Peran Besar Pater Beek pada Orde Baru

MUSTANIR.net – Melalui kanal dua (NPO2), gabungan organisasi penyiaran Katolik dan Kristen-Protestan (KRO-NRCV ) menurunkan laporan khusus pada 1 Oktober 2015. Ia menayangkan dokumenter sepanjang 50 menit berisi masa lampau maupun masa kini.

Sebuah kudeta di Indonesia mengakhiri kepresidenan Sukarno pada 1965. Lima puluh tahun kemudian Aart Zeeman dan Aad van den Heuvel melacak jejak-jejak yang masih bisa dilihat pada sisa-sisa peristiwa ini. Jenderal Suharto merebut kekuasaan dan pada bulan-bulan sesudah itu dilakukan pemburuan terhadap kalangan komunis.

Aart Zeeman dan Aad van den Heuvel menyelidiki peran misterius yang dimainkan oleh rohaniwan Belanda Joop Beek pada tingkat paling tinggi di Indonesia. Di Belanda tak ada orang yang kenal Beek, tapi di Indonesia namanya masih saja bergema. Tiap tahun, pada hari kematiannya, ratusan orang berziarah ke makamnya untuk mengenang tokoh ini.

Aart Zeeman: “Peran yang pernah dimainkan oleh rohaniwan Jesuit ini sampai begitu tinggi sangat bikin orang penasaran.” Zeeman membikin dokumenter ini bersama-sama Aad van den Heuvel yang sepanjang tahun 1960-an berkali-kali datang ke Indonesia. Lantaran pemberitaannya yang kritis, Van den Heuvel tidak boleh lagi masuk Indonesia. “Karena itu, di Belanda, Aad mencari tahu peninggalan Joop Beek. Dan di Indonesia saja wawancarai orang-orang yang pernah mengenalnya.”

Sebagai organisasi penyiaran agama, mereka tertarik pada Pater Joop Beek, rohaniwan Katolik yang memegang peran besar pada awal Orde Baru. Waktu itu wartawan KRO, Aad van den Heuvel, datang ke Jakarta untuk melaporkan situasi di Indonesia. Ketika berangkat, dia mengantongi nama Joop Beek. Melalui Beek pulalah dia bisa mewawancarai banyak orang, termasuk Suharto dan Presiden Sukarno.

Secara kebetulan saja pada 1966 Aad van den Heuvel bisa menghubungi Joop Beek. Di redaksi KRO (lembaga penyiaran Katolik-JW) di Hilversum, seorang misionaris Indonesia sedang menjalani magang. Dia berniat mendirikan pemancar radio di Indonesia yang menyebarkan kata-kata rohani. Karena itu waktu Indonesia sedang bergolak, Van den Heuvel bertanya bagaimana situasi sebenarnya. “Kalau begitu bapak mesti ketemu Joop Beek,” kata di pemagang kepada Aad van den Heuvel.

Dengan hanya berbekal nama Joop Beek itu tim KRO berangkat ke Jakarta dan, ternyata benar, di sana mereka bertemu pastor Jesuit ini. Waktu ditemui tim dari Belanda, Joop Beek tengah menulis pidato Presiden Suharto. Segera terlihat betapa dia tahu benar apa yang tengah berlangsung pada politik tingkat tinggi Indonesia.

Melalui pastor ini banyak pintu terbuka, padahal bagi wartawan lain pintu itu selalu tertutup. Misalnya Aad van den Heuvel diizinkan memfilm kamp penjara yang menyekap mereka yang didakwa anggota PKI. Bahkan pada suatu akhir pekan, mereka juga boleh ikut serta berjalan-jalan dengan keluarga Suharto.

Suatu sore, Van den Heuvel bertanya benarkah Suharto akan berpidato pada malam harinya? Beek membenarkan. Ketika ditanya apa isi pidatonya? Beek menjawab belum tahu karena pidato itu masih harus ditulisnya.

Semula jawaban ini dikira gurauan belaka. Tapi ketika mendapati Suharto benar-benar membacakan pidato yang ditulis Beek, Van den Heuvel segera sadar betapa besar pengaruh Beek. Daftar pertanyaan untuk Suharto diserahkannya kepada Beek, dan dalam wawancara Suharto membacakan jawaban yang ditulis Beek.

Dokumenter itu merinci apa saja peran Beek. Beek menggalang demonstrasi mahasiswa menuntut pengunduran diri Sukarno. Ketika Sukarno tumbang dan Orde Baru tegak, Joop Beeklah yang memikirkan pembentukan Golongan Karya. Setelah menyusun struktur partai, ditemuinya Harry Tjan Silalahi agar mendekati Soeharto. Lahirlah Golkar, anak rohani Joop Beek.

Walaupun pada tahun 1960-an itu Aad van den Heuvel banyak berbicara dengan Joop Beek, ternyata tidak ada tayangan film tentang rohaniwan Jesuit ini. Hanya ada foto hitam putih yang menampilkan wajah rohaniwan yang lebih suka sembunyi di belakang layar saja. Siapa sebenarnya tokoh misterius yang sangat berpengaruh ini?

Aart Zeeman: “Beek itu orangnya keras terhadap diri sendiri dan dia cuma ingin punya satu hal saja: pengaruh politik. Dia sendiri juga benar-benar Jesuit tulen yang berupaya tidak tampil, tapi tahu semuanya dan kenal siapa saja.”

Pada tahun 1940-an oleh Ordo Jesuit, Joop Beek dikirim ke Indonesia. Di Jakarta dia memimpin Kongregasi Maria yaitu sebuah lembaga pendidikan Katolik yang mendidik siswanya bagai mendidik militer, supaya bisa menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Siswa lulusan pendidikan ini berhasil menempati kedudukan tinggi, sehingga pengaruh Pastor Beek di belakang layar semakin besar saja.

Sebagai rohaniwan Katolik, dia sangat benci kalangan komunis. Setelah kudeta gagal itu, Beek berhasil menggerakkan para mahasiswa untuk melancarkan demonstrasi besar-besaran. Presiden Sukarno yang berorientasi Marxis disingkirkan oleh Jenderal Suharto dan Beek menjadi penasihat terpenting presiden baru ini.

Di Indonesia, Aart Zeeman mewawancarai beberapa lulusan lembaga pendidikan Pastor Beek. “Yang istimewa adalah pertemuan dengan salah satu siswa terakhir yang karena begitu kagum, sampai-sampai dia simpan meja milik gurunya. Di meja itulah Beek menulis pelbagai dokumen rahasianya.” []

Sumber: Joss Wibisono

About Author

Categories