Peran Islam dalam Sejarah Militer Indonesia
MUSTANIR.net – Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, peran kaum Muslim dalam upaya merebut hingga mempertahankan kemerdekaan tidak bisa dinafikan begitu saja. Dari sekian ratus pahlawan nasional yang diakui Pemerintah saja, tercatat lebih dari 80% adalah Muslim. Apalagi kalau kita melacak akar historis semangat juang para pahlawan itu dibekali dengan ghîrah jihad fi sabilillah dalam mengusir bangsa kafir penjajah. Bahkan tidak jarang tokoh satu dengan tokoh lainnya saling bekerjasama dalam upaya mengusir para penjajah asing tadi seperti Fatahillah yang bekerjasama dengan Sultan Cirebon, Banten dan Demak dalam menggempur kedudukan Portugis di Batavia, Si Singamangaraja XII yang didukung oleh Kesultanan Aceh dan Pagaruyung dalam peperangan melawan kompeni Belanda, Ahmad Lussy Pattimura yang dibantu panglima Said Perintah saat perang di Jazirah al-Muluk, dan masih banyak contoh yang lainnya.
Dalam jejak sejarah kemiliteran di negeri ini, peran Islam dan kaum Muslim dalam membentuk karakteristik pejuang juga demikian kentara. Tercatat dalam sejarah, pemerintahan Sultan Alaudddin Ri’ayat Shah al-Qohhar dari Aceh Darussalam pernah meminta bantuan kepada Khalifah Sulaiman al-Qanuni dari Turki Utsmani dalam upaya menggempur kedudukan Portugis di Selat Malaka. Bala bantuan Khalifah saat itu dipimpin oleh Laksamana Karthoglu Salman Hizir Reis yang tidak hanya membawa pasukan perang, namun juga membawa para insinyur persenjataan dan para akademisi untuk membangun akademi militer di Tanah Rencong. Tercatat Ma’had Baytul Maqdis sebagai akademi militer profesional pertama yang pernah berdiri di negeri ini. Salah seorang lulusan akademi ini adalah Laksamana Keumala Hayati yang memimpin Armada Inong Bale; ia memenangkan duel melawan pasukan Cornellis de Houtman di Selat Malaka.
Saat terjadinya Java Oorlog pada 1825-1830, Khalifah Utsmani pun tercatat mengutus 15 syaikh, di antaranya adalah Syaikh Abdusy Syukur kepada Pangeran Diponegoro untuk mengajarkan strategi perang gerilya. Pangeran Diponegoro pun membentuk kesatuan-kesatuan militernya mengikuti pola militer Utsmani, seperti Turkiyo, Bulkiyo dan Arkiyo. Diponegoro pun memakai nama juang Sultan Ngabdulhamit. Panglimanya, Sentot Prawirodirdjo, memakai nama juang Alibasya. Keduanya seperti nama Khalifah dan panglima perangnya yang menang perang melawan Yunani saat itu, yakni Sultan Abdul Hamid I dan Muhammad Ali Basya.
Sejarah Pembentukan TNI
Saat Balatentara Nippon masuk untuk menduduki Indonesia pada 1942, mereka telah mengawalinya dengan propaganda bahwa Jepang adalah penyelamat dan pembebas Asia dari penjajahan bangsa Barat. Mereka mendekati tokoh-tokoh nasional untuk diajak bekerjasama melawan Sekutu. Mereka pun menyambangi para ulama, santri dan pondok-pondok pesantren untuk ikut mendukung kampanye Perang Asia Timur Raya. Mereka mengetahui betul kedudukan kharismatis para ulama dalam memimpin para santri. Mereka pun memahami kedudukan pondok-pondok pesantren sebagai lembaga terorganisasi yang dapat digerakkan sewaktu-waktu dalam upaya memenangkan perang.
Strategi Balatentara Nippon ini tampak nyata saat mereka mengamini usulan sepuluh tokoh Islam, di antaranya adalah KH Mas Mansyur dan KH Abdul Karim Amrullah, untuk membentuk kesatuan pemuda Indonesia dalam upaya mempertahankan Tanah Air Indonesia. Lalu pihak Jepang segera membentuk Pembela Tanah Air (PETA) yang sebagian besar para komandannya adalah para kiai dengan para prajuritnya adalah kaum santri, seperti Rd. KH Abdullah bin Nuh sebagai Daidancho PETA di Jampang Kulon, termasuk Panglima Soedirman yang pernah menjadi Daidancho PETA di Kresidenan Banyumas. Sebelumnya, Soedirman adalah seorang guru agama di Persjarikatan Moehammadijah.
Pihak Jepang juga mengizinkan pembentukan organisasi semimiliter Lasykar Hizboellah yang dibentuk Nahdlatoel Oelama pada 19 Desember 1944. Markas Besar Lasykar diamanahkan kepada KH Maskoer, sedangkan panglima lasykarnya adalah KH Zainul Arifin. Balatentara Nippon pun merekrut para pemuda Muslim Indonesia, terutama kaum santri sebagai kadet militernya melalui Heiho dan Kaigun, sekaligus mengirimkan mereka ke medan tempur di lautan Pasifik.
Setelah Perang Dunia II berakhir dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Tokoh Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) yang ikut menandatangani Piagam Jakarta, KH Abikoesno Tjokrosoejoso, mengusulkan kepada Pemerintah agar segera membentuk badan pembelaan negara. Karena itu pada 22 Agustus 1945 dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menghimpun anggota PETA dan lasykar-lasykar rakyat di daerah, sekaligus mengangkat KH Kasman Singodimedjo sebagai komandan BKR.
Setelah mengevaluasi keberadaan BKR, pada 5 Oktober 1945 Presiden Soekarno mengorganisasi kembali kesatuan tentara itu dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sekaligus menetapkan Oerip Soemihardjo sebagai Kepala Staf Umum TKR. Tugas mantan perwira KNIL itu adalah untuk membenahi organisasi tentara yang masih semrawut sebelum Panglima TKR dipilih. Ketika itu para pejuang dari beragam kelompok berjalan masing-masing. Pangkat dan jabatan pun diatur sendiri-sendiri, tidak terorganisasi dengan baik.
Pada 12 November 1945, Soedirman terpilih menjadi komandan tertinggi TKR menyisihkan para perwira lainnya, dan dwitunggal Soekarno-Hatta segera melantik Soedirman sebagai Panglima Besar pada 18 Desember 1945.
Selanjutnya, TKR diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Saat revolusi kemerdekaan terjadi, TRI dan lasykar-lasykar pejuang terlibat aktif dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Demi mempersatukan kubu-kubu bersenjata itu, pada 3 Juni 1947 Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Nama inilah yang kini kembali dipakai oleh kesatuan militer negeri ini, sekalipun pernah pula berganti nama menjadi APRI, APRIS dan ABRI pada masa-masa sebelumnya.
Kemanunggalan Rakyat dan Tentara dalam Perang Kemerdekaan
Heroisme kaum Muslim Indonesia dalam mengusir kaum kafir penjajah telah banyak tertulis dalam lembaran emas sejarah bangsa ini, termasuk dalam upayanya mempertahankan kemerdekaan, Peristiwa Soerabaja 10 November 1945 merupakan bukti tak terbantahkan akan arti kepahlawanan sesungguhnya hingga pemerintah menabalkan momen ini sebagai Hari Pahlawan.
Peristiwa ini bermula sejak South East Asian Comand (SEAC), Angkatan Perang Inggris, untuk Asia Tenggara mendarat di Jakarta serta menekan pihak Jepang yang telah kalah untuk mempertahankan status quo pada 16 September 1945. Artinya, Inggris yang mewakili kepentingan Sekutu tidak mengakui kedaulatan Indonesia sebagai bangsa merdeka. Dua pekan berikutnya, pada 29 September 1945, datang lagi Pasukan Sekutu yang tergabung dalam Alied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) dengan membawa pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Faktor inilah yang memicu perlawanan sengit dari lasykar-lasykar Muslim dan BKR terhadap pasukan NICA dan Sekutu di sejumlah tempat.
Menyaksikan pemerintah pusat yang seperti gugup dalam bersikap, KH Hasyim Asyari meneluarkan Resoelusi Djihad Nahdlatoel Oelama pada 22 Oktober 1945 yang menyiagakan kaum Muslim untuk bersiap mengangkat senjata dalam perang suci jihad fi sabilillah. Kesiapan lasykar Hizboellah dan Sabilillah pun semakin menggebu saat Pasukan Sekutu mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945.
Pasukan pemenang Perang Dunia II yang baru mendarat itu dengan sikap angkuh tanpa pemberitahuan menyerbu penjara-penjara yang dijaga TKR dan membebaskan para tawanan republik, khususnya tentara Belanda pada 27 Oktober 1945. Sikap Pasukan Sekutu itu langsung dibalas sehari berikutnya oleh lasykar-lasykar pejuang dengan menyerang balik pos-pos pertahanan Sekutu hingga Brigade Mallaby nyaris binasa.
Pada 7 November 1945, Majelis Sjoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi) sebagai wadah politik umat Islam Indonesia saat itu mengadakan Muktamar Umat Islam dan menghasilkan Resoloesi Djihad PB Masjoemi yang meneguhkan kembali Resoelusi Djihad NO sebelumnya. Setelah itu semangat juang kaum Muslim di Surabaya semakin berkobar-kobar, apalagi gelora jihad fi sabilillah juga terus disuarakan melalui pemancar radio oleh Bung Tomo dan Arek-Arek Soerobojo lainnya.
Di tengah kecamuk konflik senjata berskala kecil, terbetik kabar bahwa Brigjend Mallaby ditemukan tewas di jalanan Surabaya hingga panglima perang Pasukan Sekutu di Jawa Timur, Mayjen Mansergh, pada 9 November 1945 mengeluarkan ultimatum kepada Arek-Arek Soerobojo untuk segera menyerahkan diri sekaligus menyerahkan persenjataan yang mereka punyai pada esok harinya, 10 November 1945 pukul 06.00 pagi.
Ultimatum itu disambut Arek-Arek Soerobojo dengan seruan takbir, menandakan perang suci di jalan Allah mulai ditunaikan. Pada pukul 06.00 pagi itu, kota Surabaya dihujani dengan mesin-mesin perang Allied Forces dari segala penjuru, baik daratan, lautan, maupun udara. Perang 10 November itu hanyalah awal dari gempuran Sekutu terhadap Surabaya hingga berakhir pada awal Desember 1945 saat mereka dipaksa untuk mundur karena kehabisan amunisi dan bala bantuan, mereka tetap tidak mampu menguasai kota. Kepahlawanan Arek-Arek Soerobojo ini mustahil mengemuka tanpa adanya semangat jihad fi sabilillah di dalam dada mereka. Islam telah merasuk kuat dalam jiwa Arek-Arek Soerobojo.
Langkah Sekularisasi Tentara
Hubungan historis yang demikian erat antara rakyat Muslim dan militer ini mulai terganggu sejak adanya kepentingan asing atas nama profesionalisme tentara di tubuh militer Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, keberadaan mantan KNIL di tubuh BKR/TKR membawa kecemburuan tersendiri di antara personil tentara mantan PETA dan lasykar pejuang bentukan rakyat. Apalagi setelah adanya reorganisasi tentara dan efisiensi pasukan, banyak lasykar rakyat yang dipaksa untuk membubarkan diri. Bahkan mantan KNIL yang masih setia pada kepentingan kolonial melakukan aksi-aksi sepihak di bawah komando Westerling dalam pemberontakan APRA.
Selain itu, keberadaan para penentu kebijakan di tubuh militer saat itu pun membawa warna sekular dalam organisasi ketentaraan, seperti Menteri Pertahanan Amir Syarifudin, seorang murtadin penganut Sosialis Marxist; juga Kolonel Tahi Bonar Simatupang yang merupakan anggota dewan gereja. Sekularisasi di tubuh militer ini pun terus berlangsung hingga kini. Bahkan pada masa Orde Baru, militer Indonesia menjadi alat untuk menopang keberlangsungan kekuasaan yang ada untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Dwifungsi ABRI yang digagas Jenderal AH. Nasution pun disalahgunakan oleh kekuasaan Orde Baru untuk membungkam suara kritis rakyat.
Selain itu, kerjasama militer dengan negara-negara asing pun membawa perubahan mendasar dalam paradigma berpikir para prajurit tempur negeri ini. Para perwira militer kita disekolahkan di akademi-akademi militer asing untuk menimba ilmu sekaligus meningkatkan kualitas performa militer Indonesia di dunia internasional. Sistem pendidikan asing yang didapat para perwira militer itu pun diterapkan dalam kurikulum pendidikan militer Indonesia, baik di tingkat Secatam, Secaba, Secapa hingga Sesko. Bahkan termasuk di pendidikan terpadu tentara dalam Akademi Militer (Akmil) yang dirancang saat Unsmiling General yang anti Islam, Jenderal Leonardus Benyficius Moerdani menjabat sebagai Panglima ABRI. Pendidikan agama (Islam) yang diajarkan dalam kurikulum sebatas formalitas Pembinaan Mental Kerohanian. Praktis, ghîrah Islam dalam jiwa tentara terpinggirkan, bahkan Islam dan kaum Muslim pun menjadi sasaran tembak. Umat diposisikan sebagai kriminal, ekstremis, radikalis dan fundamentalis. Bahkan stigma teroris pun kini dialamatkan kepada kaum Muslim!
Oleh karena itu, sudah saatnyalah militer Indonesia sebagai tentara rakyat dan tentara pejuang kembali ke akar historisnya, bahwa mereka adalah anak kandung Kaum Muslim. Mereka adalah pejuang bersama rakyat mayoritas negeri ini dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan tanpa meninggalkan jatidiri dan karakter TNI sendiri sebagai tentara profesional. Ya Allah, fasyhad!
Sumber: Salman Iskandar, Predator Buku dan Peminat Sejarah