
Hari Ibu Bermula dari Ritual-ritual Paganisme
MUSTANIR.net – Tanpa bermaksud melecehkan semangat dan pengorbanan ibu, sejatinya ada dua hal yang luput dari pemahaman kita selama ini mengenai mengapa Hari Ibu itu ada.
Pertama (barangkali ini yang paling penting untuk dipahami umat beragama), peringatan Hari Ibu bermula dari ritual-ritual paganisme (penyembahan berhala dan dewa-dewi). Di sebagian besar Eropa, Mother’s Day ditujukan sebagai penghormatan terhadap Dewi Rhea, istri Dewa Kronus dan ibu para dewa dalam sejarah atau mitologi Yunani kuno.
Ke dua, peringatan ini terus diadopsi dalam berbagai konteks, termasuk menyusup dalam ritual-ritual gerejawi di Inggris pada tahun 1600-an, di mana mereka menamakannya sebagai Mothering Sunday. Pada hari itu, orang-orang Kristen akan berhenti memakan makanan dan minuman tertentu. Namun, oleh karena tercampur dengan ritual gerejawi, pemujaan terhadap Dewi Rhea berganti menjadi pemujaan terhadap Bunda Maria, yang dalam keyakinan kristiani merupakan ibu dari Tuhan Yesus.
Dalam perkembangannya kemudian, tradisi ini menular hampir ke seluruh dunia sebagai penghormatan terhadap Mother’s Church, yang dianggap sebagai kuasa spiritual yang memberikan manusia kehidupan dan memelihara manusia dari keterpurukan.
Di Amerika Serikat sendiri, pengadopsian Mother’s Day atau Mother’s Church ala pagan dan gereja, dimodifikasi dengan menyesuaikan kondisi pada saat itu, di mana oleh pionirnya, Julia Ward Howe pada tahun 1870, peringatan tersebut dicanangkan untuk mempersatukan perempuan menghentikan perang saudara yang berkecamuk hebat merenggut nyawa para suami dan anak-anak laki-laki mereka dengan sia-sia.
Kampanye Hari Ibu sendiri mulai disosialisasikan oleh Anna Jarvis pada tahun 1907 di AS. la berhasil memengaruhi para petinggi negara, pengusaha dan politisi sehingga oleh Presiden Woodrow Wilson pada tahun 1914 diperingati Hari Ibu sebagai hari libur resmi setiap hari Minggu ke dua dalam bulan Mei setiap tahun.
Dari latar belakang sejarah dan filosofis yang melandasi peringatan Hari Ibu tersebut maka dapat disimpulkan setidaknya dua filosofi yang menjadi semangat perayaan Hari Ibu.
Pertama, semangat paganisme dengan mengagung-agungkan Dewi Rhea dari Yunani kuno.
Ke dua, semangat gerejawi yang cenderung memuliakan Bunda Maria atau Ibu Gereja.
Inilah yang menjadi kekhawatiran. Penyesatan informasi, penyembunyian sejarah, ditambah dengan kemalasan untuk mencari tahu sesungguhnya di balik sebuah peristiwa, cenderung membuat masyarakat Indonesia menerima begitu saja semua yang berasal dari luar (asing).
Jika berbicara dalam konteks agama Islam, maka jelas perayaan Hari Ibu cukup beralasan untuk mengatakannya ‘berbahaya’. Jelas karena ada latar belakang historis praktik berhala dalam sejarah dimulainya Hari Ibu di Eropa. Asimilasinya dengan ritual gerejawi berupa pemujaan terhadap Bunda Maria dan juga Mother’s Church tentu bisa menjadi alasan mengapa bagi agama lain, perayaan Hari Ibu ini bisa ‘memerangkap’ umat (sadar atau tidak sadar) dalam acara ritual Nasrani.
Dalam konteks keislaman, jika seorang telah tahu latar belakang peristiwa menimbulkan kepastian bahwa itu salah, paling tidak memberikan keraguan dalam hati, akan lebih baik itu ditinggalkan. []
Sumber: Psywar Chronicle