Sudahkah Negeri ini Meraih Kemerdekaan yang Hakiki?

MUSTANIR.netMengulik Makna Kemerdekaan RI di Tengah Hegemoni Neo-imperialisme

Peringatan hari kemerdekaan selalu dipenuhi dengan gegap gempita seremonial kemeriahan. Dari upacara bendera dan acara-acara yang bernuansa memupuk cinta pada tanah air diselenggarakan. Perayaan yang biasa diisi dengan berbagai lomba-lomba tarik tambang, makan krupuk, balap karung, dan lain-lain.

Apakah dengan seremonial tiap tahun yang diulang-ulang seperti itu, cukup untuk menggambarkan bahwa negeri ini sudah benar-benar merdeka? Ataukah kemerdekaan yang selama ini kita nikmati adalah kemerdekaan semu?

Jika sudah merdeka, apakah rakyat sudah mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin selama berada dalam naungan Indonesia? Apakah penjajah asing telah angkat kaki dari negeri ini? Ataukah belenggu penjajah asing masih kuat mencengkram negeri ini?

Jangan sampai kemerdekaan ini hanya sebatas kertas dan pernyataan belaka, tentunya kita semua menginginkan kemerdekaan yang nyata. Yaitu ketika negeri ini menjadi negara yang berdikari, tanpa campur tangan asing. Selain itu, rakyat merasakan hidup tentram dan sejahtera diayomi oleh negara. Apakah itu telah terwujud?

Jejak Imperialisme Barat di Nusantara yang Mampu Menancapkan Pengaruhnya sehingga Indonesia Sulit untuk Mencapai Kemerdekaan Hakiki

Sebuah kepastian bahwa sejak zaman dahulu hingga sekarang banyak bangsa-bangsa di dunia yang ingin menguasai Indonesia. Mulai dari penjajahan gaya kolonialisme hingga berubah menjadi penjajahan gaya imperialisme. Tujuannya tidaklah beda, ingin menguasai segala sumber kekayaan alam yang melimpah di Indonesia.

Dari bangsa Portugis yang mampu dipukul mundur oleh rakyat Aceh kala itu, dengan semangat jihad dan bantuan kekhilafahan Utsmani. Hingga kemudian Belanda mampu menguasai Indonesia selama 340 tahun lamanya. Politik kolonial Belanda bukan saja merugikan umat Islam dalam politik dan ekonomi, tetapi juga dalam menjalankan ajaran agama Islam.

Penjajah Belanda yang berusaha menghapuskan jejak penerapan syariat Islam di Indonesia. Tiga cara Belanda melemahkan dan menghancurkan Islam di Indonesia antara lain:

Pertama, memberangus politik dan institusi politik.

Ke dua, kerja sama raja/sultan dengan penjajah Belanda.

Ke tiga, menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah.

Begitulah cara penjajah melanggengkan cengkramannya, Barat dengan sekulerisme-kapitalisme yang merusak masyarakat Islam hingga sekarang.

Umat Islamlah yang paling gigih menentang penjajahan. Mulai dari Perang Paderi (1821— 1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1904), Perang Makassar (1666-1669), Perang Banjar (1859—1905) dan lainnya adalah perang umat Islam melawan Belanda. Umat Islam juga mendirikan partai-partai Islam sebagai wadah perjuangan menuntut kemerdekaan. (republika, 13/11/2012)

Perjuangan umat Islam berlanjut hingga masa penjajahan Jepang. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan, Islam dan nasionalis “sekuler”. Pada masa ini didirikan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menghimpun hampir seluruh potensi Islam.

Jepang menjanjikan kemerdekaan dengan mengeluarkan Maklumat Gunseikan no. 23/29 April 1945, tentang pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang menghasilkan rancangan UUD, dan Piagam Jakarta sebagai mukadimahnya.

Dalam Piagam Jakarta, pada prinsip ketuhanan terdapat anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dengan prinsip ini umat Islam berharap dapat menjalankan syariat agamanya di dalam Indonesia merdeka. Namun pada waktu proklamasi, dengan alasan menjaga keutuhan bangsa. Piagam Jakarta tidak digunakan. Akibatnya, ada sedikit rasa kecewa di sebagian umat Islam.

Kemudian muncul peran AS dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Intervensi AS terhadap urusan dalam negeri Indonesia dapat dikatakan terjadi sejak hari-hari pertama kelahiran republik. Fakta ini terutama dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi AS yang telah tertanam sejak era kolonial Belanda pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20, menyusul kebijakan liberalisasi ekonomi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada zaman kolonial, AS menanamkan modalnya di sektor pertambangan serta pembelian hasil-hasil bumi. (theglobal-review, 10/09/2017)

Ketika Indonesia merdeka, dunia baru saja mengalami suasana kemenangan kelompok Barat/sekutu di bawah kepemimpinan Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. AS segera memberikan bantuan kepada negara-negara sekutunya yang hancur akibat perang melalui Marshall Plan.

Peta kekuatan dunia berubah. Jika semula memerangi kekuatan fasis (Jerman, Jepang dan Italia), kini sekutu mesti berhadapan dengan kekuatan komunisme pimpinan Uni Soviet (US). US segera menebar jaring di Eropa, dan berlanjut ke belahan dunia lainnya. AS pun tidak ketinggalan, membendung pengaruh komunisme internasional. Terjadilah Perang Dingin. Sebagai negara baru, Indonesia tak luput dari incaran kedua raksasa tersebut. Belanda sebagai sekutu AS, berupaya terus menguasai wilayah Indonesia.

Meski Perang Dingin mulai berkecamuk, selama lima tahun pertama Indonesia merdeka pengaruh US di Indonesia belum terlalu mencolok. Sebaliknya melalui Belanda, AS mulai gencar menancapkan kekuatannya karena melihat potensi kekayaan alam Indonesia yang begitu besar. Belanda sudah menemukan beberapa kandungan migas, batu bara, hasil pertanian dan perkebunan yang berlimpah di beberapa wilayah Indonesia.

Sebagai sekutu terakrab AS di Eropa, Belanda senantiasa memberikan laporan kepada AS untuk terus dibantu dari sisi perekonomian (Marshall Plan). AS sendiri, di bawah Presiden Truman, dan melalui Perjanjian San Fransisco pada 1945, tidak pernah mempermasalahkan imperialisme sekutunya di Asia. AS justru memberikan banyak dukungan kepada Belanda. Bahkan, wilayah Hindia Belanda (Indonesia) adalah satu-satunya daerah jajahan yang masuk dalam program Marshall Plan.

Karena kedekatan AS-Belanda, ketika pasukan sekutu masuk Indonesia pasca kemerdekaan, Washington diam-diam mempersilakan tentara Belanda di Indonesia menggunakan bantuan militernya (American lend lease), yang memperbesar stok persenjataan Belanda yang sudah berisi senjata Inggris.

Sebelumnya, pada musim gugur 1945, Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan perintah untuk menghilangkan atribut AS dari peralatan dan seragam yang dipakai oleh pasukan South East Asia Command (SEAC) pimpinan Louis Mountbatten, yang tugasnya melucuti tentara Jepang di Indonesia. Lebih jauh lagi, ketika pasukan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada 1946, bisa dilihat banyaknya pasukan tersebut yang menggunakan seragam militer AS dan mengendarai jip Angkatan Darat AS.

Kebijakan AS, yang semula mendukung Belanda, lambat laun mulai bersimpati dengan kekuatan nasionalis yang bersahabat. Simpati AS pun tetap berpegang pada upaya menghindari kemiskinan yang meluas di kalangan masyarakat Indonesia yang diyakini akan memudahkan masuknya pengaruh komunisme.

Sukarno-Hatta dinilai oleh AS maupun Belanda sebagai figur yang memang cocok untuk memimpin Indonesia. Kebijakan politik luar negeri AS mulai melihat betapa pentingnya kawasan Indonesia yang bersahabat dan jauh dari pengaruh komunisme.

Bila menengok kembali bagaimana peran campur tangan bangsa-bangsa penjajah bercokol di negeri ini. Seakan dapat dilihat secara kasat mata, bahwa kemerdekaan yang selama ini dirayakan tiap 17 Agustus di setiap tahunnya, seperti kemerdekaan semu. Indonesia hanya sedang beralih saja dari penjajahan secara fisik menjadi penjajahan secara sistemis. Indonesia dalam cengkraman neo-kolonialisme China dengan proyek One Belt One Road (OBOR) dan belenggu sistem kapitalisme sekuler oleh Amerika dan sekutunya yang dapat disebut dengan neo-imperialisme.

Dampak Neo-Imperialisme Barat terhadap Kemandirian Indonesia dalam Mencapai Kemerdekaan Hakiki Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945

Secara de jure Indonesia memang telah merdeka. Tapi, secara de facto apakah Indonesia telah merdeka?

“Secara de jure, kita memang merdeka. Tetapi secara de facto, kita belum merdeka,” kata Direktur PDB Didik Rahbini di Jakarta, Senin (beritasatu.com 19/8/2013) malam.

De facto dalam bahasa Latin adalah ungkapan yang berarti “pada kenyataannya” atau “pada praktiknya”. Istilah ini biasa digunakan sebagai kebalikan dari de jure (yang berarti “menurut hukum”) ketika orang mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan pemerintahan.

Apabila dicermati lebih dalam bagaimana kondisi negeri ini, bisa dilihat dari berbagai aspek.

Pertama, aspek ekonomi.

Dampak serius dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme sekuler adalah penjajahan sistematis yang dilakukan oleh kapitalisme global yang dinahkodai oleh Amerika dan sekutunya.

Penjajahan gaya baru yang dilakukan oleh negara adidaya Amerika memang tidak dengan mengarahkan moncong senjatanya kepada Indonesia, seperti Portugis, Belanda, dan Jepang. Tapi dengan menancapkan hegemoninya melalui sistem, aturan, dan undang-undang yang diwariskan dan diterapkan di negeri ini.

Dampak dari penjajahan dalam bidang ekonomi selain ancaman krisis yang dibawa oleh sistem ini, dapat dilihat juga melalui undang-undang yang telah bercokol di negeri ini. Undang-undang yang lebih memihak kepentingan para konglomerat asing. Contohnya, UU Migas, UU Minerba, RUU Omnibus Law, dan lain-lain. Undang-undang sangat sarat atas kepentingan kapitalis asing dan merupakan karpet merah para kapitalis tetap lenggang langkung menjajah dan merampok kekayaan negeri ini.

Ironisnya, negeri yang kaya akan sumber daya alam dari batu bara, minyak bumi, emas, dan kekayaan yang diperoleh di laut maupun hutan tak mampu mensejahterakan rakyatnya. Hal tersebut terjadi karena SDA tersebut dikapitalisasi ke asing. Selain itu belenggu penjajah melalui utang juga membuat penguasa semakin bertekuk lutut pada asing pemberi utang.

Alih-alih rakyat sejahtera, kondisi rakyat makin menderita atas segala undang-undang yang tidak memihak rakyat. Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan pencabutan subsidi, naiknya harga BBM, TDL, iuran BPJS, dan banyaknya pajak yang dibebankan pada rakyat.

Ke dua, aspek hukum.

Tidak dipungkiri bahwa hukum yang diterapkan di negeri ini berkiblat kepada negara penjajah. Dikutip melalui wikipedia.org bahwa hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).

Ke tiga, aspek pendidikan.

Pendidikan yang beraroma kapitalisme sekuler telah membuat tatanan pendidikan negeri ini amburadul. Orientasi pendidikan tidak lagi pada hasil output pendidikan tapi prioritas utama berbasis benefit.

Sekalipun ada dana bantuan dari pemerintah, hal itu tak mampu menutupi dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pendidikan.

Selain itu adanya swastanisasi pendidikan menjadi legitimasi lembaga pendidikan menarik biaya pendidikan sesuka mereka. Wajar jika biaya pendidikan makin ke sini makin mahal. Seolah pendidikan bermutu dan berkualitas hanya bisa dinikmati oleh kaum berduit saja.

Dampak dari pendidikan kapitalisme sekuler adalah rusaknya generasi bangsa dan jauhnya mereka dari nilai-nilai agama. Hal itu terbukti banyaknya kasus perzinahan hingga hamil di luar nikah yang menimpa mereka. Tak hanya itu ancaman paham hedonisme yang membuat generasi menjadi pragmatis terjebak kesenangan dunia yang sesaat juga telah mewabah di negeri ini.

Dari kasus perzinahan yang meminta dispensasi nikah atau pun aborsi, hingga ancaman narkotika menyasar generasi zaman now. Walhasil bukan generasi tangguh siap melawan penjajah, tapi generasi bucin (budak cinta) akibat hedonisme liberalisme.

Ke empat, aspek politik.

Jelas sekali bahwa aspek politik di negeri ini masih berada dalam cengkraman kapitalisme sekuler. Praktik politik yang terjadi bukan berbasis mencapai nilai-nilai moral yang benar, tapi lebih untuk memenuhi kepentingan kelompok masing-masing.

Walhasil, rakyat kembali menjadi tumbal atas keegoisan yang para politikus sekuler yang hanya memikirkan kepentingan kelompok dan pribadi. Suara-suara sumbang yang tak seirama dengan kepentingan mereka pun juga diberangus dengan mudahnya.

Yang terjadi politik bukan untuk mengurusi urusan rakyat, tapi untuk memenuhi syahwat para kapitalis yang telah menjadikan para penguasa sebagai boneka mereka di negeri ini. Memang mereka tidak menjajah rakyat secara langsung, tapi melalui boneka yang ditancapkan di negeri ini, asing melakukan penjajahan secara sistemis dan masif.

Tak hanya itu Indonesia menjadi rebutan pihak kapitalisme timur yang dinahkodai oleh China dan kapitalisme barat yang dipimpin oleh Amerika. China memang menganut paham sosialisme-komunis, tapi kawinnya ideologi sosialisme dan kapitalisme dalam menancapkan belenggunya di negeri ini semakin memperparah keadaan. Kedua idelogi sama-sama menjajah dan menzalimi dengan cara mereka sendiri. China menjajah dengan proyek OBOR (One Belt, One Road) dan Amerika dengan sistem kapitalisme sekuler yang dicekik dengan jebakan utang ribawi.

Dari paparan di atas semakin menguatkan bahwa Indonesia hanya mendapatkan kemerdekaan semu. Hakikinya Indonesia masih dijajah melalui sistem kapitalisme-sekuler warisan penjajah. Kesimpulan ini bukanlah wujud bahwa kita tak mensyukuri dan menghargai para pejuang kemerdekaan yaitu para pahlawan. Tapi ini adalah wujud kepedulian kita, dan kita harus meneruskan perjuangan para pahlawan untuk meraih kemerdekaan hakiki. Sehingga negeri ini mampu berdikari dan terbebas dari belenggu penjajah dari berbagai aspek kehidupan.

Strategi yang dapat Ditempuh agar Indonesia Terlepas dari Pengaruh Neo-imperialisme Barat dan Timur sehingga Mampu Mencapai Kemerdekaan yang Hakiki

Penjajahan gaya baru (neo-imperialisme) itu nyata. Penjajahan gaya baru tersebut tidak hanya dipakai oleh Amerika dan sekutunya, namun China yang berhaluan sosialisme-komunis rela melebur dengan keapitalisme demi memenuhi nafsunya untuk menjajah negeri-negeri kaya seperti Indonesia.

Benar, penjajahan sekarang memang tidak dengan menggunakan senjata. Karena mereka tahu, semakin sebuah bangsa apalagi bangsa mayoritas Islam ditekan dan dijajah, ghiroh jihad mereka melawan penjajah semakin tinggi.

Walhasil, mereka melakukan penjajahan gaya baru dengan menancapkan antek-anteknya yang dipasang sebagai boneka mereka untuk memuluskan syahwat kepentingan penjajah dalam melancarkan berbagai kepentingannya. Selain dengan cara itu, mereka belenggu negara dengan memaksakan sistem atau aturan sampai undang-undang untuk diterapkan di negeri tersebut.

Wajar saja jika ditemui banyaknya aturan perundang-undangan yang tidak memihak rakyat, malah menzalimi rakyat. Apakah ini yang disebut merdeka? Tentunya ini bukanlah kemerdekaan hakiki yang diinginkan setiap insan, jika kesejateraan tak dirasakan oleh seluruh umat.

Merdeka, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah bebas dari penjajahan; tidak terikat dan tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Indonesia memang sudah merdeka dari penjajahan yang dilakukan oleh Portugis, Belanda, dan Jepang secara fisik. Tapi apabila ditelisik negeri ini masih dijajah secara sistemis melalui neokolonialisme China dan neoimperialisme Amerika.

Di dalam pandangan Islam arti merdeka adalah tidak menghamba pada manusia atau pun kepada sesuatu pun kecuali hanya kepada Allah subḥānahu wa taʿālā. Patuh dan taat hanya pada Allah subḥānahu wa taʿālā. Inilah kemerdekaan hakiki dalam aspek individu. Jika diterapkan ke dalam aspek negara, tentunya negara yang merdeka adalah negara yang terbebas dari belenggu negara penjajah dalam bentuk apa pun.

Kemerdekaan tersebut tak akan mampu diraih jika sebuah negara tersebut masih menerapkan sistem atau aturan yang bersumber dari negara kafir penjajah. Oleh karenanya, kemerdekaan tersebut hanya bisa diraih jika negara menerapkan sistem yang bersumber dari Allah subḥānahu wa taʿālā yaitu syariat Islam kaffah dalam bingkai institusi khilafah yang telah nabi Muhammad ﷺ contohkan.

Menilik penjelasan laman muslimahnews.id (16/8/2019) menjelaskan tentang makna kemerdekaan hakiki sebagai berikut. Mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah subḥānahu wa taʿālā sesungguhnya berarti mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk umat manusia. Inilah yang merupakan misi utama Islam. Dalam pandangan Islam, kemerdekaan hakiki terwujud saat manusia terbebas dari segala bentuk penghambaan dan perbudakan oleh sesama manusia.

Dengan kata lain Islam menghendaki agar manusia benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman, perbudakan dan penghambaan oleh manusia lainnya.

Terkait misi kemerdekaan Islam ini, Rasulullah ﷺ pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi:

«… أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ …»

…Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).

Misi Islam mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia itu juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Mughirah bin Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash raḍiyallāhu ‘anhu. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum dengan Rabi bin Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash raḍiyallāhu ‘anhu).

Ia diutus setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia.

Jenderal Rustum bertanya kepada Rabi bin Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rabi bin menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam…” (ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, II/401)

Islam sebagai agama dan sistem yang berasal dari Allah yang Maha Bijak telah didesain akan mengantarkan ke kehidupan “terang-benderang” untuk umat manusia. Sebab Allah subḥānahu wa taʿālā telah mengatakan bahwa Islam diturunkan agar dengan itu Rasul ﷺ mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman:

﴿الر.كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ﴾

Alif, laam raa. (Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (TQS Ibrahim [14]: 1)

Harus dicatat, mewujudkan kehidupan dan masa depan yang “terang-benderang” sekaligus memerdekakan manusia dari segala bentuk penjajahan kuncinya adalah dengan menerapkan Islam dan syariahnya secara kaffah; secara totalitas dan menyeluruh. Itulah tanggung jawab dan kewajiban kita sebagai hamba Allah dan tanggung jawab kita kepada umat manusia.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh nyata kalian. (TQS al-Baqarah [2]: 2018)

Dalam sejarah Islam, penjajahan hanya terjadi pada ideologi kapitalisme-sekuler dan sosialisme-komunis. Islam senantiasa menyebarkan dakwah yang rahmattan lil’ alamin ke seluruh alam. Buktinya banyak negara yang ditaklukan oleh kekhilafahan Islam hidupnya semakin sejahtera.

Oleh karena itu benar apa yang disampaikan Ustadz Ismail Yusanto, “Jadi, seseorang atau masyarakat baru bisa dikatakan benar-benar merdeka ketika tunduk sepenuhnya pada seluruh perintah dan larangan Allah, serta melepaskan diri dari belenggu sistem yang bertentangan dengan tauhid seraya menegakkan sistem Islam. Al-Qur’an menyebut misi Islam: mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Makanya, tidak ada negeri yang dikuasai Islam berubah kusam, sengsara mundur dan terbelakang. Spanyol dan beberapa negeri Eropa lain justru mencapai kemajuan ketika berada di bawah kekuasaan Islam.”

WalLâh alam bi ash-shawâb. []

Sumber: Ika Mawarningtyas (Analis Muslimah Voice) & Dewi Srimurtiningsih (Analis Mutiara Umat)

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories