Ulama yang Menjadi Alat Legitimasi bagi Penguasa

Ulama yang Menjadi Alat Legitimasi bagi Penguasa

Penulis: Mitahul Ihsan Lc.

Mustanir.com – Di tengah pertarungan antara hak dan batil, terlebih pasca berhasilnya kekuatan batil menguasai pemerintah kaum muslimin. Kebatilan tahu bahwa mereka tidak akan menang selama ada sekelompok dari umat ini yang berpegang dengan din-nya. Karena itu adalah sumber kekuatan dan kemuliaan umat ini. Melihat fenomena itu musuh akan senantiasa berusaha menghapus identitas umat ini, yaitu dengan menjauhkannya dari sumber kekuatannya.

Setelah berulang kali mereka gagal menyelewengkan teks-teks syariat, mereka mulai mencoba untuk menyelewengkan pemahaman terhadap nash-nash tersebut. Yaitu dengan cara membuat penafsiran alternatif atau mencari-cari ketergelinciran para ulama guna memberikan warna baru terhadap pemahaman nash syariat yang bertentangan dengan pemahaman salaf.

Dalam menempuh upaya ini mereka mengeluarkan sumber daya yang begitu besar. Dan rencana mereka tidak akan berhasil kecuali dengan memanfaatkan para penuntut ilmu dan ulama, baik disadari atau tidak. Sebaliknya, para penuntut ilmu dan ulama yang mengganggu usaha mereka selalu dihalang-halangi dan dipersulit dalam meyampaikan kebenarannya.

Posisi Ulama dalam Islam

Di dalam Islam ulama memiliki kedudukan yang sangat mulia. Allah meninggikan derajat orang yang berilmu. Dan Rasulullah SAW menjadikan para ulama sebagai pewarisnya. Akan tetapi, “al jaza’ min jinsil amal” (balasan yang diterima berbanding lurus dengan usaha). Seiring dengan agungnya kedudukan ulama di sisi ulama dan rasulnya ada jalan berat yang harus ditempuh. Jalan berat tidak hanya dalam menuntut ilmu, akan tetapi saat mengamalkan dan mendakwahkan ilmu itu.

Ibnu Jama’ah Al-Kinani Asy Syafi’i berkata, “Pahamilah bahwa semua dalil tentang keutamaan ilmu dan ulama hanya diperuntukkan bagi ulama yang mengamalkan ilmunya, yang baik, dan yang bertakwa. Dengan ilmunya ia hanya mencari ridha Allah dan kedudukan mulia di sisi-Nya, kelak di dalam surga yang penuh nikmat. Bukan ulama yang mencari ilmu untuk maksud jahat, atau dengan kebiasaaan buruk, atau untuk memperoleh materi duniawi, seperti harta, kedudukan, dan pengikut yang banyak.” (Tadzkiratus Sami’ wal mutakallim, Hal 46)

Perkataan di atas mengisyaratkan bahwa tidak semua orang yang memiliki ilmu berhak mendapat keutamaan ahlul ilmi yang disebutkan oleh Allah maupun Rasul-Nya. Dapat kita simpulkan bahwa ulama yang berhak mendapatkan keutamaan sebutan rabbani ialah mereka yang mampu mengemban ilmu yang mewariskan amal saleh, yang berani lantang menyuarakan kebenaran dan beramar makruf nahi munkar.

Ibnu Jama’ah menukil di dalam buku beliau wahyu Allah kepada nabi Daud. Diriwayatkan dari Bisyr bin Harits, bahwa Allah mengirimkan wahyu kepada Daud yang berbunyi, ”Jangan kau jadikan antara Aku dan dirimu para alim yang terfitnah (dengan dunia), karena dengan mabuk (terhadap dunia) dia akan menghalangimu dari kecintaan terhadap-Ku. Mereka itu (Ulama yang terfitnah dunia) adalah pemutus jalan terhadap hamba-hamba-Ku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim).

Nukilan di atas memberi gambaran kepada kita bahwa tidak semua orang yang memiliki ilmu mampu memberikan petunjuk kebenaran. Ada kalanya justru orang berilmu menjadi penghalang dan perintang dakwah.

Berilmu Tapi Bukan Ulama

Ada kalanya ilmu yang dimiliki seseorang tidak menuntunnya untuk beramal. Bahkan lebih parah lagi, terkadang ilmu yang dimilikiny justru menuntunnya untuk menyalahkagunakan apa yang Allah anugerahkan kepadanya.

Allah SWT berfirman :

Artinya : ““Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah bertobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka Aku menerima tobat mereka, dan Aku-lah yang Maha Menerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqoroh 159-160)

Allah SWT berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang secara batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (At-Taubah: 34).

Syaikh Abdurrahman As-Sa’dy mengatakan: Ini adalah peringatan Allah kepada kaum mukminin mengenai mayoritas pendeta dan rahib. Maksudnya, para ulama dan ahli ibadah yang tega memakan harta orang lain dengan cara yang batil, bukan dengan cara yang dibenarkan secara syariat. Mereka juga menghalangi manusia dari jalan Allah. Jika mereka berhak menerima gaji yang berasal dari harta umat, atau umat yang mengeluarkan dana untuk membayar mereka, itu tidak lain karena ilmu yang mereka miliki dan ibadah yang mereka kerjakan. Juga karena petunjuk dan bimbingan yang mereka berikan kepada manusia. Mereka mau mengambil harta tersebut namun mereka malah menghalangi manusia dari jalan Allah.

Artinya, mereka mengambil harta tadi dengan jalan yang tidak benar dan merupakan sebuah bentuk ketidak-adilan. Sebab, masyarakat tidak mengeluarkan hartanya untuk mereka begitu saja, tetapi supaya mereka mau manunjukkan dan menuntun mereka ke jalan yang lurus. Di antara bentuk pengambilan harta umat dengan jalan yang tidak benar ialah harta yang dibayarkan oleh umat dengan tujuan agar mereka mau mengeluarkan fatwa atau memberikan keputusan bukan dengan hukum yang telah Allah turunkan demi membela kepentingan mereka. Dalam ayat ini terdapat peringatan mengenai para pendeta dan rahib yang menyangkut dua hal:

  • Pertama, perbuatan mereka yang mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak benar.
  • Kedua, perbuatan mereka yang berusaha menghalangi manusia dari jalan Allah.

Tentang adanya sebagian dari ulama yang menyelewengkan ilmunya untuk kepentingan duniawi Rasulullah SAW sudah memperingatkan jauh-jauh hari. Beliau bersabda :

القضاة ثلاثةٌ: واحدٌ في الجنّة، واثنان في النار، فأمّا الّذي في الجنّة فرجلٌ عرف الحق فقضى به، ورجل عرف الحق فجار في الحكم فهو في النار، ورجلٌ قضى للناس على جهلٍ فهو في النار

”Hakim ada tiga macam; satu golongan akan masuk surga, dan dua golongan lainnya akan masuk neraka. Kelompok yang akan masuk surga ialah mereka yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan perkara berdasarkan kebenaran tersebut. Sedangkan kelompok yang kedua ialah mereka yang mengetahui kebenaran tetapi tidak adil dalam memutuskan perkara, maka mereka akan masuk neraka. Sedangkan yang ketiga ialah orang yang jahil tetapi mau dijadikan hakim dalam memutuskan perkara orang, maka ia juga akan masuk neraka.” (HR Abu Daud di dalam Sunan-nya no. 3573)

Imam Ibnul Qayim berkata, “Ibnu Abdil Barr mengatakan, seperti halnya hakim dibagi menjadi tiga golongan, dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga, demikian pula para mufti, terbagi menjadi tiga golongan. Tidak ada perbedaan status di antara mereka selain keputusan hakim bersifat mengikat dan wajib dieksekusi, sedangkan keputusan seorang mufti tidak mengikat.”( I’lâm Al-Muwâqi’în: 2/134.)

Karena mengkhawatirkan hal tersebut, maka para salaf dan para ulama yang lurus juga mengingatkan akan adanya fenomena orang berilmu namun ilmunya tidak menuntunnya ke jalan yang diridhoi Allah.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau berkata, “Sekiranya para ulama menjaga ilmunya dan menempatkannya pada tempatnya, maka dengan ilmunya itu, mereka akan mampu memimpin manusia di zamannya. Tapi sayang, mereka malah menyerahkannya kepada para penguasa dunia untuk sekadar mendapat keuntungan dunia mereka. Akhirnya, mereka pun terhina dengan ilmunya. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:

“Barang siapa yang bisa membulatkan tekadnya hanya untuk mengejar akhiratnya, maka Allah akan memenuhi keperluan dunianya. Sedangkan orang yang ambisinya yang beraneka macam hanya sekadar mencari dunia, maka Allah tidak peduli di lembah mana ia akan binasa.” (HR Ibnu Majah, menurut Ibnu Muflih di dalam sanad hadits ini ada perawi yang matruk) (Akhlaqul Ulama hal 92, Imam Ajurri)

Atha’ Al-Khurasani berkata, “Dahulu, para ulama sebelum kita merasa cukup dengan ilmunya sehingga tidak butuh dengan dunia orang lain. Mereka sama sekali tidak tertarik dengan dunia yang mereka miliki. Hal itu memaksa para pemilik dunia rela merogoh kantungnya agar bisa mendapatkan ilmu dari para ulama. Sedangkan di zaman kita, hari ini, para ulama kita justru rela mengorbankan ilmunya untuk mendapatkan dunia mereka. Sehingga para pemilik tempat dan harga ilmu di tangan para ulama.

Oleh karena itu, kalian harus selalu waspada; jangan dekati pintu-pintu para penguasa. Di pintu itulah terdapat fitnah yang menggoda seperti tempat-tempat peristirahatan unta. Kalian tidak akan pernah bisa mengambil dunia mereka, kecuali mereka juga mengambil agamamu.” (Akhlaqul Ulama Hal. 93)

Diriwayatkan dari Makhul Asy-Syami, “Sesungguhnya tidak akan datang sesuatu yang dijanjikan kepada manusia sampai datang zaman di mana keadaan ulama mereka lebih busuk daripada bangkai keledai.” (Akhlaqul Ulama)

Abdullah bin Mubarak berkata, “Adakah yang lebih merusak agama selain para raja dan ulama jahat serta para rahibnya.”

Baik nash-Al-Quran, hadits maupun perkataan para ulama di atas mengisyaratkan bahwa tidak setiap orang yang memiliki ilmu mendapat keutamaan yang disebutkan di dalam Islam. Semua argumen yang telah kami paparkan di atas menunjukkan bahwa ada klasifikasi ulama. Mereka bukan hanya satu tipe saja.

Pembagian semacam ini seyogianya bisa dipahami dengan baik sehingga tiada lagi orang yang mencaci kita dengan menuduh kita sebagai orang tak beradab yang suka mencela ulama. Sebab, ulama rabbani memiliki kerakteristik tersendiri, bukan hanya semata-mata karena dia terkenal memiliki ilmu yang tinggi. Sebagaimana ulama yang cacat juga memiliki kriterianya sendiri, bukan semata karena tuduhan sebagian orang terhadapnya.

Standar baku dalam menentukan klasifikasi ini bukan hanya berasal dari kemasyhuran atau celaan manusia terhadap mereka. Terlebih penilaian ini diambil dari ketenaran atau cap negatif yang disebarkan media massa yang hari ini hampir semuanya memihak kepada yang batil. Atau standar yang sumbernya dari penilaian jarh wa ta’dil yang disematkan oleh orang-orang yang tidak menggunakan standar para ulama salafusaleh. Sebab, pergeseran disiplin jarh wa ta’dill hari ini yang paling menonjol ialah penilaian dari sisi loyalitas dan aloyalitas para ulama kepada penguasa.

Jika seseorang memiliki loyalitas kepada penguasa, maka orang-orang menyebutnya orang yang adil. Sedangkan orang yang berlepas diri tidak mau mendekat penguasa, maka mereka menyebutnya sebagai ulama cacat.

Ujian terbesar yang hari ini banyak dihadapi para ulama ialah pengorbanan yang mereka persembahkan kepada para penguasa dunia. Sampai-sampai mereka rela melacurkan diri mereka tanpa rasa malu. Sebelum itu, mereka telah menghinakan ilmu yang selama ini mereka emban. (kiblatnet/adj)

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories