Menjemput Ampunan Allah Ta’ala
Menjemput Ampunan Allah Ta’ala
(Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-42)
قَالَ اللهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, sungguh selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, Aku mengampuni dosa-dosamu dan tidak Aku pedulikan lagi. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu sampai menyentuh langit, kemudian engkau meminta ampunan-Ku, niscaya Aku mengampuni kamu dan tidak Aku pedulikan lagi. Wahai anak Adam, sungguh seandainya engkau datang kepada-Ku dengan kesalahan (dosa) hampir memenuhi bumi, kemudian engkau menjumpai-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepada kamu dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula.” (HR at-Tirmidzi, al-Baihaqi, ad-Darimi, adh-Dhiya’ dan ath-Thabari).
Hadis ini memberikan panduan bagaimana menjemput ampunan Allah SWT. Hadis ini menjelaskan perkara sangat penting, yakni tiga sebab untuk meraih ampunan Allah SWT. Pertama: doa disertai harapan—mâ da’awtanî wa rajawtanî. Allah SWT juga berfirman:
وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (QS al-A’raf [7]: 56).
Dalam berdoa hendaknya diperhatikan adab-adab berdoa, di antaranya yang sudah dijelaskan dalam syarh al-Arba’un hadis ke-10. Di antaranya: menggunakan seruan: ya Rabb, alLâhumma, atau asmâ’ al-husna; didahului dengan amal shalih; menampakkan kerendahan dan ketundukan di hadapan Allah SWT. Diiringi dengan menjauhi penghalang pengabulan doa di antaranya: makan, memakai dan membelanja-kan harta haram; doa disertai kezaliman, maksiat atau memutus silaturrahim.
Doa disertai harapan itu juga hendaknya memenuhi syarat-syaratnya. Di antara syaratnya yang penting adalah hadirnya hati dan keyakinan doa akan diijabah. Nabi saw. bersabda:
ادْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ الله لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
Berdoalah kalian kepada Allah, sementara kalian merasa yakin diijabah. Ketahuilah sesungguhnya Allah tidak menjawab doa yang berasal dari hati yang lalai dan main-main atau sibuk dengan selain Allah (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim).
Kedua: istighfar. Meski dosa hamba itu sangat banyak hingga menyentuh langit sebagai kiasan karena banyaknya dosa itu, jika hamba tersebut ber-istighfar kepada Allah SWT, sesuai hadis di atas, niscaya Allah ampuni (Lihat: QS an-Nisa [4]: 110).
Lebih dari itu, Allah SWT memerintahkan kita untuk ber-istighfar memohon ampunan kepada-Nya, seperti dalam QS al-Baqarah [2] : 199 dan Hud [11]: 3. Di antara karakter orang yang bertakwa, apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, ia mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allah SWT (QS Ali Imran [3]: 135).
Istighfar hendaknya diperbanyak. Nabi saw. yang maksum/bebas dari dosa saja ber-istighfar dalam sehari lebih dari 70 kali (HR al-Bukhari), atau sebanyak 100 kali (HR Muslim).
Yang afdhal dalam ber-istighfar dimulai dengan memuji Allah SWT, lalu mengakui dosa, kemudian meminta kepada Allah SWT ampunan. Rasul saw. bersabda:
سَيِّدُ اْلاِسْتِغْفَارِ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّى، لاَ إِلَه إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِى وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِ كَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَىَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِى، فَاغْفِرْلِى، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
Penghulu istighfar adalah engkau mengucapkan, “Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tiada tuhan kecuali Engkau; Engkau menciptakan aku dan aku hamba-Mu. Aku akan menetapi perjanjian dan janji-Mu sebatas kemampuanku. Aku meminta perlindungan kepada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku. Aku pun mengakui dosaku kepadamu. Karena itu ampunilah aku karena sesungguhnya tiada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau (HR al-Bukhari, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Di antara redaksi istighfar yang dicontohkan dalam hadis, banyak juga yang disambungkan dengan pernyataan tobat kepada Allah. Hal itu juga diisyaratkan di dalam al-Quran (QS Hud: 3). Hanya saja, istighfar dan tobat itu harus diiringi dengan berhenti dari kemaksiyatan yang dilakukan. Jika tidak, justru kecelakaanlah yang didapat. Rasulullah saw. bersabda:
وَيْلٌ لِلَّذِّيْنَ يُصِرُّوْنَ علَى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
Celakalah orang-orang yang terus saja melakukan dosa yang mereka lakukan, sementara mereka tahu (HR Ahmad).
Bahkan Ibn Abiy ad-Dunya mengeluarkan riwayat marfu’ dari Ibn Abbas:
اَلتَائِبُ مِنَ الذَّنْب كَمَنْ لا ذَنْبَ لَهُ، وَالْمُسْتَغْفِرُ مِنْ ذَنْبٍ وَهُوَ مُقِيْمٌ عَلَيْهِ كَالْمُسْتَهْزِيْءِ بِرَبِّهِ
Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa. Orang yang beristighar dari dosa, sementara ia terus melakukan dosa, adalah seperti orang yang mengolok-olok Rabb-nya.
Ketiga: tauhid. Ini adalah sebab terbesar. Allah SWT menegaskan (QS an-Nisa’ [4]: 48), tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Allah akan mengampuni dosa apapun selain syirik, tentu kalau hamba ber-istighfar dengan memenuhi sebab dan syaratnya dan kosong dari penghalang ampunan. Dengan demikian, dalam hadis di atas, Allah SWT menyatakan jika seorang hamba datang menjumpai-Nya disertai tauhid, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, meski dia membawa dosa hampir memenuhi bumi, niscaya Allah SWT datang dengan ampunan yang memenuhi bumi pula. Di sinilah pentingnya kita selalu menjaga diri dari kesyirikan, kesyirikan kecil apalagi yang besar.
[Yahya Abdurrahman]