MUSTANIR.net – Hari-hari ini banyak status sosmed yang menyatakan darurat demokrasi, sehubungan dengan pembangkangan DPR RI terhadap putusan MK. Padahal fenomena putusan MK diabaikan DPR, DPR kembali mengadopsi norma perundangan yang substansi bahkan hingga redaksinya telah dibatalkan MK, itu lazim dan biasa dilakukan DPR.

Namun yang spesial saat ini adalah karena DPR RI melalui Baleg (Badan Legislasi) DPR RI langsung melakukan rapat untuk membahas revisi UU Pilkada, sesaat setelah MK mengeluarkan Putusan Nomor 60 dan Putusan nomor 70. Putusan nomor 60, soal syarat ambang batas perolehan kursi/suara partai untuk pencalonan dalam Pilkada, sedangkan Putusan nomor 70 berkaitan dengan syarat usia 30 tahun menjadi calon Gubernur/Wakil Gubernur dihitung sejak penetapan calon oleh KPU.

Putusan nomor 60 mengganggu kepentingan politik parpol yang terhimpun dalam Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus). Sementara Putusan nomor 70 menggangu kepentingan Jokowi untuk mendudukkan putra bungsunya Kaesang Pangarep, menduduki tahta Wagub di Pilgub Jateng.

Akhirnya kombinasi kepentingan KIM Plus dan Jokowi itulah yang menjadi motif pemerintah bersama DPR RI membahas RUU perubahan ke empat UU Pilkada. Jadi, Jokowi tak bisa cuci tangan, dengan menyatakan itu wewenang DPR. Karena UU dibentuk bersama Presiden dan DPR.

Ada pun revisi yang dilakukan DPR, yakni ingin mengembalikan norma syarat kursi/suara parpol kembali ke 20% perolehan kursi dan 25% perolehan suara, dan syarat usia 30 tahun dikembalikan hitungannya saat pelantikan kepala daerah, itu juga bukan kepentingan rakyat. Semua itu juga hanya kepentingan rente pemburu kekuasan, politisi maupun partai politik.

Sebab sebelum ada hiruk pikuk masalah ini, sejumlah Pilkada telah diselenggarakan dan telah menghasilkan ratusan kepala daerah, Gubernur, Bupati maupun Walikota. Namun semua tidak ada yang berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat.

Sejumlah kepala daerah malah menyalahgunakan kekuasaannya untuk korupsi. Eks Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba adalah salah satu contohnya.

Sementara itu kepala daerah yang korupsi itu merata dilakukan oleh seluruh kader partai politik di Koalisi Indonesia Maju, Koalisi Perubahan, termasuk kader PDIP.

Kalau ditanya, dari partai apa saja kepala daerah yang kena kasus korupsi? Pasti dijawab, ada dari PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKS, PKB, PAN, PPP, dan yang lainnya. Artinya, merata semua melakukan kejahatan korupsi.

Belum lagi betapa rusaknya pilkada dalam demokrasi sudah bukan rahasia lagi. Terlalu banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem demokrasi ini.

Coba cek lagi, berapa banyak kantor KPU dan pemerintah dirusak massa gara gara Pilkada? Berapa banyak Caleg dan Cakada stres dan gila gara-gara sistem demokrasi ini? Berapa banyak nyawa melayang gara gara suksesi dalam sistem demokrasi? Berapa banyak anggaran sia-sia untuk gelaran suksesi demokrasi? Berapa banyak perpecahan di tengah masyarakat gara-gara suksesi demokrasi? Jawabnya, sudah tak terhitung jumlahnya.

Kalau sudah demikian, ini dapat kita simpulkan bahwa masalahnya ada pada sistem. Sistem demokrasi yang mahal, kedaulatan rakyat demokrasi yang menipu, kekuasan oligarki dan partai politik yang berdaulat dalam demokrasi, membuat sistem ini korup, memecah belah, merusak, membinasakan.

Jadi, saat ini bukan darurat demokrasi. Demokrasi memang rusak. Bahkan sangat parah.

Dalam isu terkini, perilaku DPR RI yang membangkang pada putusan MK justru menyingkap borok-borok demokrasi. Demokrasi yang selama ini menyatakan kedaulatan di tangan rakyat, kedaulatan tertinggi ada pada hukum, ternyata semua hanya dusta.

Tindakan DPR yang melakukan perubahan UU Pilkada dengan mengabaikan putusan MK nomor 60 dengan membuat norma baru yang substansinya kembali ke ambang batas 20% perolehan kursi atau 25% total perolehan suara, atau norma lain yang senafas, sejatinya bukanlah mandat kedaulatan rakyat, melainkan mandat kedaulatan oligarki dan kartel politik di KIM Plus. Artinya, ide kedaulatan rakyat dalam demokrasi itu utopia, hanya mimpi, karena kenyataannya yang berdaulat dalam demokrasi adalah oligarki dan partai politik.

Tindakan DPR yang membangkang pada Putusan MK nomor 60, yang nantinya akan membuat norma baru yang substansinya kembali ke ambang batas 20% perolehan kursi atau 25% total perolehan suara, atau norma lain yang senafas, sejatinya bukanlah mandat hukum dan konstitusi, melainkan mandat kedaulatan oligarki dan kartel politik di KIM Plus. Artinya, ide kedaulatan hukum dalam demokrasi itu juga utopia, hanya mimpi, karena kenyataannya yang berdaulat dalam demokrasi adalah oligarki dan partai politik.

Terkait upaya DPR mempertahankan Putusan MA nomor 90 dan mengabaikan Putusan MK nomor 70 untuk mempertahankan syarat usia 30 tahun calon Gubernur dihitung saat pelantikan, sejatinya bukanlah mandat kedaulatan rakyat, melainkan mandat kedaulatan Jokowi untuk menyelamatkan Kaesang. Artinya, ide kedaulatan rakyat dalam demokrasi itu juga utopia, hanya mimpi, karena kenyataannya yang berdaulat dalam demokrasi adalah penguasa, dalam hal ini Jokowi.

Praktik seperti ini sudah lazim dalam sistem demokrasi, bukan hanya saat hiruk pikuk pembangkangan DPR terhadap putusan MK. Dulu, saat DPR membangkang putusan MK terkait UU cipta kerja, modusnya juga sama.

Artinya, demokrasi memang rusak. Umat butuh alternatif sistem, dan sistem itu adalah khilafah.

Saat ini umat darurat khilafah untuk menegakkan kedaulatan syara’ dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah. Umat darurat khilafah untuk menyelamatkan harta, kehormatan, agama dan jiwa kaum muslimin. Umat darurat khilafah untuk mengembalikan kedaulatan Allah subḥānahu wa taʿālā sebagai pencipta, untuk mengatur seluruh manusia dan makhluk-Nya.

Umat darurat khilafah untuk menyelamatkan manusia, dunia dan akhirat. Umat darurat khilafah untuk menata dan memakmurkan bumi, sebagai mandat penciptaan manusia yang telah diamanahkan oleh Allah subḥānahu wa taʿālā.

Karena itu, berjuanglah untuk khilafah. Bergeraklah, untuk khilafah. Jangan tumbalkan umat ini dalam pertarungan kekuasaan elite dan partai politik dalam sistem demokrasi. []

Sumber: AK Channel

About Author

Categories