
Nasib ‘Nelangsa’ Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Di Era Kapitalism
Ilustrasi. foto: viva
MUSTANIR.COM – ‘Nelangsa’ begitulah ungkapan yang bisa mewakili nasib guru honorer saat ini. Selama puluhan tahun mengajar tak kenal lelah mendidik putra-putri bangsa rela mereka lakoni. Apatah hendak dikata jangankan penghidupan yang layak, bergelimang harta, untuk bertahan sehari-hari saja mencukupi kebutuhan tidak cukup jika hanya mengandalkan penghasilan dari hasil mendidik generasi ini.
Bayangkan dengan gaji sekitar Rp. 150 Ribu sampai Rp 500 Ribu per bulan bisakah mencukupi kebutuhan? Jelas tidak, Jangankan untuk kebutuhan keluarga anak dan Istri, bahkan untuk kebutuhan pribadi sang guru-pun harus rela pontang panting cari “ceperan” mengais rezeki dari sector lain. Tak jarang mereka ngojek, jualan kaki lima, bahkan hingga kuli serabutan.
Sebagai bentuk protes bagaimana perlakuan buruk sistem saat ini terhadap profesi pendidik, dan pandangan sistem yang menganggap pendidikan bukan menjadi bagian yang penting dari pembentukan karakter suatu bangsa karena mengabaikan nasib arsitek peradaban yaitu para gurunya. Aksi mogok ngajar guru –guru honorer adalah puncak bagaimana mereka menumpahkan rasa mewujudkan asa.
Aksi yang di koordinatori Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Karawang Ahmad Gojali mengungkapkan sekitar 4.000 koleganya melakukan aksi mogok mengajar sebagai bentuk protes atas Peraturan Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) tentang kreteria penetapan Kebutuhan PNS dan pelaksaan Seleksi CPNS 2018. Guru honorer ini seakan meminta hak mereka bagaimana negara turut peduli nasibnya, Mereka meminta syarat usia dan tingkat pendidikan dihapuskan agar dapat mengikuti seleksi CPNS (https://m.jpnn.com/news/guru-honorer-mogok-hari-ini-besok-gelar-aksi-tolak-jokowi).
Aksi serupa juga terjadi di berbagai kota Indonesia seperti di Malang, Blitar, Pamekasan, Trenggalek, Sukabumi, Ponorogo, Bojonegoro. Menanggapi aksi mogok guru honorer, Sebagaimana yang dilansir okezone.com 20 september kemarin Pemerintah seolah bergeming sebagaimana yang disampaikan staf kepresidenan Moeldoko bahwa PNS itu ada aturannya, ada syaratnya, ada standar yang harus dipenuhi termasuk usia. Pemerintah Pusat dan Daerah mulai merancang formula yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini lewat pembahasan dengan DPR.
Pemerintah saat ini berdiri atas prinsip trias politica, sehingga kebijakan tidak sepenuhnya ada pada pemerintah sebagai eksekutif, tapi juga ada DPR/MPR sebagai legeslatif dan Peradilan sebagai Yudikatif. Pada ranah ini penguasa tak ubahnya seperti regulator yang hanya melaksanakan apa yang menjadi keluhan masyarakat, setelah diputuskan bagaimana penyelesaian masalah di legeslatif. Kinerja pemerintah masih bergantung dengan adanya anggaran dana dan kebijakan yang telah dibuat oleh legeslatif.
Pemerintah saat ini belum sepenuhnya sebagai pelayan umat, mengayomi, melindungi dan bertanggung jawab penuh sebagaiman prinsip penguasa dalam Islam. Trias politica ini lahir dari sistem sekuler demokrasi yang memisahkan urusan masyarakat dan Negara dengan agama. Dalam sistem Ini menempatkan sistem pendidikan hanya sebagai komponen ekonomi, yakni sebagai bagian pencetak mesin industry bukan pembangunan peradaban sehingga kental dengan hitungan untung rugi.
Banyaknya sekolah vokasi, yang di buka saat ini untuk kebutuhan Industri. Sekolah hanya dipandang sebagai pencetak manusia ber”ijazah” yang siap menjadi tenaga kerja bagi perusahaan. Mereka tak ubahnya jadi budak pemuas hasrat para kapitalis menguasai dan mengeksploitasi negeri yang tercinta ini. Atau jika tidak, sistem yang jauh dari nilai-nilai agama ini telah sukses menjadikan mereka individualis, hedonis akan semakin banyak para penganguran, yang menjadi beban keluarga dan pembangunan.
Sungguh Ironi memang jika pendidikan dilihat dari kacamata yang sekulerisme kapitalisme. Bertolak belakang dengan Islam, yang menempatkan pendidikan, keamanan, kesehatan sebagai sesuatu yang wajib di jamin pemenuhannya dalam khilafah ( sistem pemerintahan Islam). Bahkan Ada anggaran yang disiapkan khusus untuk itu. Baik untuk penyiapan Infrastrukturnmya, penyiapan perangkat pembelajarannya, begitupun jaminan kesejahteraan bagi gurunya.
Di dalam khilafah, Pendidikan dianggap sebagai satu komponen terpenting dalam pembentukan karakter suatu bangsa, tidak hanya mencetak pribadi yang canggih menguasai saintek tapi juga muslim yang sholeh dan taat aturan sang pencipta yaitu Alloh SWT. Itulah bedanya jika pendidikan dipandang sebagai pilar peradaban mulia, dan menempatkan para guru sebagai salah satu arsiteknya. Nampak dari concern Negara khilafah terhadap pendidikan dan jaminan kesejahteraan para gurunya.
Dianawati, S.Pd