Mengimani Allah Meniscayakan Mengufuri Tagut
MUSTANIR.net – }لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ { [سورة البقرة: 256]
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Oleh karena itu, siapa saja yang mengingkari tagut dan mengimani Allah, sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 256)
Ayat ini juga menjelaskan konsekuensi keimanan seorang mukmin, bahwa beriman kepada Allah itu mengharuskan dirinya untuk mengufuri tagut. Tagut meliputi seluruh sesembahan selain Allah, setan, atau pangkal kekufuran dan kemaksiatan. Itulah pengertian tagut yang telah dikemukakan oleh para sahabat dan juga ahli tafsir.
Zat yang disembah (al-ma’bûd) adalah zat yang memegang otoritas untuk memerintah dan mengatur kehidupan hamba (al-‘abd). Hubungan otoritatif inilah yang melahirkan konsep siyâdah; ketuanan (dalam istilah perbudakan atau [isti‘bâd]—atau kedaulatan (dalam istilah ilmu hukum dan politik). Ketika menjelaskan orang yang berhukum pada sumber otoritas lain, selain Allah, Allah juga menggunakan istilah tagut untuk menyebut sumber otoritatif tersebut:
}أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَـلاَلاَ بَعِيْدًا {
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah mengimani apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum pada tagut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari tagut itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa’ [4]: 60)
Kata tagut di sini digunakan oleh Allah untuk menyebut sumber otoritas hukum selain diri-Nya. Dengan demikian, tagut merupakan istilah dengan konotasi tertentu. Karena istilah ini diambil dari kata sifat thaghâ-yathgh[i]-thughyân yang berarti jâwaza al-had (melanggar ketentuan Allah), maka istilah ini pun pada dasarnya sama dengan kata kerjanya, yaitu kata benda yang berbentuk sifat.
Ia bukan isim laqab atau jâmid, seperti yang telah dijelaskan di atas. Sebaliknya, ia merupakan kata musytaq (pecahan) sekaligus sifat yang bisa dianalogkan kepada siapa pun yang mempunyai ciri dan karakteristik seperti itu. Artinya, istilah ini bisa meliputi siapa saja dan apa saja yang mempunyai kriteria seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, baik berupa orang, jin, maupun benda mati yang disembah; yang kepadanya diberi ototitas untuk membuat hukum
Dalam konteks inilah, orang mukmin yang beriman kepada Allah dituntut agar membersihkan keimanan kepada-Nya seraya hanya menjadikan-Nya sebagai satu-satunya Zat yang harus disembah sebagaimana firman Allah,
}وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS al-Bayyinah [99]: 5)
Inilah tuntutan keimanan yang diperintahkan oleh Allah kepada setiap muslim. Dengan demikian, mereka hanya boleh terikat dengan hukum Allah, bukan hukum buatan manusia.
Masalahnya kemudian, apakah hukum Allah itu ada?
Jawabnya, tentu ada. Siapa pun yang melek Al-Qur’an dan Sunah pasti akan menemukannya. Hanya orang-orang yang tersesat dan disesatkanlah yang tidak mau menerima kenyataan bahwa hukum Allah itu ada.
Sebabnya, jika tidak, lalu apa maksud ayat-ayat salat, zakat, puasa, haji, jihad, dan lain-lain yang dinyatakan dalam al-Qur’an?
Bukankah itu hukum Allah?
Wallahualam. []
Sumber: KH Hafidz Abdurrahman, MA