Keadilan Sosial: Sisi Eksoteris Ajaran Islam

MUSTANIR.net – Menyimak ‘khutbah’ pengamat politik yang sedang naik daun, Rocky Gerung (RG), perihal refleksi kepemimpinan Nabi Muhammad ﷺ yang menggarisbawahi aspek keadilan sosial, ada beberapa hal yang menarik:

Pertama, aspek publik dari syariat Islam adalah aspek yang sangat memungkinkan untuk diangkat ke perbincangan publik dan membuka peluang umat non muslim untuk bisa mengagumi ajaran Islam dari sisi ini.

RG, yang nota bene non muslim, mengutip dikotomi ajaran esoteris (batin/aqidah/teologis) dan eksoteris (syariat/etika/sosial) Islam untuk mengambil kesimpulan bahwa sisi eksoteris inilah yang menurutnya bisa diakses oleh semua orang, terlepas muslim dan non muslim.

Memang, dakwah kepada non muslim adalah dakwah yang menyeru kepada aqidah. Namun, Islam menyediakan infrastruktur yang memungkinkan orang kafir tertarik pada aspek luar Islam terlebih dahulu walaupun belum mau menganut aqidah Islam. Kita melihat, misalnya, bangsa-bangsa yang berada di bawah jajahan Romawi dan Persia tertarik dengan kehadiran Islam yang menumbangkan tiran yang selama ini menindas mereka, lalu terpukau dengan keadilan dan kesejahteraan yang diciptakan oleh Islam sebelum akhirnya secara sukarela memeluk aqidah Islam.

Kita melihat dalam sejarah seorang Yahudi yang bersengketa dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib raḍiyallāhu ‘anhu yang terpukau dengan keadilan peradilan Islam lalu selanjutnya tertarik memeluk Islam.

Kita melihat rakyat Kristen-ortodoks Konstantinopel yang lebih rela melihat turban Turki berseliweran dalam benteng mereka dibandingkan pasukan Roma. Kita juga melihat rakyat Nusantara tertarik dengan keadilan Islam karena Islam menawarkan sistem non kasta.

Jadi, fitrah manusia yang cenderung kepada keluruhan, keadilan, dan kesetaraan menemukan ‘jodohnya’ dalam aspek eksoteris Islam, sebelum lanjut ke aspek esoterisnya.

Apa relate-nya dengan konteks dakwah hari ini?

Relate-nya, dakwah mabda’i yang berpijak pada keyakinan bahwa Islam adalah ajaran yang komprehensif, pada hakikatnya sedang menawarkan kepada dunia konsep alternatif keadilan dan kesejahteraan setelah kapitalisme dan komunisme gagal. Seruan untuk menerapkan khilafah bukanlah ancaman untuk memaksa semua orang masuk Islam, melainkan seruan agar dunia beralih ke tatanan yang berkeadilan dan berkesejahteraan, di bawah naungan yang memberikan rahmah bagi seluruh alam dan seluruh penduduk bumi, terlepas muslim atau non muslim.

Ke dua, konsep keadilan sosial yang digarisbawahi RG patut menjadi bahan elaborasi dalam kajian-kajian Islam. Tentu saja istilah keadilan atau ‘social justice’ adalah istilah yang khas dan berakar pada mabda tertentu. Kalau kita bertanya pada Wikipedia, maka ia akan menjawab:

“Keadilan sosial adalah keadilan dalam hal distribusi kekayaan, kesempatan, dan hak istimewa dalam suatu masyarakat … Dalam gerakan keadilan sosial saat ini, penekanannya adalah pada penghancuran hambatan mobilitas sosial , penciptaan jaring pengaman, dan keadilan ekonomi …

… Konsep keadilan sosial dapat ditemukan dalam sumber filosofis klasik dan Kristen, dari Plato dan Aristoteles hingga Agustinus dari Hippo dan Thomas Aquinas, istilah keadilan sosial menemukan penggunaan paling awal pada akhir abad ke-18, meskipun dengan makna teoretis atau praktis yang tidak jelas.

… Pada akhir abad ke-20, keadilan sosial dijadikan pusat filosofi kontrak sosial, terutama oleh John Rawls dalam A Theory of Justice (1971). Pada tahun 1993, Deklarasi Wina dan Program Aksi memperlakukan keadilan sosial sebagai tujuan pendidikan hak asasi manusia …”

Pada pangkalnya, teori keadilan sosial ini memang akan merujuk kepada hak asasi manusia. Wajar, seorang RG yang humanis (penganut humanisme), liberal, dan pengusung kesetaraan, memang berkepentingan untuk mengampanyekan ide tersebut. Retorikanya tentang Islam dan keadilan bisa saja kita sebut sebagai ‘cocokologi’ atau sekadar ingin meraih simpati umat Islam saja.

Tapi di sisi lain, jika kita mengesampingkan hal tersebut, paparannya sesungguhnya memberikan challenge pada kajian-kajian Islam. Hendaknya memang, kita berhenti mencari kompatibilitas Islam dengan kapitalisme. Hendaknya juga, kita berhenti menjadikan Islam hanya sebagai pengabdi kapitalisme dengan menjadi agen ‘pemadam kebakaran’ atas nama perdamaian, toleransi, moderatisme yang naif. Kajian Islam harus dibawa untuk melahirkan gagasan-gagasan alternatif soal keadilan.

Dalam perkembangannya, cita-cita pada keadilan sosial ini melahirkan berbagai teori keadilan, dari mulai utilitarinisme, liberalisme, sampai libertarianisme. Eksperimen mensintesakan kapitalisme dan sosialisme juga telah diupayakan misalnya dengan lahirnya konsep welfare state (negara kesejahteraan), ideologi sosial demokrat, dan sebagainya.

Keyakinan bahwa Islam adalah ajaran komprehensif dan solusi bagi dunia semestinya bisa melahirkan teori keadilannnya sendiri yang khas di tengah teori-teori dan konsep tersebut di atas. Barangkali ada irisan dan juga pertentangan dengan konsep-konsep yang ada. Namun, sifat rabbaniyah dari ajaran Islam seharusnya bisa mengajukan keseimbangan dari berbagai teori yang ada. Dari tataran prinsipil tersebut, tugas umat Islamlah mem- breakdown-nya ke tataran teori praktis.

Upaya tersebut bukan tidak ada. Kalau kita membuka An-Nizham al-Iqtishadi di Al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, misanya atau Iqtishaduna karya Baqir al-Sadr, maka kita akan menemukan bahwa konsep keadilan versi Islam sudah diajukan sejak lama. Di era ini, ketika dunia di ambang resesi, ketika ketimpangan dunia semakin terasa, ketika kehancuran kemanusiaan dan lingkungan hidup terus berlangsung, seruan menuju keadilan hakiki ini semakin menemukan urgensinya.

Hanya saja memang, sayangnya, di tengah gempuran narasi yang memojokkan Islam dengan istilah radikal, teroris, dan sebagainya yang intinya ingin menutup pintu diskusi pikiran tentang Islam di area publik, menghadirkan wacana keadilan Islam yang diharapkan bisa membuka mata dunia tentang sisi eksoteris Islam yang layak untuk dipertimbangkan oleh dunia sebagai sistem alternatif untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran, menjadi tantangan tersendiri. []

Sumber: Ageung Suriabagja, M.Ag

About Author

Categories