Bupati Subang Gunakan Dana BPJS untuk Cicil Utang Kampanye

Bupati Subang Gunakan Dana BPJS untuk Cicil Utang Kampanye

Mustanir.com – Mantan Bendahara Pengeluaran Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Suhendi, mengatakan Dinkes Subang menjadi “sapi perah” bagi Ojang Sohandi selama menjabat sebagai Bupati Subang. Menurut dia, Ojang selalu memungut uang miliaran rupiah dari kas Dinkes Subang, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah maupun dana kapitasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

“Pemberian uang itu berdasarkan kesepakatan antara Bupati, Sekretaris Dinkes dan orang dekat Bupati. Jadi kesepakatan itu Dinkes dan Bupati sebagai mitra. Itu ada keterkaitan saat Pilkada,” ujar Suhendi saat bersaksi sebagai saksi terdakwa kasus suap perkara BPJS mantan Kepala Bidang Layanan Kesehatan Dinkes Subang Jajang Abdul Kholik dan istrinya Leni Marliani, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Rabu, 19 Juli 2016.

Saat menjadi saksi, Suhendi dicecar sejumlah pertanyaan oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi dan Majelis Hakim. Ia dicecar pertanyaan ihwal pengeluaran uang Dinkes Kesehatan yang disalurkan ke Bupati Subang. Ia mengaku, pada tahun 2014, Dinkes Subang melalui dirinya telah menyetorkan uang sebanyak Rp 7,2 miliar, diantaranya: Rp 1,6 miliar dari potongan dana kapitasi BPJS dan Rp 5,6 miliar dari dana APBD Dinkes Subang. “Uang itu diserahkan melaui orang dekat Bupati. Seperti Hendra Purnawan wakil ketua DPRD Subang dan Wawan orang dekat bupati,” kata dia.

Selain itu, ia pun mengakui ada dana non budgeter yang digelontorkan setiap tahun ke Bupati. “Tiap tahun dana non budgeter diserahkan ke bupati dan penegak hukum, sejumlah Rp 600 juta,” Suhendi mengiyakan berita acara pemeriksaan yang dibacakan jaksa penuntut umum.

Suhendi menyebutkan bahwa uang yang disetorkan itu untuk keperluan pribadi Bupati. Uang tersebut, aku Suhendi, digunakan Ojang untuk mencicil utangnya yang ia pinjam untuk keperluan kampanye menjadi Bupati. “Selain itu, uangnya digunakan untuk membuat villa dan rumah makan,” kata Suhendi.

Pernyataan itu membuat majelis hakim geleng-geleng kepala. Ketua majelis hakim Longser Sormin heran mengapa Suhendi dengan seenaknya dan tanpa seizin Kepala Dinas Kesehatan memberikan uang tersebut ke bupati.

“Anda sudah jadi tersangka?” tanya majelis hakim. Suhendi menjawab “Belum pak.” “Wah, anda rawan juga. Anda tahu itu uang bukan jumlah kecil. Dan uang negara pula,” ujar majelis hakim.

Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan saksi atas kasus suap perkara korupsi BPJS Kabupaten Subang. Terdakwa Jajang Abdul Kholik dan istrinya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, lantaran tersandung kasus dugaan suap terhadap jaksa penuntut umum dari Kejasaan Tinggi Jawa Barat. Selain Jajang dan istrinya, dalam kasus ini, KPK pun mentapkan Jaksa Devianti, jaksa Fahri Nurmallo dan Bupati Subang sebagai tersangka.

Selain menjadi terdakwa kasus suap, Jajang pun telah divonis bersalah atas kasus penyelewengan dana BPJS Kabupaten Subang tahun 2014.

Sementara itu, jaksa penuntut umum KPK Dody Sukmono mengatakan, Suhendi merupakan pihak yang bisa memberikan gambaran secara jelas bagaimana perkara korupsi BPJS di Subang terjadi. “Kalau dihubungkan dengan terdakwa ini memang sedikit tidak ada kaitannya. Tapi untuk membangun fakta soal penanganan BPJS ini bakal terlihat gambaran besarnya,” kata Dody kepada Tempo.

Ia mengatakan, KPK sedang terus mendalami perkara kasus korupsi BPJS Subang ini. Menurutnya, KPK tidak akan berhenti pada kasus suapnya saja. “Keterangan saksi Itu merupakan sedikit gambaran yang melatarbelakangi kasus ini semua. Kalau kita hanya mengangkat kasus suapnya saja masyarakat tidak tahu yang sebenarnya kasus korupsi ini,” ujar dia. (tempo/adj)

Komentar Mustanir.com

Uang iuran BPJS yang begitu besar, tentu saja sangat menggiurkan bagi mereka yang hatinya sudah gelap karena ambisi politik. Padahal, tidak sedikitpun menjadi politisi di dalam sistem demokrasi membawa kemuliaan dan kehormatan, kebanyakannya selalu berujung kepada tersangka korupsi atau kasus hukum lainnya.

Berpolitik dalam demokrasi memang mahal. Biaya yang mahal itu tidak sebanding dengan gaji yang didapatkan ketika menjabat, maka satu-satunya pilihan ketika mendapatkan jabatan adalah dengan korupsi, baik itu pengadaan barang yang fiktif atau menjadi makelar proyek.

Ujung dari sistem politik demokrasi adalah instabilitas keadaan politik. Instabilitas keadaan politik akan sangat berimbas kepada kebijakan ekonomi dan investasi. Maka, lagi-lagi yang akan menjadi korban adalah rakyat. Mari kita benahi sistem perpolitikan negeri ini, begitu pula dengan sistem ekonomi dan semua sistem yang mengandung urusan kesejahteraan rakyat.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories