China Mencengkeram Indonesia dengan Utang
China Mencengkeram Indonesia dengan Utang
Dalam perjanjian tersebut, antara lain disyaratkan bahwa BUMN Indonesia yang menggarap proyek-proyek tersebut harus bekerja sama dengan BUMN milik Cina
Tiga bank milik negara yaitu Bank Mandiri, BRI dan BNI, pada 16 September 2015 lalu, mendapatkan pinjaman senilai total 3 milyar dolar AS dari Bank Pembangunan China (China Development Bank/CDB). Dari total pinjaman tersebut, masing-masing bank BUMN tersebut, menerima pinjaman sebesar satu milyar dolar AS dengan jangka waktu 10 tahun.
Selain itu, 30 persen dari dana pinjaman tersebut akan diterima dalam mata uang Renminbi (RMB). Dana tersebut nantinya sebagian besar akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang digagas pemerintah.
Pada hari yang sama, juga dilakukan penandatangan pemberian utang oleh Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) Indonesia dengan BTN senilai 5 milyar yuan atau sekitar Rp 10 trilyun untuk membiayai perumahan dan infrastruktur.
Kemudian, dikutip dari Chinadaily (25/9/15), ICBC juga memberikan utang senilai 500 juta dolar AS kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Eximbank), untuk mendorong perdagangan luar negeri dan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Rentetan penandatangan komitmen pemberian utang tersebut sejatinya merupakan tindak lanjut dari penandatangan nota kesepahaman antara Menteri BUMN, Rini Sumarno dengan pemerintah Cina di sela-sela pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Jakarta.
Dalam MoU tersebut disebutkan bahwa pemerintah Cina melalui CDB dan ICBC menyetujui pemberian pinjaman 50 milyar dolar AS. Jika dirupiahkan nilainya sebesar Rp 700 trilyun dengan kurs 14 ribu. Utang tersebut akan digunakan untuk pembangunan proyek infrastruktur nasional seperti pembangkit listrik, bandara, kereta cepat dan kereta api ringan (light rail transit).
Pemberian utang oleh Cina kepada Indonesia, tentu tidak gratis. Pasalnya selain harus membayar bunga, utang tersebut juga mensyaratkan berbagai hal. Dalam perjanjian tersebut, antara lain disyaratkan bahwa BUMN Indonesia yang menggarap proyek-proyek tersebut harus bekerja sama dengan BUMN milik Cina (thejakartapost, 3/7/2015).
Selain itu, penyediaan bahan baku hingga tenaga kerjanya pun juga sebagian harus berasal dari Cina. Memang, pemerintah mengklaim utang ini bersifat bussines to business sehingga tidak dijamin pemerintah. Namun demikian, karena pengutangnya adalah BUMN, maka risikonya secara tidak langsung juga ditanggung pemerintah.
Strategi Ekspansi
Makin besarnya keterlibatan Cina dalam perekonomian Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah Indonesia yang ‘haus’ investasi asing. Ketika presiden Jokowi diundang ke Beijing awal tahun ini oleh Presiden Cina, Xi Jinping, keduanya menandatangani penguatan Kerja sama Strategis Menyeluruh (Comprehensive Strategic Partnership) antara kedua negara.
Dalam perjanjian tersebut, antara lain disebutkan bahwa kedua negara mendorong kerja sama antar BUMN dalam pembangunan infrastruktur. Lebih lanjut disebutkan, pemerintah Indonesia memberikan kesempatan kepada Cina untuk terlibat dalam pembangunan proyek 35 ribu MW dari perencanaan, konstruksi, operasi hingga perawatan.
Selain itu, kedua negara akan bekerja sama membangun kawasan industri yang terintegrasi yang akan memberikan kebijakan prioritas agar lebih banyak investor Cina yang memanfaatkan kawasan tersebut.
Walhasil, setelah menjadi negara pengekspor terbesar ke Indonesia, kini Cina berusaha menyusul negara-negara kapitalisme lainnya seperti AS dan Jepang untuk mencengkramkan pengaruhnya di Indonesia dengan jalan serupa, memberikan utang yang menjerat. (ht/adj)