Kesalahan Fatal Umat Islam dalam Mendefinisikan Demokrasi

MUSTANIR.net – Kesalahan paling fundamental dalam mendefinisikan demokrasi adalah menganggap demokrasi itu sebatas cara rakyat memilih pemimpin secara bebas, langsung dan sesuai aspirasi mereka (lewat pemilu tentunya). Yang ke dua, demokrasi disamakan sebagai syuro, demokrasi dianggap kebebasan berpendapat, demokrasi disamakan musyawarah mufakat. Kesalahan dalam mendefinisikan demokrasi ini berdampak pada kesalahan menghukuminya, dan ini fatal.

Padahal demokrasi sejatinya adalah sebuah sistem yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada ‘wakil rakyat’ untuk membuat hukum/aturan hidup bagi manusia atau istilahnya kedaulatan di tangan rakyat.

Inilah titik kontradiksi demokrasi dengan Islam, demokrasi bertentangan frontal dengan Islam. Islam memberikan hak membuat hukum hanya kepada Allah subḥānahu wa taʿālā (innil hukmu illa lillah, QS al-An’am: 57). Artinya kedaulatan ada di tangan Allah sepenuhnya, sedangkan penguasa atau wakil rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri. Penguasa atau kepala negara hanya melegislasi hukum-hukum syara’ menjadi hukum postif negara (undang-undang ). Itulah mengapa demokrasi disebut sistem kufur karena merampas hak Allah dalam menetapkan hukum.

Maka jangan heran jika perkara-perkara tasyri’ yang sudah jelas hukumnya dalam al-Qur’an bahkan dalilnya qath’i dhalalah sekalipun bisa seenaknya diubah oleh wakil-wakil rakyat (DPR/MPR atau Presiden). Misalnya hukum qishash bagi pembunuh (QS al-Baqarah: 179), hukum potong tangan bagi pencuri, (QS al-Ma’idah: 38) mereka ganti semaunya dengan hukuman penjara.

Dalam Islam, penguasa hanya boleh bermusyawarah dalam perkara-perkara yang bersifat mubah saja, tidak boleh bermusyawarah terhadap perkara-perkara yang sudah jelas hukumnya atau yang sudah di nash-kan oleh syara’. Jadi, tidak semua perkara bisa dimusyawarahkan seperti dalam sistem demokrasi, di mana DPR/MPR bisa melegalkan riba, melegalkan pasar saham (biggest casino), menjual aset-aset negara, dan lain-lain atas dasar musyawarah mufakat para pemimpinnya.

Sedangkan kebebasan memilih pemimpin sesuai aspirasi rakyat (lewat pemilu) tidak hanya dimiliki oleh demokrasi, sistem khilafah pun bisa menerapkan metode yang sama. Hal demikian bersifat uslub semata, sekadar perkara cabang saja, bukan perkara pokok (inti) demokrasi sebagai sebuah sistem kufur yang memberi kebebasan manusia membuat hukum serta merampas hak-hak Allah subḥānahu wa taʿālā.

Di sisi lain, aqidah dari demokrasi adalah sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). Artinya agama hanya sebatas ritual semata, islam sebatas syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Ada istilah “Jangan bawa-bawa agama ke ranah publik”.

Pakai jilbab misalnya, di negara demokrasi hukumnya bebas (tidak dilarang, juga tidak diwajibkan). Padahal dalam Islam setiap muslimah yang sudah baligh wajib mengenakan jilbab ketika ke luar rumah, dan ada sanksi hukum (takzir dari khalifah) jika menampakkan aurat di depan umum secara sengaja. Hal semacam ini tentu tidak akan kita dapati dalam pemerintahan demokrasi yang beraqidah sekularisme. Yang ada malah pacaran/zina bebas asal suka sama suka, riba jadi legal, judi online dan pinjol merebak luar biasa di tengah masyarakat.

Demokrasi juga memiliki saudara yang tak kalah berbahayanya yaitu kapitalisme dan liberalisme. Maka jangan heran jika negara demokrasi memberikan kebebasan penguasaan tambang, hutan, dan sumber daya alam lainnya kepada komprador asing dan aseng. Lihat saja gunung emas Freeport yang kaya raya dikeruk habis oleh Amerika, sedangkan rakyat Papua sendiri hidup miskin dan terbelakang. Mau menambang emasnya sendiri (dengan cara tradisional) justru ditangkap dan dipenjarakan.

Di sisi lain, rakyat justru dimiskinkan, dipalak berbagai pajak, bahkan jadi pendapatan utama negara (82,4% pendapatan negara dari pajak). Subsidi secara masif dan struktur mulai dihapus satu persatu.

Kemudian saudara sedarah demokrasi lainnya yang tak kalah berbahayanya dari kapitalisme dan liberalisme adalah nation state atau nasionalisme. Umat Islam dipecah belah dalam lingkup kecil-kecil yang dinamakan negara bangsa. Maka jangan heran di saat Palestina diserang habis-habisan oleh Israel (genosida), negara-negara di sekitarnya diam tidak peduli, tidak berusaha mengirimkan pasukan perang mereka.

Bahkan Mesir menyekat rakyat Palestina dengan tembok Rafah yang menjulang tinggi. Di saat yang sama Saudi mengadakan konser musik Riyadh Season 2023 yang mengundang penyanyi terkenal Shakira. Saudi juga siap membangun belasan stadion untuk Piala Dunia 2034 di tengah pembantaian yang dilakukan Israel.

Sekularisme merupakan ibu kandung dari demokrasi, kapitalisme, liberalisme, dan nasionalisme. Semua itu satu kesatuan yang merupakan ide Barat sejak Renaissance bergulir. Sayangnya isme-isme tersebut sekarang justru diusung umat Islam bahkan dijadikan medan perjuangan. Dengan alasan menjadikan demokrasi Islami, yang terjadi justru sibghoh demokrasi sukses mewarnai mereka.

Awalnya partai Islam, lama-lama jadi partai terbuka. Awalnya hanya mengangkat pemimpin muslim, lama-lama demi kemaslahatan di Indonesia Timur mengusung orang kafir jadi kepala daerah. Awalnya memusuhi partai nasional garis keras macam PDIP dan PSI, akhirnya di beberapa daerah justru berkolaborasi dengan mereka. Bahkan di Jakarta semua partai justru bergabung dengan KIM Plus. Idealisme partai tergerus habis oleh kursi kekuasaan.

Begitulah dampak dari salah menafsirkan sesuatu berakibat salah pula menghukumi sesuatu. Sesuatu yang kufur justru dijadikan kendaraan.

أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Artinya: “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Ma’idah: 50) []

Sumber: Dakwah Serpong

About Author

Categories