Freeport dan Kuatnya Penjajahan Ekonomi di Indonesia
Foto: merdeka.com
MUSTANIR.COM – Kasus Freeport kembali menjadi polemik. Terutama setelah Presiden Jokowi menyatakan bahwa Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tambang PT Inalum telah mencapai kesepakatan dengan Freeport McMoran soal akuisisi saham 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Dengan adanya kesepakatan ini, Indonesia akan menguasai 51 persen saham Freeport yang beroperasi di Papua. Sebelumnya, Indonesia hanya memiliki 9,36 persen saham perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu.
Pernyataan ini dianggap pencitraan yang kelewatan. Faktanya, divestasi tersebut hanya baru penawaran saja, terlalu mahal dan dibiayai dari utang.
Jalan Panjang Divestasi Saham
PT Freeport masuk ke Indonesia bermodalkan perjanjian kontrak karya pada 7 April 1967 yang dikenal dengan Kontrak Karya (KK) I . KK I tahun 1967 ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company (sekarang Freeport-McMoRan) melalui anak perusahaannya, yaitu Freeport Indonesia Incorporated, sebagai kontraktor tunggal dalam mengeksploitasi, eksplorasi serta memasarkan tembaga lainnya selama 30 tahun di luas lahan konsesi 10 ribu hektar di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Namun, karena ada temuan cadangan emas terbesar di Grasberg, maka pada 1991 Freeport memperbarui kontrak karya. Kontrak karya jilid II ditandatangani pada 1991. Pada KK kedua disepakati masa berlaku kontrak karya 30 tahun dengan periode produksi berakhir pada 2021, serta kemungkinan perpanjangan dua kali 10 tahun atau baru akan berakhir pada 2041.
Pada KK jilid kedua inilah muncul keharusan Freeport-McMoRan untuk mendivestasikan atau menjual 51 persen sahamnya kepada Pemerintah secara bertahap dalam kurun waktu 20 tahun sejak kontrak karya ditandatangani atau paling lambat pada 2011, sesuai Pasal 24 Kontrak Karya 1991 antara Freeport-McMoRan dengan Pemerintah.
Ironisnya Freeport-McMoRan merasa tidak memiliki kewajiban untuk melakukan divestasi sebagaimana tercantum dalam Kontrak Karya 1991. Sebab, pada 1994, Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 yang mengizinkan kepemilikan saham 100 persen oleh asing dan kewajiban divestasi dilakukan setelah 15 tahun berproduksi.
Selain itu, PP ini juga menyatakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) tidak wajib mendivestasikan sahamnya kepada pihak Indonesia. PP ini pun menjadi payung teduh bagi Freeport. Selain itu, klausul dalam Kontrak Karya jilid II 1991 menyebutkan jika ada dua pasal yang isinya bertabrakan, maka PMA bisa memilih peraturan yang lebih menguntungkan. PP ini dijadikan tameng berkelit FCX untuk segera mendivestasikan 51 persen saham PT FI kepada Pemerintah Indonesia.
Lahirnya UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang juga mengatur masalah divestasi saham, juga tak dihiraukan oleh FCX. Pasal 112 Ayat 1 menyatakan, setelah lima tahun berproduksi, badan usaha pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta nasional.
Jika dihitung sejak aturan ini terbit, maka pada 2014, sebanyak 51 persen saham Freeport Indonesia sudah bisa didivestasikan kepada perusahaan atau perorangan nasional.
Namun, Pasal 169 UU yang sama juga menyebutkan, kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. Ini artinya, Pemerintah mengakui kontrak karya yang dibuat bersama FCX pada 1991. Ini yang menimbulkan kontradiksi, ketentuan mana yang harus dipatuhi. Untuk dapat menjalankan amanah pasal 112 UU Nomor 4 ini, maka terlebih dulu harus dilakukan perubahan terhadap kontrak karya.
Tahun 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara agar tetap dapat menjalankan divestasi saham. Pasal 97 PP ini menyebutkan pemodal asing pemegang (Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) setelah lima tahun sejak produksi wajib melakukan divestasi saham.
Dengan itu sahamnya paling sedikit 20 persen dimiliki oleh peserta Indonesia. PP ini kemudian diubah dan dikuatkan lagi menjadi PP Nomor 24 Tahun 2012 dan PP Nomor 77 Tahun 2014. PP ini mengatur rincian divestasi antara lain: pada tahun keenam divestasi saham sebesar 20 persen, tahun ketujuh divestasi saham sebesar 30 persen, tahun kedelapan 37 persen, tahun kesembilan 44 persen dan tahun kesepuluh 51 persen dari jumlah seluruh saham.
Pada Era Jokowi kembali mencuat isu disvestasi saham. Pada 27 Agustus 2017, para menteri Jokowi mengklaim sudah berhasil membuat kesepakatan terkait hasil negosiasi dengan Freeport, kemudian dijelaskan tiga kesepakatan yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia dan Freeport antara lain:
Freeport Indonesia sepakat untuk melakukan divestasi 51% saham kepada pihak Indonesia.
Freeport Indonesia berkomitmen membangun smelter dalam 5 tahun sampai Januari 2022, atau 5 tahun sejak Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) keluar.
Freeport Indonesia sepakat menjaga besaran penerimaan negara sehingga lebih baik dibanding rezim Kontrak Karya (KK).
Berdasarkan Kesepakatn di atas, dibuatlah Heads of Agreement (HoA) pada tanggal 12 juli 2018. Isinya menyatakan bahwa Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tambang PT Inalum telah mencapai kesepakatan dengan Freeport McMoran soal akuisisi saham 51 persen saham PT Freeport Indonesia.
Meskipun demikian, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana sudah mengingatkan Heads of Agreement (HoA) yang ditandatangani oleh Inalum, Freeport McMoran dan Rio Tinto pada Kamis (12/7/2018) menyisakan permasalahan terkait dengan status HoA dan harga pembelian.
“Menurut Menteri BUMN pada konferensi pers dinyatakan HoA mengikat. Sementara dalam rilis dari laman London Stock Exchange disebutkan bahwa Rio Tinto melaporkan HoA sebagai perjanjian yang tidak mengikat (non-binding agreement). Hal yang sama juga disampaikan oleh Menteri ESDM, Ignasius Jonan, adanya kesepakatan HoA bukan berarti 51% saham Freeport sudah bisa dikuasai. Sebab, HoA sifatnya tidak mengikat dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Freeport dan Penjajahan Ekonomi
Sejak Kontrak Karya “generasi pertama” ini, PT Freeport sudah mendapat keistimewaan dari Pemerintah. Pemerintah membolehkan Freeport menikmati masa bebas pajak selama tiga tahun, konsesi pajak sebesar 35 persen selama tujuh tahun berikutnya, serta pembebasan segala macam pajak ataupun royalti selain lima persen pajak penjualan. Kondisi ini tidak ada perubahan signifikan sampai saat ini. Bahkan Freeport seolah-olah perusahaan yang kebal hukum.
Sebelum kasus disvestasi muncul, juga terjadi polemik terkait tunggakan pajak PT Freeport. Polemik ini muncul setelah Hakim Mahkamah Agung membatalkan keputusan Pengadilan Pajak yang mengesahkan tagihan pajak air permukaan Pemerintah Provinsi Papua ke Freeport sebesar Rp 2,6 Triliun.
Gubernur Papua Lukas Enembe pernah mengadukan masalah ini kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena PT Freeport Indonesia belum juga melunasi pajak air permukaan kepada Pemerintah Provinsi Papua. Aduan disampaikan Lukas saat rapat terbatas evaluasi Proyek Strategis Nasional di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (19/7) tahun lalu. Namun, harapan untuk mendapatkan pembayaran itu kandas setelah Keputusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan PT Freeport Indonesia.
Begitu juga hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan adanya potensi kerugian negara akibat operasional PT Freeport Indonesia di Papua sebesar Rp 185,58 triliun. Penyebabnya adalah sejumlah pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat itu.
Temuan ini dituangkan BPK dalam hasil pemeriksaaan dengan tujuan tertentu atas penerapan kontrak karya Freeport Indonesia tahun anggaran 2013 hingga 2015. Penyebab potensi kerugian negara paling besar adalah dampak pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuary dan ada yang telah mencapai kawasan laut. Nilainya mencapai Rp 185 triliun.
Namun, temuan ini dianggap angin lalu. Bahkan ketika diklarifikasi di dalam rapat dengan pihak DPR, pihak Freeport tanpa beban mengatakan tidak mengetahui adanya temuan itu.
DPR juga menyoroti perkembangan negosiasi Pemerintah dengan Freeport. Salah satu yang menjadi sorotan terkait pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Anggota komisi VII DPR dari Fraksi PAN, Toto Daryanto, mengatakan hingga kini perkembangan pembangunan smelter Freeport belum kunjung signifikan.
Padahal perusahaan asal Amerika Serikat itu berjanji akan membangun pabrik itu di Papua atau Gresik. Dengan janji tersebut Freeport mendapat izin perpanjangan untuk mengekspor konsentrat sebesar 1,24 juta ton dari 1,6 juta yang diajukan pihak Freeport.
Protes terhadap Freeport juga datang dari Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio. Dia mengatakan Freeport dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara merupakan bagian dari 52 perusahaan yang separuh pendapatannya berasal dari Indonesia. Namun, keduanya malah melantai di bursa saham luar negeri.
Keistimewaan-keistimewaan yang didapatkan oleh Freeport merupakan simbol bagaimana kuatnya penjajahan Kapitalisme dalam bentuk investasi di negara ini. Eksistensi Freeport juga menjadi cermin betapa lemahnya Pemerintah dan kuatnya konspirasi mereka untuk melanggengkan eksistensi perusahaan-perusahaan asing dalam mengeruk kekayaan alam negeri ini.
Harga Terlalu Mahal dan Didanai Asing
Nilai disvestsi saham menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno diperkirakan berkisar US$ 3,5 miliar hingga US$ 4 miliar atau paling mentok setara Rp 57 triliun. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batu Bara harga divestasi ini terlalu mahal. Seharusnya, kata dia, Pemerintah bisa dan harus meminta harga yang jauh lebih rendah.
“Mengingat Freeport pun harus membayar sanksi akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,” kata Marwan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (11/7/2018).
Menurut dia, yang semestinya dijadikan rujukan perhitungan harga saham adalah periode Kontrak Karya (KK) tambang Freeport yang berakhir tahun 2021. Bukan periode KK hingga 2041 seperti yang diinginkan Freeport. “Dengan masa berlaku KK yang tersisa hanya tinggal 3-4 tahun, maka nilai aset dan bisnis Freeport mestinya jauh lebih rendah dari US$ 3 miliar-US$ 4 miliar,” tutur Marwan.
Dengan rujukan periode kontrak yang tinggal 3-4 tahun, menurut Marwan, saham Freeport semestinya hanya berkisar US$ 1-1,5 miliar. “Jika ditambah dengan sanksi-sanksi hukum akibat kerusakan lingkungan yang nilainya sangat besar diperhitungkan, maka nilai yang harus dibayar negara untuk saham divestasi Freeport diperkirakan hanya beberapa ratus juta dolar AS saja.
Ironisnya, selain mahal, dana untuk disvestasi juga akan dibiayai dari utang yang diperoleh dari swasta. Seperti yang disampaikan oleh Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin, perusahaan itu bakal mengandalkan pinjaman dana dari 11 bank.
Solusi Islam
Tambang emas yang dikelola PTFI merupakan tambang terbesar di dunia. Nilai cadangannya mencapai US$ 42 miliar. Ditambah dengan cadangan tembaga senilai US$ 116 miliar dan perak senilai US$ 2,5 miliar. Total cadangan terbukti mencapai US$ 160 miliar atau setara Rp 2.290 triliun.
Agar semua itu menjadi milik umat dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat tentu harus ada solusi. Solusinya harus berdasarkan sstem ekonomi Islam atau berdasarkan syariah Islam. Dalam pandangan Islam, tambang Freeport merupakan milik umum yang wajib dikelola oleh Negara. Haram diserahkan kepada swasta apalagi asing. Kesepakatan Freeport sejak KK I sampai saat ini adalah kesepakan yang batil.
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menyatakan setiap syarat atau perjanjian yang bertentangan dengan Kitabullah adalah batil walaupun ada 100 syarat. Karena itu dalam pandangan Islam, tambang Freeport harus segera diambil alih oleh Negara saat ini juga tanpa menunggu 2021 atau tanpa melalui proses disvestasi.
Akan tetapi, solusi tersebut hanya bisa dilakukan oleh negara yang kuat yang menerapkan sariah Islam. Negara ini harus mampu untuk menghadapi negara, institusi dan regulasi global yang menjadi pelindung eksistensi Freeport dan perusahaan asing. Negara itu tidak lain adalah Negara Khilafah Rasyidah Islamiyyah yang sedang diperjuangkan oleh sebagian umat Islam saat ini. [MAN/LM dari berbagai sumber]
Sumber: alwaie.id