Konferensi Perempuan dan Syariah: Mengakhiri serangan terhadap Syariah
Oleh Lilis Holisah,
Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had Al-abqary Serang – Banten
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia kembali akan menggelar acara Konferensi. Konferensi ini akan digelar pada hari Sabtu, 7 Maret 2015 di AAC Dayan Dawood, Komplek Unsyiah, Banda Aceh. Acara ini akan dilaksanakan dalam bentuk Konferensi Syariah dan Perempuan dengan tema “Mengakhiri Serangan Terhadap Syariah“. Konferensi ini akan dihadiri oleh seribu muslimah dari berbagai kalangan.
Target acara ini adalah menyatukan pemahaman kaum Muslimah dari berbagai kalangan dan daerah di Nusantara tentang adanya upaya strategis dari kalangan feminis dan liberal yang menyerang Syariah Islam terkait dengan perempuan, menyatukan sikap para muslimah untuk menolak agenda-agenda sekuler/feminis dalam mereformasi hukum-hukum Syariah berkaitan dengan perempuan ini serta selalu berpegang teguh pada keyakinan dan hukum-hukum Islam, serta memahamkan para muslimah tentang pandangan Islam yang haikiki terhadap status, hak, peran dan kehidupan umum perempuan dalam naungan Syariah Islam Kaaffah yang akan menjamin martabat dan kemuliaan perempuan serta umat secara keseluruhan.
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia pun mengundang partisipasi aktif tokoh-tokoh se-Nusantara dan masyarakat Aceh khususnya untuk menghadiri Konferensi Perempuan dan Syariah ini.
Perbincangan tentang perempuan dan Syariat, selalu menjadi isu seksi yang menyedot perhatian. Relevansi penerapan syariat bagi kemajuan dan kesejahteraan perempuan menjadi isu krusial dewasa ini. Tantangan global yang dihadapi perempuan adalah partisipasi mereka di ranah publik. Tantangan ini telah menghasilkan dampak luar biasa pada corak kehidupan masyarakat khususnya di negeri-negeri muslim semacam Indonesia.
Perda Syariah dan Qanun Syariah yang diterapkan di beberapa daerah di Indonesia melahirkan sejumlah kontroversi. Banyak tudingan miring yang dialamatkan terhadap Syariah, diantaranya bahwa penerapan syariah akan melahirkan pelanggaran HAM, merugikan dan mengamputasi hak-hak kaum perempuan. Tudingan tersebut dilakukan oleh para pejuang HAM dan Gender (Feminis). Ada sekitar 342 Perda yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan atas nama agama dan moralitas, 265 diantaranya langsung menyasar perempuan, 76 tentang pakaian perempuan, 124 tentang prostitusi dan pornografi, 27 tentang pemisahan ruang publik, 19 menggunakan istilah khalwat dan mesum dan 35 terkait jam malam, (VOA, 25 agusts 2013).
Serangan terhadap syariah begitu massif digaungkan di dalam negeri hingga dunia internasional. Monsterisasi terhadap syariah juga dilakukan dalam beragam bentuknya. Tujuannya agar umat Islam khususnya kaum perempuan akan phobia terhadap Islam dan meninggalkan pelaksanaan syariat untuk mengatur kehidupannya.
Konsekuensi logis dari keimanan seorang muslim adalah melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan Sang Pencipta, Allah Rabb al-‘alaamiin. Kaum muslim diperintahkan untuk ber-‘amar ma’ruf nahi munkar terhadap kondisi di tempat dimana mereka hidup. Iman yang menancap kuat dalam jiwa-jiwa kaum muslim akan mendorongnya bergerak berusaha memperbaiki kondisi masyarakat yang rusak. Mereka akan melebur bersama umat untuk mencelup umat dengan Aqidah dan Syariah Islam sehingga terwujud ketaqwaan kolektif masyarakat.
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia sebagai bagian dari umat, menyadari tanggung jawab imani untuk menjadikan syariat sebagai sumber hukum bagi kehidupan. Oleh karena itu, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menganalisis bahwa akar penyebab kontroversi dan dilemma penerapan Perda dan Qanun Syariat adalah penerapan syariat secara lokal dan parsial dalam bingkai sistem hukum demokrasi dan pengkultusan terhadap nilai HAM serta kebebasan yang sekuler. Pemberlakuan syariat dalam sistem sanksi semisal hukuman cambuk bagi pelaku zina tanpa pemberlakuan sistem sosial (Nidzam Ijtima‘iy fil Islam) dan sistem ekonomi Islam (nidzam Iqtishadiy fil Islam) oleh negara hanya melahirkan celah tuduhan kelemahan dan ketidakadilan penerapannya. Syariat Islam sejatinya adalah hukum Allah yang akan melahirkan keadilan, keagungan dan kemuliaan bila dipraktikkan sesuai dengan metode yang ditetapkan-Nya yakni secara kaffah bagi manusia (kaaffatan lin naas).
Ide HAM, Demokrasi dan Liberalisme (kebebasan) tidak layak dan tidak boleh dipakai untuk menilai penerapan Syariah Islam, karena ini akan mengantarkan pada konsekuensi yang berbahaya; yakni Syariat Islam yang merupakan hukum Allah akan selalu berada pada posisi subordinat, lebih rendah dari ide HAM, kebebasan dan Demokrasi. Sedangkan ide HAM, kebebasan dan Demokrasi yang merupakan hukum buatan manusia selalu berada superordinat alias lebih tinggi daripada hukum Allah. Hal ini akan berkonsekuansi pada pengabaian dan pelecehan terhadap hukum-hukum Syariah.
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyadari bahwa serangan massif terhadap syariat akan terus berlangsung terutama oleh kalangan yang berkepentingan menjaga hegemoni politik dan penjajahan ekonomi atas negeri muslim ini, salah satunya melalui issue perempuan. Karenanya kaum muslim membutuhkan kembali tegaknya Khilafah Islamiyah sebagai sebuah sistem pemeritahan Islam yang akan menerapkan syariat secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan dan memberlakukannya untuk seluruh wilayah kekuasaan Islam tanpa kecuali.
Dalam Sejarah kegemilangan peradaban Islam yan panjang, Khilafah Islamiyah telah terbukti mampu mewujudkan kehormatan, kemuliaan dan kesejahteraan bagi kaum perempuan. Bahkan sejarah Nusantara yang menjadi bagian dari khilafah Utsmani telah melahirkan masa keemasan bagi negeri ini. Diantaranya, Perempuan Aceh berabad-abad telah merasakan bagaimana Syariat Islam memuliakan mereka, membesarkan kiprah mereka dan menjamin kehormatan mereka. Sehingga nama-nama besar Muslimah Aceh seperti Laksamana Hayati dan Cut Nyak Dien adalah sedikit contoh dari sekian banyak tokoh Muslimah yang memiliki peranan besar dalam berkiprah di masyarakat, sama sekali jauh dari gambaran terkekang dan terdiskriminasi seperti yang sering dinarasikan media Barat dan para pegiat HAM dan Gender.
Wa Allahu ‘alam.