
IKAMI: Persekusi Habib Bahar di Bandara Manado Melanggar Hukum
Habib Bahar Bin Smith. foto: Metrobatam.com
MUSTANIR.COM, Jakarta – Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) menilai kasus pengadangan terhadap Habib Hanif Alatas dan Habib Bahar bin Smith di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, merupakan pelanggaran hukum.
IKAMI menyatakan peristiwa pengadangan atas kedatangan Habib Hanif Alatas dan Habib Bahar Bin Smith pada Senin sore (15/10/2018), itu dilakukan oleh sekelompok orang/preman.
“Bahwa tujuan utama kedatangan dua orang tokoh ulama tersebut, yaitu adalah murni untuk menghadiri acara haul ayah dari Habib Bahar bin Smith dan berdakwah syiar agama Islam,” ujar Sekjen IKAMI Juju Purwantoro di Jakarta, Selasa (16/10/2018) kepada hidayatullah.com pagi ini dalam rilisnya.
“Bahwa yang terjadi adalah adanya penghadangan (persekusi) di area Bandara dan provokasi oleh ‘kelompok preman’. Menurut informasi yang beredar mereka adalah dari kelompok Projo. Sebagian dari mereka sambil menenteng dan memamerkan senjata tajam (pedang-pedang) terhunus,” tambahnya.
Bahwa, lanjutnya, walaupun ternyata banyak aparat polisi di area Bandara tersebut, faktanya tanpa tindakan hukum apapun aparat bukan menghalangi, menangkap, dan atau/menyita senjata tajam atau pedang-pedang yang dibawa gerombolan pendemo.
Bahwa area bandara, jelasnya, semestinya merupakan wilayah yang harus aman/steril dari aksi unjuk rasa (sejenisnya) dan dari keberadaan orang-orang yang bersenjata tajam/api.
“Bahwa pengadangan/demo terhadap dua orang ulama oleh kelompok masyarakat tersebut di obyek vital nasional atau area bandara, jelas-jelas dilarang, merupakan pelanggaran hukum dan peraturan terkait lainnya,” ujar Juju.
Ia menjelaskan, sesuai UU Nomor 9 Tahun 1998, pasal 9 (ayat 2) dinyatakan; “penyampaian pendapat di muka umum, sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat dan obyek-obyek vital nasional.”
Bahwa UU No 9/1998 pasal 9 (ayat 3), jelasnya, juga disebutkan: pada saat melakukan aksi unjuk rasa dilarang untuk membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.
Bahwa, tambahnya, UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pasal 210 dinyatakan; “setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar udara, membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas bandar udara.
“Bahwa UU No 1/2009, pasal 421 (ayat 2); diganjar hukuman dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.”
Bahwa sesuai Surat Edaran Menhub RI No 15/2017, dijelaskan bahwa bandara, pelabuhan, stasiun kereta api dan terminal angkutan adalah obyek vital transportasi. Sehingga tempat tersebut harus dilindungi dari gangguan keamanan.
Juju mengingatkan bahwa bentuk pelanggaran hukum berupa pengadangan seperti itu juga pernah terjadi di Bandara Manado yang sama, pada Mei 2017 kepada Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. “Kejadian serupa juga terjadi kepada tokoh relawan #2019GantiPresiden (Hj Neno Warisman), belum lama ini di Bandara Pekanbaru Riau, dan lain-lain, tanpa proses hukum yang jelas,” ungkapnya.
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (recht staat), IKAMI meminta kejadian pelanggaran hukum terutama kepada para ulama dan tokoh-tokoh oposisi tersebut tidak selalu berulang.
“Kami juga meminta kepada aparat hukum untuk menegakkan hukum secara tegas, adil, dan menindak hukum (due process of law), para pihak yang terlibat melawan hukum tanpa adanya intervensi politik dan kepentingan apapun,” pungkas Juju.*
(hidayatullah.com/16/10/18)