Heran! Negeri Agraris Kok Doyan Impor?
Ilustrasi. Foto: ZonaSultra.com
Oleh: N. Vera Khairunnisa
MUSTANIR.COM – “Orang bilang tanah kita tanah surga Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”
Kalimat di atas adalah potongan lirik lagu Koes Plus berjudul Kolam Susu, yang menggambarkan kesuburan tanah Indonesia. Di negeri ini, tanaman apapun bisa jadi. Makanya Indonesia dikenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi, yakni negeri yang tentram dan makmur serta subur tanahnya.
Namun sayang sekali, sesubur apapun tanah sebuah negeri, tidak akan mampu mensejahterakan rakyat, jika tidak diurus dengan benar oleh para pemimpin dan pejabatnya.
Hal itu terbukti dengan melihat fakta hari ini, dimana pemerintah membuat kebijakan yang merugikan rakyat, khususnya para petani. Yakni dengan melakukan impor bahan pangan ke negeri yang punya sebutan negeri agraris ini.
Sebagaimana diberitakan di tempo. co. id, yang mengutip Twitter-nya @FaisalBasri , Selasa, 8 Januari 2019. Di sana ditulis, “Menjelang pemilu, tiba-tiba Indonesia menjadi pengimpor gula terbesar di Dunia. Praktek rente gila-gilaan seperti ini berkontribusi memperburuk defisit perdagangan.”
Pernyataan Faisal Basri bukan tanpa alasan. Untuk mendukung argumennya, Faisal mengunggah infografik di twitternya. Dari grafik batang itu terlihat sepanjang tahun 2017-2018, Indonesia mengimpor gula hingga 4,45 juta ton. Volume impor gula ini tertinggi dibanding Cina (4,2 juta ton), Amerika Serikat (3,11 juta ton), Uni Emirat Arab (2,94 juta ton), Bangladesh (2,67 juta ton), dan Aljazair (2,27 juta ton). (tempo. co. id, 08/01/2019)
Bukan hanya gula, jenis pangan lain yang diimpor Indonesia adalah jagung. Kementerian Perdagangan memastikan Indonesia akan kedatangan 60 ribu ton jagung impor hingga Maret 2019. Jumlah ini diperoleh setelah pemerintah memutuskan menambah impor jagung untuk kebutuhan pakan ternak sebanyak 30 ribu ton, Februari mendatang. (tirto. co. id, 09/01/2019)
Alasan Impor; Tidak Masuk Akal
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan tingginya impor gula disebabkan produksi dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan, khususnya industri. “Impor itu untuk industri,” ujarnya, Rabu, 9 Januari 2019. (tempo. co. id,08/01/2019)
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Rusli Abdullah, menilai ketidakakuratan data permintaan dan penawaran gula yang belum aktual menjadi penyebab impor tinggi. Hal tersebut, kata dia, sering terjadi pada komoditas yang melibatkan tanah sebagai produksi. “Untuk masalah konsumsi gula, terkadang data dari kita masih belum bisa menuju pada tahap yang aktual,” ucapnya. (tempo. co. id, 08/01/2019)
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan bahwa pertimbangan untuk menambah impor jagung, dilihat dari kebutuhan konsumsi para pengusaha ternak mandiri. (tirto. id, 09/01/2019)
Apakah alasan-alasan tersebut bisa dibenarkan? Ataukah hanya sebagai pembenaran untuk bisa melakukan impor pangan?
Kalau melihat fakta dan data, semua alasan yang dikemukakan terkesan dipaksakan. Sebab sangat tidak masuk akal, negeri yang sangat kaya akan sumber daya alam ini, kekurangan pasokan pangan sehingga harus dilakukan impor.
Salah satu pendapat muncul dari Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi. Ia menampik bila Indonesia tengah membutuhkan impor jagung. Menurutnya, produksi jagung lokal masih dapat mencukupi kebutuhan di daerah-daerah. Bahkan, kata Anton, jumlahnya sedang surplus. (tirto. id, 09/01/2019)
Jikapun memang terbukti bahwa Indonesia kekurangan gula atau jagung, tentu saja solusinya tidak harus dengan impor. Apalagi, agenda atau kebijakan melakukan impor ini sudah rutin dilakukan setiap tahun. Seolah-olah, Indonesia kekurangan lahan sehingga tidak bisa menghasilkan panen yang mampu mencukupi kebutuhan rakyat.
Pemerintah Doyan Impor; Inilah Negeri Kapitalis
Anton mengkhawatirkan bila pemerintah tetap melanjutkan rencana itu, maka langkah tersebut akan memukul petani lokal. Apalagi rencana impor jagung yang dilakukan Kemendag nanti berdekatan dengan masa panen raya yang siklusnya antara Oktober hingga Maret.
Kehadiran jagung impor, kata Anton, akan semakin menyulitkan petani menjual hasil panennya. Ia menilai kondisi ini menunjukkan pemerintah tidak serius soal urusan pangan. Padahal pada 2014 silam, kata dia, Presiden Jokowi pernah berjanji setop impor. (tirto. id, 09/01/2019)
Namun, apa yang dikhawatirkan oleh Anton ini sepertinya tidak diperhatikan pemerintah. Hal ini terbukti dari doyannya pemerintah melakukan impor, dari tahun ke tahun. Tidak peduli dengan dilakukannya impor ini akan merugikan rakyat, khususnya para petani. Yang penting, bisnis tetap berjalan. Inilah ciri khas pemerintah kapitalis, mereka hanya memikirkan yang terbaik untuk para pebisnis.
Islam Mampu Menghilangkan Ketergantungan Impor
Dalam Islam, sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat akan di utamakan oleh negara. Termasuk dalam hal kebutuhan pokok adalah pangan. Hal ini disebabkan seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpiannya. Dosa besar jika ada rakyat nya yang kelaparan sementara ia kenyang.
Negara atau pemerintah akan memiliki visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Untuk mewujudkan visi ini, Islam memiliki aturan bagaimana meningkatkan produktivitas tanah. Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Tidak akan ada tanah yang tidak produktif. Jika ada tanah yang dalam waktu 3 tahun berturut-turut tidak dihidupkan maka negara akan mengambil alih.
Negara memberikan kemudahan dalam mengelola lahan. Bibit, pupuk dan obat-obatan akan disupport penuh dengan subsidi yang besar dari negara. Sehingga tidak akan ditemui petani yang tak mampu mengelola lahannya karena tak punya modal.
Selanjutnya dalam mekanisme pasar negara akan mendorong terciptaanya kesimbangan. Dengan menggunakan mekanisme supply and demand (permintaan dan penawaran) bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Tindakan curang seperti monopoli pasar, penimbunan, riba dan penipuan akan ditindak tegas. Jadi tidak ada yang bisa memainkan harga semaunya.
Dengan cara seperti itu, kebutuhan pangan rakyat akan tercukupi. Sehingga tidak diperlukan impor. Bahkan, bukan hanya tercukupi, sangat memungkinkan surplus, sehingga bisa dilakukan ekspor.
Hanya saja, semua langkah-langkah di atas tidak mungkin bisa diterapkan dalam negara yang menganut sistem kapitalis sekuler. Semua ini bisa diwujudkan ketika negeri ini menerapkan seluruh aturan islam. []
Sumber: mediaoposisi.com