Teosofi dan Pancasila sebagai ‘Civil Religion’

MUSTANIR.netApakah Pancasila itu menurut konsepsi Sukarno pada 1 Juni 1945 dan dapatkah disebut sebagai suatu ideologi, atau ia terbatas hanya sebagai ‘dasar filosofis’ untuk berdirinya negara-kebangsaan baru? Pertanyaan seperti ini adalah serupa dengan pertanyaan apakah suatu aliran spiritual yang memiliki cakupan global, seperti halnya Teosofi —untuk menyebut suatu contoh yang biasanya dianggap berkaitan erat dengan nasionalisme— dapat disebut sebagai suatu gerakan keagamaan alternatif. Dalam tulisan ini saya mencoba melakukan suatu penelusuran komparatif terhadap Pancasila dan fenomena Teosofi bukan saja karena kesajajaran eklektiknya, tetapi juga ambiguitasnya dalam hubungan dengan sistem ideologis atau keagamaan secara umum. Selain itu yang paling penting adalah bahwa keduanya berkaitan erat dengan suatu bentuk nasionalisme kultural tertentu (yaitu Jawa) yang mengklaim mewakili nilai-nilai universal atau setidaknya semangat dunia ‘Timur’, sekaligus mempromosikan suatu pandangan tentang masyarakat sipil berdasarkan nilai-nilai religius (spiritual) yang kerap disebut sebagai bentuk ‘agama sipil’ (civil religion).

Teosofi, Agama dan Nasionalisme Kultural

Jika kita menelusuri literatur kajian historis ataupun antropologis tentang Teosofi di Indonesia, maka terdapat tiga atribut atau fungsi utama dari Teosofi: (1) Manifestasi ‘orientalisme’ dari pemikiran (esoterik) Barat (2) Wadah ekspresi kearifan lokal atau nasionalisme kultural (3) Teosofi sebagai pendorong ke arah studi perbandingan agama atau relativisme/pluralisme religius. Pembagian menjadi tiga fungsi itu penting untuk melihat kesejajarannya dengan Pancasila sebagai suatu perpaduan dari (1) adaptasi dan tafsir terhadap ideologi Barat (2) ekspresi nilai-nilai tradisional, dan (3) adaptasi nilai keagamaan —walaupun terdapat kecenderungan kuat pada perspektif Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia. Sangat jelas bagaimana posisi baik Teosofi maupun Pancasila dalam kaitannya dengan ekspresi nasionalisme yang berbasis pada ‘tradisi asli’, dalam hal ini adalah kolektivisme dan pandangan tentang masyarakat sebagai kesatuan organis.

Gerakan Teosofi yang dipelopori Helena Blavatsky (Rusia) dan Henry Olcott (Amerika) pada tahun 1875 adalah suatu aliran esoterisme Barat yang mengambil inspirasi dari sumber-sumber agama yang beragam dari India (paling utama) hingga Mediterania dan Timur Dekat. Tetapi di sisi lain, ia juga merupakan suatu reaksi terhadap sains evolusioner Darwinian sekaligus kebangkitan parapsikologi atau sains keparanormalan yang dipicu oleh aliran ‘spiritualisme’ di Amerika Serikat. Kaum Teosof seperti Blavatsky dan Olcott, kemudian Annie Besant mengembangkan ajaran Teosofi modern sebagai ‘sains’ yang diilhami oleh kearifan kuno, mengenai evolusi spiritual manusia ke tingkatan lebih tinggi. Selain itu karena Teosofi menganggap diri sebagai ilmu dan kearifan, ia menolak konsepsi dogmatis mengenai ketuhanan personal dalam bentuk apapun —kecuali sebagai ‘prinsip ilahiah’ abstrak (menyerupai pandangan tentang ‘Brahman’ India ataupun ‘Tao’ dalam agama Cina kuno) yang lebih memungkinkan didekati oleh nalar filosofis. Dengan pandangan demikian tidak mengherankan bahwa posisi Teosofi rentan diserang baik oleh agama maupun sains/saintisme; Kaum agamawan mencurigai doktrin teosofis berpotensi merusak keyakinan religius sementara para saintis melihatnya sebagai pseudo-sains yang bersifat irrasional. Tudingan paling umum adalah bahwa gerakan esoterik tersebut mempromosikan pandangan bahwa semua agama sama benarnya dalam esensi —sekaligus sama tidak sempurnanya.

Sebagian besar tulisan sejarah mengenai Teosofi di Indonesia berkaitan dengan tahap awal pergerakan di mana elemen nasionalisme kultural cukup mengemuka di kalangan aristokratik dan elite tradisional. Sebenarnya ada jauh lebih banyak pengaruh langsung Teosofi terhadap kemunculan kebatinan pada masa revivalisme Kejawen masa itu (sekitar tahun 1910-an hingga awal 1930-an), tetapi kecuali di kalangan antropolog agama, hanya sedikit perhatian tentang hal ini. Pengaruh nasionalisme kultural Jawa berkaitan dengan spiritualitas pan-India (yang dimunculkan Teosofi) atau pan-Asiatisme sejenis paling tampak nyata dalam ranah pendidikan dan pemikiran tentang masyarakat organis sebagai dasar dari aliran korporatis dan otoritarianisme di Indonesia. Hal ini sudah cukup banyak dibahas seperti dalam tulisan David Reeve (1985) dan tesis master Farabi Fakih (2009). Kembali kepada topik awal kita mengenai Pancasila, tampaknya ada satu topik yang mungkin bisa dikembangkan sebagai mata-rantai penghubung antara isu hubungan agama dan negara dalam Pancasila dengan peran organisasi-organisasi spiritual dan fraternal Barat —yaitu konsep agama sipil (civil religion). Ini adalah suatu konsep dari Eropa Zaman Pencerahan yang ingin mengisi kekosongan ‘ruang sakral’ yang ditinggalkan oleh disintegrasi agama formal sebagai akibat gelombang pemikiran sekular —dan sangat penting untuk memahami bagaimana nasionalisme berbasis kewarganegaraan berfungsi dalam sebuah masyarakat plural.

Pancasila dan ‘Civil Religion’

Salah satu pangkal kontroversi tentang Pancasila adalah dalam hubungannya dengan agama dan ideologi (politik) sekular. Kalangan Islamis cukup lazim membuat klaim bahwa ajaran Islam adalah sumber utama Pancasila karena sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bermakna ‘tauhid’ atau bahwa prinsip seperti kemanusiaan dan keadilan sosial memiliki akar dalam ajaran keislaman. Tetapi jika meninjau secara historis, konsep awal sila Pancasila tersebut dalam rumusan Sukarno adalah ‘Ketuhanan Yang Berkebudayaan’, yang lebih dekat dengan pengertian ‘agama keadaban’ atau agama sipil (civil religion). Hal tersebut berarti pengakuan tentang agama sebagai pilar keadaban masyarakat, suatu ‘perekat sosial’ di mana ruang dan simbol yang disucikan menjadi penanda identifikasi sosial, yang menghubungkan individu-individu dalam ikatan bersama.

Konsep tentang agama keadaban atau agama sipil sendiri berasal dari Zaman Pencerahan Eropa (abad ke-18) khususnya terkait pemikiran filosofis dari Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dalam ‘The Social Contract’ (1762), maupun sosiolog Emile Durkheim. Rousseau adalah tokoh pertama yang memunculkan term ‘agama sipil’ sebagai alternatif terhadap agama konvensional, di mana ia lebih didefinisikan sebagai sentimen religius yang menyatukan warganegara dan ‘memberi inspirasi rakyat untuk membela negara seperti membela agamanya’. Ekspresi keagamaan sipil semacam ini muncul pada masa rezim Jacobin di bawah Robespierre dkk (1793-1794) dalam Revolusi Prancis di mana berlangsung suatu gerakan dekristianisasi untuk menggantikan Katolik Roma, agama resmi negara yang dianggap simbol tatanan feodal lama, dengan agama sipil dan kultus nalar (Cult of Reason). Sementara menurut Durkheim, masyarakat modern membutuhkan dikembangkannya ritual dan sistem simbolik baru yang dapat menghasilkan rasa solidaritas dalam kerangka republikanisme. Bentuk yang paling sesuai untuk memenuhi hal tersebut ialah ‘agama sipil’.

Dalam hal ekspresi keagamaan sipil, Amerika Serikat merupakan contoh terbaik dan paling konsisten, sebagaimana diungkapkan oleh ilmuwan kajian agama Robert Bellah dalam tulisannya ‘Civil Religion in America’ (1967). Menurut Bellah, sikap keagamaan sipil di Amerika didukung oleh kesadaran akan pluralitas religio-kultural warga Amerika, sehingga bentuk agama negara yang didasarkan pada agama formal (seperti Katolik Roma di negara-negara Eropa atau Anglikan di Inggris) tidak memadai. Ekspresi keagamaan sipil di Amerika terepresentasi dalam upacara atau ritus kenegaraan, seperti pidato dan dokumen kenegaraan yang selalu mencantumkan ‘In God we trust’ tanpa mengacu pada konsep teologis manapun. Wadah kemasyarakatan yang paling mencerminkan fungsi agama sipil adalah ‘fraternal orders’ semacam Freemasonry; perkumpulan-perkumpulan ini tidak berfungsi seperti ‘gereja’ dalam pengertian tradisional, namun memiliki ritual simbolik tersendiri serta menanamkan kode-etik/moral religius, tanpa asosiasi eksklusif pada agama tertentu. Walaupun lebih sebagai perkumpulan elite, perkembangan organisasi kemasonan atau fraternalisme sejenis sangat mungkin menjadi wadah meluasnya ide keagamaan sipil (Dapat dikatakan bahwa Freemason di dunia Barat adalah representasi utama semangat keadaban yang bersifat kuasi-religius, sementara Teosofi menekankan pada dimensi spiritual).

Bahwa Pancasila dengan salah satu prinsip dasarnya adalah Ketuhanan (‘yang berkebudayaan’) dimaksudkan sebagai ‘agama sipil’, dapat menjelaskan kecenderungannya untuk berlawanan dengan Islam ideologis/politis (Islamisme). Di sisi lain ia dapat berjalan seiring dengan pemikiran Islam sebagai pilar keadaban atau ‘Islam sipil’ (Civil Islam) seperti dimunculkan oleh Nurcholish Madjid atau Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam ‘Islam sipil’ nilai-nilai keagamaan diadaptasikan untuk memperkuat masyarakat sipil ataupun sebagai kekuatan emansipatif sebagaimana dilakukan oleh mazhab ‘teologi pembebasan’ di Barat yang memadukan Kristen dengan aspek humanistis dari Marxisme. Pemikiran tentang ketuhanan dalam Pancasila yang bersifat agama sipil juga mengimplikasikan suatu konservatisme tertentu, bahwa sikap anti-religius atau ateisme tidak dikehendaki, apalagi jika ia dikampanyekan di muka umum karena efeknya dapat menimbulkan disintegrasi sosial

Ideologisasi Pancasila: Sukarno dan Suharto

Meski secara resmi dinyatakan sebagai dasar (filosofis) negara, Pancasila kemudian cenderung diindoktrinasikan sebagai ideologi negara dan sebagai ‘pendidikan sipil-kewarganegaraan’ (civic education) —di mana kaum militer dominan dan mendesakkan nilai-nilai mereka di dalamnya— khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) hingga Orde Baru (1966-1998). Pada masa Sukarno, terdapat kecenderungan untuk memperlakukan Pancasila sebagai tafsir ideologi-ideologi Barat dari perspektif ‘nativis’ ketimuran, atau ‘nasionalis’ —agaknya nyaris serupa dengan cara kaum teosof memperlakukan doktrin mereka sebagai tafsir terhadap agama dan spiritualitas/metafisika Timur dalam perspektif Barat. Seperti halnya Teosofi yang tidak menganggap diri sebagai agama, Pancasila dalam pandangan Bung Karno cenderung tidak, atau hanya sedikit memiliki pretensi ideologis —agaknya karena apa yang dipandang sebagai inti doktrinal Sukarnois adalah ‘Marhaenisme’, yang dianggap sebagai ‘sosialisme ala Indonesia’ alih-alih Pancasila. Sukarno sendiri menganggap diri hanya ‘penggali’ dan bukan pencipta Pancasila yang intinya merupakan ‘nilai-nilai yang hidup dalam tradisi kolektivis bangsa Indonesia sendiri’. Meski tetap saja, sebagai tokoh sentral dalam penemuan Pancasila sebagai dasar negara, Sukarno adalah otoritas utama dalam ‘tafsir ideologis’ tentang dasar negara tersebut hingga kejatuhannya pada 1965-67.

Pengadopsian atau reinvensi (reinvention) Pancasila sebagai ideologi negara berhubungan erat dengan misi politik tentara dan visi negara Orde Baru di bawah Suharto. Hal ini berlangsung sejak kepemimpinan Angkatan Darat (Nasution) mendukung nasionalisasi akhir tahun 1950-an, pembangunan ekonomi terencana dan akumulasi kapital yang disponsori negara. Tetapi institusionalisasi ‘kapitalisme birokratik’ ini hanya dapat dilakukan dengan landasan doktriner tertentu: ‘dwi-fungsi dan ‘civic mission’ tentara. Meskipun indoktrinasi negara terkait Pancasila juga berlangsung secara lebih terbatas pada masa Demokrasi Terpimpin, ada perbedaan mencolok pada pemaknaan Pancasila di antara periode Sukarno dan Suharto; Jika yang pertama menekankan pada karakter anti-kolonial dan kolektivis/illiberal dari bangsa Indonesia, maka yang terakhir untuk sebagian besar bersifat anti-komunisme. Bahkan dapat dikatakan bahwa alasan utama penguatan Pancasila sebagai ideologi adalah ancaman dari rival ideologis baik ‘ekstrim-kiri’ (komunisme) atau ‘ekstrim-kanan’ (fundamentalisme agama), dan narasi besar ini nyaris tetap bertahan hingga kini.

Ideologisasi Pancasila tersebut dimulai dengan penetapan tanggal 1 Oktober 1965, hari ketika percobaan kudeta yang dituduhkan kepada kaum komunis dapat digagalkan, sebagai ‘Hari Kesaktian Pancasila’. Sejalan dengan itu, Orde Baru secara sistematis melucuti setiap asosiasi ideologis Pancasila dengan Sukarno —yang secara implisit dianggap telah mendukung interpretasi ‘menyimpang’ terhadap Pancasila (baca: Nasakom)— dan memaksakan versinya sendiri, bahkan dengan mengabaikan rekomendasi para tokoh generasi ‘founding father’ (termasuk Hatta, yang pada tahun 1977-78 menjadi salah satu tokoh kritis terhadap praktek korup pemerintah bersama kelompok ‘Petisi 50’, dan justru menegaskan otoritas Sukarno dalam penemuan Pancasila). Pada tahun 1978, pemerintahan Suharto membuka pelatihan-pelatihan indoktrinatif Pancasila (yang disebut P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) bagi semua pegawai dan aparat negara. Lebih jauh dari penekanan Sukarno akan inti kolektivis dalam bentuk gotong royong, model indoktrinasi Orde Baru mengembangkan gagasan masyarakat organis dan harmoni sosial dengan nilai kekeluargaan yang suci sebagai intinya; dengan kata lain negara merupakan ‘makrokosmos’ keluarga berikut relasi kuasa di dalamnya. Jika rezim Demokrasi Terpimpin Sukarno menjadikan sila pertama Pancasila sebagai perwujudan semangat keagamaan sipil, maka Orde Baru Suharto agaknya menjadikan Pancasila sebagai ‘agama sipil’ itu sendiri lengkap dengan ritus sakralnya, sosok orang-orang suci dan iblis-nya (sekalipun sosok ‘iblis’ itu ditampilkan dalam bentuk ideologi yang terlarang).

Penutup

Dari uraian komparatif mengenai Teosofi dan Pancasila (khususnya Pancasila menurut Bung Karno), jelaslah bahwa titik temu keduanya terletak pada konsep ‘agama sipil’ yang didukung oleh kaum nasionalis kultural (‘Kejawen’) dan kelompok minoritas religius (khususnya Katolik) untuk melawan tafsir yang lebih Islamis terhadap Pancasila khususnya prinsip Ketuhanan-nya yang dipandang sebagai manifestasi monoteisme. Ketika kelompok-kelompok yang terinspirasi Teosofi melembagakan ‘pluralisme religius’ melalui kajian perbandingan agama dan/atau spiritualitas, maka mereka harus menciptakan ‘payung’ ideologis di mana ia dapat dibenarkan. Hal ini hanya dapat dilakukan ketika negara sendiri mendukung suatu bentuk ‘agama sipil’ yang dapat menengahi bentuk sekularisme murni (di mana ekspresi agama di ranah publik didiskreditkan/dibatasi) dan bentuk negara teokrasi atau semi-teokrasi sebagaimana aspirasi kaum Islamis. Langkah politis seperti penetapan Pancasila sebagai ‘asas tunggal’ ataupun penataran P4 bukan semata didorong oleh anti-komunisme sebagaimana halnya kalangan militer, namun juga kaum minoritas religius dengan mendukung dan berharap Pancasila itu sendiri dapat menjadi ‘agama sipil’ untuk menjamin bahwa suatu negara teokrasi berdasarkan agama yang dominan tidak akan terwujud. []

Sumber: Pradipto Niwandhono, SS, M.Hum, Ph.D

Referensi:
• David Bourchier, 2015. “Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State”, New York, Routledge
• Farabi Fakih, 2009. ‘Political Java in Modern Times: the political thoughts of Tjipto Mangunkusumo and Noto Soeroto 1908-1930’, MA thesis, Universiteit Leiden
• Gail Gehrig, 1979. ‘American Civil Religion: The History and Evolution of a Sociological Concept’, PhD dissertation, Loyola University Chicago.
• Herman AO de Tollenaere, 1996. ‘The Politics of Divine Wisdom: Theosophy and labour, national, and women’s movements in Indonesia and South Asia 1875-1947, Katholieke Universiteit Nijmegen
• Ismatu Ropi, 2017. “Religion and Regulation in Indonesia”, Singapore, Palgrave Macmillan
• Robert B. Hefner, 2000. “Civil Islam: Muslims and Democratisation in Indonesia”, Princeton, Princeton University Press
• Yudi Latif, 2012. “Negara Paripurna: Historisitas, Aktualitas, dan Rasionalitas Pancasila”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories