic State of Irak and Syam (ISIS). Sasarannya menciptakan Islamophobia (ketakutan berlebih kepada Islam) di dunia, sedang tujuan Barat sesungguhnya ialah mencaplok SDA di negara-negara yang telah ditabur benih ‘radikalisme Islam’. Agendanya melalui skenario memerangi kelompok Islam radikal, capacity building, dsb dimana ujungnya what lies beneath the surface, kapling-kapling SDA di negara target hal-hal yang terkandung di bawah permukaan.
Namun, Alhamdulillah, kesadaran umat untuk lepas dari penjajahan ini semakin meningkat. Umat mulai bergerak menumbangkan rezim-rezim represif  yang menjadi pelayan kepentingan penjajahan di negeri mereka. Rezim-rezim ini dengan tega melakukan apapun asal tuan besar penjajah mereka senang. Menghabisi pejuang Islam yang  menawarkan  syariah Islam dan Khilafah karena dianggap mengancam kelestarian penjajahan Barat.
InsyaAllah umat Islam dalam waktu dekat ini akan memasuki era Khilafah. Sebab hanya sistem Khilafahlah yang bisa menghabisi hingga ke akar-akarnya pangkal musibah umat ini. Bukan hanya menumbangkan penguasa-penguasa antek penjajah namun mengganti secara menyuluruh sistem kapitalisme dengan Islam. Insya Allah, umat Islam akan masuk gelombang baru . [VM/adj]

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories