Mukallaf
Mukallaf
Mukallaf adalah ism al-maf’ûl (obyek) dari kallafa–yukallifu–taklîfan. Kallafa sendiri adalah bentuk transitif dari kalifa. Jika dikatakan kallafahu taklîfan artinya amarahu bimâ fîhi masyaqqah(memerintahkan kepadanya sesuatu yang mengandung masyaqqah [kesulitan]). Artinya, taklîf adalah perintah yang mengandung kesulitan (masyaqqah). Dengan demikian, mukallaf secara bahasa adalah orang yang mendapat perintah yang mengandung kesulitan (masyaqqah).
Abu Hilal al-‘Askari mengatakan, bahwa asal dari taklîf dalam bahasa Arab adalah al-luzûm(beban/paksaan). Menurutnya, secara bahasa taklîf adalah ilzâm mâ yasyuqqu irâdah al-insâniyah(mengharuskan atau membebankan sesuatu yang memberatkan kehendak alami manusia). Jadi secara bahasa taklîf adalah al-amru bi asy-syai’ wa ilzâm bihi (memerintahkan sesuatu dan mengharuskannya).
Mukallaf adalah orang yang mendapat taklîf. Karenanya, secara bahasa mukallaf adalah al-mulzam bimâ fîhi masyaqqah (orang yang dibebani sesuatu yang mengandung masyaqqah [kesulitan]).
Istilah taklîf dan mukallaf kemudian tampak menonjol dalam kajian ushul fikih dan fikih. Para ulama ushul membahas siapa yang menjadi obyek hukum (al-mahkûm ‘alayh) atau siapa yang mendapat beban hukum. Al-Mahkûm ‘alayh inilah yang mereka istilahkan sebagai mukallaf. Dari sini kemudian lahirlah makna istilah dari mukallaf. Pemaknaan mukallaf ini dilakukan dengan menggalinya dari nash yang berkaitan dengan siapa yang dibebani hukum syariah. Karenanya, definisi mukallaf tersebut menjadi definisi syar’i.
Muhammad bin Abi al-Fatah al-Ba’li di dalam Al-Muthalli’ ‘alâ Abwâ al-Fiqh mengartikan mukallaf sebagai pihak yang diseru dengan perintah dan larangan. Prof. Rawas Qal’ah Ji, di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ,’ mendefinisikan mukallaf sebagai pihak yang diseru dengan hukum-hukum syariah dan diharuskan (dibebani) untuk mengimplemen-tasikannya.
Ketentuan Tentang Mukallaf
Di dalam pembahasan mukallaf ada dua hal penting: siapakah mukallaf itu dan bagaimana pelaksanaan hukumnya.
Dari sisi pertama, mukallaf adalah seluruh manusia, baik Mukmin atau kafir, baik tua maupun anak-anak. Seluruh manusia dibebani atau diseru oleh Allah dengan seluruh hukum baik menyangkut urusan ushul seperti akidah maupun furû’ seperti ibadah, muamalah dll. Pandangan ini disepakati oleh Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad. Kesimpulan ini diambil di antaranya dari ayat berikut:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
Katakanlah Muhammad, “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua.” (QS al-A’râf [7]: 158).
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (QS Saba’ [34]: 28).
Kedua ayat tersebut menyatakan, bahwa Muhammad tidak lain diutus untuk seluruh manusia. Artinya, risalah yang dibawa Muhammad itu diserukan kepada seluruh manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. Tidak bisa dikatakan bahwa bagi non-Muslim seruan tersebut hanya menyangkut keimanan, yaitu seruan untuk mengimani risalah, dan tidak berkaitan dengan furû’ (hukum-hukum syariah). Sebab, keimanan pada risalah itu adalah keimanan pada risalah secara keseluruhan, baik pangkal maupun cabangnya. Mengkhususkannya pada pangkal saja harus didukung dengan nash yang mengkhususkan-nya. Padahal tidak ada nash yang mengkhusus-kannya. Apalagi banyak nash yang justru menjelaskan bahwa orang kafir juga diseru dan dibebani dengan hukum-hukum cabang. Contoh:
وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ، الَّذِينَ لا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang musyrik, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat (QS Fushshilat [41]: 6-7).
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ، وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab, “Kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan tidak pula memberi makan orang miskin.” (QS al-Mudatstsir [74]: 42-44)
Orang-orang kafir, baik musyrik maupun ahlul kitab dinyatakan celaka karena tidak menunaikan zakat dan dimasukkan ke dalam neraka karena tidak mengerjakan shalat dan tidak memberi makan orang miskin. Itu artinya orang-orang kafir juga diseru dengan hukum-hukum cabang.
Jadi mukallaf adalah seluruh manusia tanpa kecuali. Ini dari sisi siapa mukallaf itu.
Dari sisi implementasi hukum, terdapat beberapa ketentuan. Pertama: pelaksanaan yang bersifat aktif. Dalam hal ini harus dilihat. Jika pelaksanaan hukum itu ditetapkan Islam sebagai syaratnya seperti shalat, puasa, haji, ibadah-ibadah lainnya, kesaksian di luar masalah harta (finansial), menjadi penguasa atau hakim bagi kaum muslim, maka dalam hal ini orang kafir tidak boleh melaksanakan hukum tersebut. Jika orang kafir melakukannya maka tidak akan diterima. Hal itu karena Allah telah menetapkan Islam sebagai syaratnya.
Jika dalam pelaksanaannya tidak ditetapkan syarat Islam, seperti berperang bersama kaum Muslim, menjadi saksi dalam urusan harta, masalah sains dan teknologi, dsb, maka orang kafir boleh malaksanakannya.
Kedua: pelaksanaan karena paksaan, yaitu mereka dipaksa untuk mengimplementasikan hukum-hukum syariah. Dalam hal ini dibedakan antara hukum-hukum yang diserukan secara umum tanpa syarat iman dengan hukum-hukum yang diserai syarat iman kepada Islam. Jika hukum itu spesifik dengan mempersyaratkan iman kepada Islam, maka orang kafir tidak boleh dipaksa melaksanakannya. Jika mereka meninggalkannya, mereka tidak dikenai sanksi. Contoh: orang kafir tidak boleh dipaksa mengimani Islam dan tidak dikenai sanksi karena kekafiran mereka. Mereka tidak boleh dipaksa menunaikan shalatnya kaum Muslim. Mereka juga tidak dikenai sanksi atas pelaksanaan ibadah mereka yang berbeda dengan ibadahnya kaum Muslim. Mereka tidak boleh dipaksa ikut berjihad bersama kaum Muslim. Mereka juga tidak dipaksa meninggalkan daging babi dan khamr dan tidak dikenai sanksi karena memakan atau meminumnya.
Jika iman tidak menjadi syarat sah pelaksanaanya dan tidak ada nash yang menunjukkan hukum itu tidak diterapkan terhadap mereka, maka mereka dituntut untuk mengimplementasikannya; hukum-hukum itu diterapkan atas mereka; mereka dipaksa tunduk pada hukum-hukum tersebut dan mereka akan dikenai sanksi jika melanggarnya. Contoh: hukum-hukum muamalah dan ‘uqûbât.
Jadi, orang-orang kafir dituntut menerapkan seluruh hukum syariah, kecuali yang dikecualikan oleh dalil syariah. Dalilnya adalah karena Rasul juga menerapkan hukum-hukum tersebut terhadap orang-orang kafir. Dalam hal ini, Jabir bin Abdullah, misalnya, menuturkan:
رَجَمَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ، وَ رَجُلاً مِنْ الْيَهُوْدِ، وَ امْرَأَتَهُ
Nabi saw. pernah merajam seorang dari Bani Aslam dan seorang laki-laki dari Yahudi dan istrinya (HR Muslim).
Ketiga: taklif atas mukallaf dari sisi pelaksanaan perbuatan itu secara langsung digugurkan dari anak yang belum balig, orang yang gila dan orang yang tidur lelap hingga ia bangun. Ini di dasarkan pada sabda Rasul saw.:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ، وَ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ، وَ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ
Pena (taklif hukum) diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia balig; dari orang tidur hingga ia bangun; dan dari orang gila hingga ia waras (HR Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan al-Hakim).
Makna rufi’a al-qalamu adalah diangkat taklif atau gugur taklif.
Keempat: sanksi akan digugurkan dari mukallaf disebabkan alasan-alasan berikut:
1. Kehendaknya hilang karena dipaksa dengan paksaan yang mematikan atau yang setara hukumnya.
2. Jika lupa dan benar-benar tidak ingat akan kewajibannya.
3. Jika perbuatan itu dilakukan dalam cakupan wilayah kekeliruan (khatha’)—tidak disengaja—bukan karena kehendak (pilihannya). Hal itu didasarkan pada sabda Rasul saw.:
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِيْ اَلْخَطَأُ وَ النِّسْيَانُ وَ مَا اُسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
Diangkat (sanksi) dari umatku karena kekeliruan, lupa dan dipaksa. (ath-Thabarani, ad-Daruquthni dan al-Hakim).
Walhasil, mukallaf adalah seluruh manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. WaLlâh a’’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]