
bdaddy.us
Membaca Isu Anarko dari Perspektif Asymmetric Warfare
MUSTANIR.net – Bermula dari diskusi terbatas di GFI (12/4) pimpinan Hendrajit tentang isu anarko. Ada pointers yang bisa dipetik pada diskusi tersebut, antara lain:
Pertama, anarko adalah kelompok sayap kiri yang mengasosiasikan dirinya sebagai kaum Trotskis, penganut anarkisme ala Mikhail Bakunin, kelompok pseudo sosialis namun dalam kendali golongan neoliberal, proto komunis atau embrio komunis (belum komunis total secara ideologis kecuali dalam hal radikalisme saja). Beberapa kelompok di atas tadi menyatu sebagai konsorsium;
Kedua, anarko memang eksis tetapi ideologinya ‘ngambang’. Makanya mereka rentan menjadi alat permainan di mana mereka sendiri justru tidak menyadari;
Ketiga, mengingat watak anarko yang ngambang, selain rentan menjadi sasaran false flag operation atau operasi bendera palsu, juga dalam praktik, anarko kerap jadi arena proxy bagi/antar komunitas intelijen yang mengabdi pada korporasi dan/atau golongan mapan;
Keempat, sekali lagi, anarko itu wataknya ngambang. Bila ke kanan maka ia ke kanan sekali, sebaliknya jika ke kiri maka ke kiri hingga mentok. Bahkan boleh jadi yang kanan bisa terpelanting ke kiri, atau sebaliknya. Intinya, rentan dijadikan false flag operation;
Kelima, kaum anarko di Indonesia sudah ada sejak tahun 1947 sewaktu mereka mendesak agar Sutan Syahrir dibebaskan dari penculikan;
Keenam, kaum anarko sindikalis merupakan simbol dari kekacauan ideologi. Istilahnya ‘Karaoke’, Kanan-Kiri: Oke. Di AS dan Eropa Barat, contohnya, ada kelompok rasis dan ultra kanan tetapi rujukan dalam gerakan justru Vladimir Ulyanov Lenin, Rosa Luxemburg, Plekanov, Leon Trotski dan Mao Zedong, di mana nama-nama tersebut justru mentor para kader sosialis sayap kiri. Pun sebaliknya, ada kelompok sayap kiri namun tanpa dosa membaca buku Mein Kampf karya Adolf Hitler atau karya-karya Benito Mussolini di mana terkandung sentimen anti-Yahudi serta dukungan kebijakan rasisme;
Ketujuh, anarko sindikalisme ialah cabang dari anarkisme yang berkonsentrasi kepada pergerakan buruh. Prinsip dasar anarko ada tiga hal: (1) solidaritas kaum pekerja, (2) aksi langsung, dan (3) swakelola kaum pekerja. Mereka meyakini bahwa ‘aksi langsung’, yaitu aksi yang secara langsung memperoleh keuntungan sebagai lawan aksi (kontra) tak langsung, seperti memilih perwakilan dalam pemerintahan, dan seterusnya.
Kedelapan, di Indonesia, kelompok ini tersebar di Jakarta, Bandung, Yogyakara bahkan hingga Kalimantan dan kota besar lainnya. Dalam bahasa Bung Karno, kaum anarko disebut sebagai kaum destruksi tanpa konstruksi. Mereka bukan reformis, tak pula revolusioner. Sekali lagi, ngambang tidak menginjak bumi.
Itulah butiran diskusi terbatas di GFI soal anarko sindikalisme. Mungkin belum lengkap, masih perlu kritik dan masukan para pembaca sekalian.
Dari perspektif asymmetric war yang berpola: Isu-Tema/Agenda-Skema atau ITS, apabila ada manuver murni dari kelompok anarko sindikalis ini, sesungguhnya mereka tengah menjalankan tahap (pola) ketiga-tiganya, entah anarko sebagai isu, atau anarko selaku tema/agenda maupun sebagai skema. Kenapa? Ya. Selain ngambang, tanpa konsep dan cenderung mengedepankan tindak anarkis sebagai aksi secara langsung. Makanya kaum anarko ini rentan ‘ditunggangi’, riskan dijadikan arena proxy dalam koridor false flag operation. []
Sumber: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)