
Sense8
Generasi Milenial, Ironi Digital dan Degradasi Moral
Ilustrasi. foto: indiewire.com
MUSTANIR.COM – GENERASI EMAS. Jangan harap label ini bisa disematkan pada generasi Z zaman now yang diakui berambisi besar, bernalar bebas, percaya diri dan pastinya melek teknologi. Bagaimana tidak, seberapa pantas label ini disematkan jika secara aktual, semakin banyak bukti yang menunjukkan kebobrokan moral para penerus bangsa ini. Kepintaran smartphone nyatanya tidak didukung oleh penggunanya yang seharusnya lebih smart.
Tengok saja, pergaulan bebas semakin hari semakin menjadi-jadi. Jika dulu, persoalan hamil diluar nikah, LGBT hingga pelacuran menjadi sesuatu yang amat keras mendapat pertentangan. Kini, akibat merebaknya pergaulan bebas, persoalan ini seolah menjadi persoalan yang wajar. Kita bahkan tak usah jauh-jauh menemuinya, bisa jadi pelakunya adalah tetangga, teman , bahkan saudara kandung sendiri.
Variasi tindakan amoral inipun acapkali tak habis pikir dan terbayang oleh generasi Y bahkan generasi X benar-benar ril terjadi. Tengok saja, fakta mengejutkan terbaru di Cikarang ditemukan sebuah grup percakapan Whatsapp yang berisi 24 siswa dan siswi yang aktif saling membagikan video porno. Tak kalah mengejutkan, akibat grup tersebut, masing-masing yang merasa “tertarik” kemudian memfollow up dengan saling PC untuk merealisasikan niat mereka tersebut. (PikiranRakyat.com, 3/10). Tak hanya sampai disitu, warga Garut bahkan dikejutkan dengan ditemukannya grup facebook yang berisi perkumpulan para gay yang merupakan siswa SMP dan SMA se Kota Garut. (Kompas.com, 6/10).
Realitanya, data pun berbicara, sebagaimana diungkapkan dalam TribunLampung.com (2/10), para pelajar SMA sudah banyak yang mulai mendatangi lokalisasi, awalnya hanya coba-coba hingga ketagihan menjadi pelanggan tetap. Persentasenya? 20% pelanggan PSK adalah pelajar, artinya dari 10 pelanggan PSK, 2 diantaranya adalah pelajar. Belum lagi perilaku seks (yang katanya) aman menggunakan kondom juga menarik perhatian para pelajar ini. Terbukti setiap bulannya terjual kurang lebih 100 pieces kondom di daerah sekitaran kampus, sekolah dan kos-kosan.
Bagaimana para pembaca? Pernah terbayangkankah anda bahwa anak SMP dan SMA mampu berperilaku seekstrim ini? Masih bisakah kita sebut anak SMP-SMA ini sebagai anak ingusan? Lihat saja, mereka mampu menggunakan gadget untuk berbagi “informasi” dan uang saku yang diberikan orang tua untuk “jajan” di jalan yang sesat.
Sejak awal, mendunianya sosial media telah menimbulkan kegoncangan di tengah masyarakat. Sebagian menyambut dengan tangan terbuka sebagai bentuk kemajuan peradaban. Sebagian justru sangsi dengan menganggapnya sebagai awal semakin berkembang pula berbagai jenis permasalahan cabang dibaliknya. Harus disadari, media digital termasuk didalamnya sosial media merupakan produk madaniyah yang tidak terpengaruh oleh akidah dan ideologi tertentu oleh karenanya memang boleh-boleh saja diambil. Hanya saja jika kita perhatikan dengan lebih mendalam, dari manakah awal mula kemunculan produk madaniyah ini?
Setiap produk madaniyah yang terlahir dan tersebar tak menutup kemungkinan disusupi oleh konsep yang dipegang oleh sang pencetus dan penyebar, yakni Barat dengan konsep sekularisme, liberalisme, kapitalisme dan turunan-turunannya. Sebagai contoh beberapa media sosial ciptaan barat seperti Whatsapp disusupi oleh emoticon yang sangat iconic dengan kaum pelangi. Instagram juga disusupi dengan giphy yang mengagungkan feminisme. Propaganda terselubung semacam inilah yang harusnya diwaspadai oleh generasi muslim.
Sejatinya, merajalelanya media sosial tanpa filterisasi konten merupakan suatu bentuk kelemahan dan ketidakseriusan negara dalam menyelamatkan generasi bangsa. Kesibukan memberantas akun-akun yang dianggap radikal ternyata tak diimbangi dengan keseriusan dalam menutup celah-celah liberalisme termasuk didalamnya pornografi. Akar penyebab masalah kebanyakan selalu ditujukan kepada keluarga yang kurang memberi perhatian. Solusi yang ditawarkan pun lebih banyak pada perkara taktis praktis jangka pendek semisal sosialisasi seks sehat, penggunaan kondom hingga anjuran quality time keluarga dalam jangka waktu terbatas 6 sore hingga 9 malam.
Padahal, jika kita amati, persoalan ini tak akan bisa terselesaikan tanpa peran negara. Akar sejati permasalahan ini adalah semakin dipisahkannya agama dari kehidupan (sekularisme). Negara tidak lagi melirik solusi Islam sebagai solusi yang mengakar yang mampu mencegah dan mengatasi berbagai tindakan pergaulan bebas. Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna mewajibkan sinergi antar berbagai pilar kehidupan (individu, masyarakat dan negara) juga sinergi antar aspek kehidupan (pendidikan, ekonomi, sosial bahkan hukum).
Individu akan diarahkan dan didorong untuk menjadi individu bertakwa dengan pemahaman Islam sejak dini via keluarga dan sekolah seperti kewajiban menutup aurat, kewajiban menundukkan pandangan dan lain sebagainya. Masyarakat pun diarahkan untuk menyadari perannya sebagai umat yang senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar, termasuk peka terhadap tindakan amoral dan asusila yang terjadi di sekitarnya. Paling utama adalah peran negara sebagai komandan dalam mengatur sistem kehidupan di tengah-tengah masyarakat.
Solusi tuntas Islam dalam menyelamatkan generasi melibatkan sinergi dari sistem pendidikan yang menanamkan akidah dan ketaatan, sistem sosial yang mengatur pergaulan (larangan ikhtilat dan khalwat) dan media (larangan pornografi), sistem ekonomi yang menjamin kesejahteraan masyarakat (memudahkan pernikahan dan kebolehan poligami), hingga sistem persanksian yang tidak hanya menebus dosa namun memberikan efek jera. Jika sudah begini, solusi tuntas tak lagi hanya sekedar ilusi. Masalahnya bukan lagi tentang bisa atau tidak, tapi mau apa tidak. Cukuplah dengan penerapan syariat Islam secara kaffah maka terciptalah kehidupan penuh berkah dan rahmat. Wallahu alam bis shawab.
11 Oktober 2018
Oleh: Astia Putri, SE
Member Komunitas “Pena Langit”