Antara Nasionalisme dan Kemerdekaan
MUSTANIR.net – Jika seandainya kita mau belajar dan meneliti secara mendalam, maka antara kemerdekaan dan nasionalisme adalah dua hal yang dapat berbenturan secara diametral. Kemerdekaan secara substansial adalah terlepas dari berbagai bentuk penjajahan. Sedangkan nasionalisme memiliki potensi kuat menancapkan agenda penjajahan semakin dalam.
Agar dapat memahami kesimpulan titik pertentangan antara nasionalisme dengan kemerdekaan, marilah sejenak kita berpikir jernih dan melepaskan berbagai asumsi sebelumnya yang menyebutkan bahwa “kemerdekaan tidak akan diperoleh tanpa adanya nasionalisme”.
Setidaknya ada dua perspektif yang dapat digunakan dalam masalah ini yaitu perspektif historis dan perspektif Islam:
• Pertama, sejarah lahirnya nasionalisme sesungguhnya berawal dari dan oleh peradaban Barat yang menegaskan entitas konsep mengenai negara kebangsaan. Konsep negara kebangsaan ini tidak akan pernah kita temukan dalam Islam.
Nasionalisme yang bermuara pada ide negara kebangsaaan kemudian ditiupkan secara kencang di dunia Islam setelah negara-negara Barat berhasil memecah belah kesatuan kaum muslimin melalui penjajahan militer.
Wilayah-wilayah dari negeri kaum muslimin semula adalah satu kesatuan di bawah naungan satu pemerintahan Islam. Namun karena merosotnya pemikiran Islam yang kemudian berlanjut pada kemerosotan kesadaran politik umat Islam, maka pemerintahan islam terakhir yaitu Khilafah Utsmaniyah tidak dapat mencegah agenda penjajahan negara-negara Eropa di bawah komando Inggris saat itu.
Negara-negara Eropa telah membagi-bagi negeri kaum muslimin menjadi wilayah jajahan mereka, sementara penduduk di masing-masing wilayah tersebut tidak memiliki sandaran politik kuat untuk membebaskan mereka dari penjajahan tersebut.
Masing-masing negeri dan wilayah kaum muslimin berjuang sendiri-sendiri untuk mengusir para penjajah, sementara benih perpecahan dan ide nasionalisme telah berhasil ditanamkan di tubuh umat Islam melalui pergerakan misionarisme dan orientalisme.
Selanjutnya perjuangan kemerdekaan yang telah memakan waktu panjang itu berakhir pada pendirian negara bangsa, di mana konsep dan pilar-pilar negara adalah murni berasal dari para penjajahnya. Akibat drama politik dari itu semua, sesungguhnya penjajahan itu terus berlanjut hingga sekarang, dari bentuk penjajahan gaya lama yang berbau militer menjadi penjajahan gaya baru.
Dalam konteks keindonesiaan, indikasi-indikasi itu sangat tampak dalam perjalanan sejarah perjuangan para pahlawan. Para pejuang seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dhien, dan lain sebagainya dari para pejuang awal adalah mereka-mereka yang melawan penjajahan Belanda. Dan tidak terekam dalam sejarah bahwa mereka memiliki ide untuk mendirikan negara bangsa bernama Indonesia. Karena saat itu wilayah yang disebut nusantara ini masih bersifat kerajaan-kerajaan yang berbasis pada Islam.
Gagasan tentang kesatuan bangsa dan bahasa baru muncul pada babak terakhir dari perjuangan panjang kemerdekaan, yaitu pada saat hari Sumpah Pemuda.
Kemudian setelah Indonesia dinyatakan merdeka, pergolakan internal dari para pendiri bangsa berlanjut. Mayoritas umat Islam melalui para tokohnya yang menginginkan pemberlakuan syariah Islam melalui piagam Jakarta secara sepihak oleh Sukarno-Hatta dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945.
Setelah itu berbagai distorsi sejarah tentang peran Islam melawan penjajahan sedikit demi sedikit dihapus. Sebut saja misalnya hari Kebangkitan Nasional yang mendasarkan pada hari lahirnya Budi Utomo, padahal tiga tahun sebelumnya telah lahir SDI yang berubah nama menjadi Syarikat Islam (SI).
Budi Utomo menurut penuturan ahli sejarah Mansur Suryanegara adalah organisasi yang anti-Islam dan pernah melakukan penghinaan kepada baginda Rasulullah ﷺ. Namun justru lahirnya Budi Utomo yang dijadikan sebagai tonggak Kebangkitan Nasional.
Demikianlah sejarah kelam nasionalisme sebagai bagian dari agenda penjajahan itu sendiri dalam rangka memecah belah kesatuan kaum muslimin.
• Selanjutnya dalam perspektif Islam, nasionalisme tidak memiliki akar konseptual dan landasan dalam al-Qur’an dan hadits, selain hanya penafsiran kalangan liberal dari sebagian nash yang dipaksakan, yang justru bertolak belakang dengan nash-nash yang sharih.
Dalil-dalil yang digunakan oleh kalangan nasionalis liberal biasanya berkisar pada pernyataan nabi bahwa beliau berasal dari Arab dan kecenderungan beliau ﷺ untuk mengunggulkan kepemimpinan kaum Quraisy dalam sebuah haditsnya. Padahal hadits-hadits tersebut hanya mengungkapkan realitas bahwa nabi memang berasal dari Arab. Sedangkan mengenai kepemimpinan kaum Quraisy adalah hanya mengenai keutamaan mereka dalam kepemimpinan, bukan sebagai dalil justifikasi atas konsep negara kebangsaan.
Propaganda “cinta tanah air adalah bagian dari iman” yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai hadits nabi, sejatinya bukan hadits atau lebih tepatnya adalah hadits palsu.
Jika nasionalisme hanya diartikan sebagai sebuah kecintaan terhadap tanah kelahiran atau semacam kecenderungan wajar kepada bangsa, suku, maupun asal kelompok, maka hal yang demikian merupakan kodrat dan firah manusia sebagaimana kecenderungan kaum muhajirin dan kaum anshor pada saat proses pemilihan khalifah pengganti kepemimpinan pasca wafatnya Rasulullah ﷺ.
Namun jika nasionalisme adalah bentuk pengukuhan terhadap ide negara kebangsaan, maka yang demikian adalah nyata bertentangan secara jelas dengan konsep islam mengenai pemerintahan, dimana Rasulullah ﷺ telah mewajibkan kaum muslimin hanya memiliki satu negara dengan satu orang khalifah untuk seluruh dunia Islam.
Jadi kesimpulannya, antara kemerdekaan yang substansial dengan nasionalisme adalah dua hal yang terpisah. Kemerdekaan mengharuskan keterlepasan dari berbagai bentuk penjajahan militer maupun penjajahan politik. Sedangkan ide nasionalisme yang berujung pada konsep negara kebangsaan adalah ide yang semakin menancapkan penjajahan itu sendiri.
Kemerdekaan sesungguhnya hanya dapat diraih dengan sempurna jika kita hanya bertumpu pada syariah Islam. Sayyidina Umar bin Khattab pernah mengungkapkan mengenai makna kemuliaan dan kehormatan sebagai substansi dari kemerdekaan itu:
نحن قوم اعزنا الله بالاسلام. فمتى ابتغينا العزة بغير هذا الدين اذلنا الله
Artinya: “Kami adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Maka kapan kami mencari kemuliaan dengan selain agama ini, Allah akan menghinakan kita.”
Nasionalisme bukan ide Islam, namun merupakan impor dari para penjajah. Oleh karena itu, cintailah negeri Indonesia ini sebagai negeri kaum muslimin yang segera akan kita perjuangkan untuk menjadi bagian dari kesatuan negeri-negeri lainya dibawah panji Islam.
Cintailah Indonesia karena Allah dan dengan Islam, bukan dengan ide nasionalisme. Insya Allah kemerdekaan hakiki akan segera dapat diraih atas izin dan pertolongan Allah.
Katakan! Merdeka dengan Islam! Allahu akbar! []
Sumber: Mohammad Rifqi