
A woman voting.
Politik Bisa Jadi Pahala dan Dosa Terbesar
MUSTANIR.net – Pengantar
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa lepas dari politik. Sebab, politik adalah keniscayaan yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Di mana setiap harinya kita butuh politik dalam segala urusan kita, mulai dari urusan pribadi, keluarga, sekolah, pasar, kantor, masyarakat hingga negara dan dunia secara keseluruhan.
Termasuk kita pun, butuh politik dalam memenuhi segala gharizah (naluri) kita. Baik naluri beragama/bertuhan/mensucikan sesuatu (gharizatut tadayyun), naluri mempertahankan hidup (gharizatul baqa’), maupun naluri melanjutkan keturunan/naluri berkeluarga (gharizatun na’u). Serta juga dalam pemenuhan kebutuhan pokok (hajatul ‘udhawiyah) kita, seperti: sandang, papan dan pangan serta urusan MCK, dan lain-lain.
Maka, sesungguhnya politik pada hakikatnya pun turut punya andil dan berperan sangat besar dalam tumbuh dan berkembangnya kita sebagai manusia dan sebagai hamba Allah. Serta politik juga sangat memengaruhi corak kehidupan, peradaban dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan kita. Bahkan, politik pun pula dapat turut menentukan nasib masa depan kita, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Karena, setiap kita manusia ini sejatinya telah dan sedang berpolitik serta akan terus berpolitik hingga akhir hayat kita. Yaitu, menjadi pemimpin dalam mengurus segala urusan kehidupan kita sehari-hari.
Baik kita menjadi pemimpin bagi diri kita sendiri, menjadi pemimpin bagi rumah tangganya, dan menjadi pemimpin bagi masyarakat dan negaranya. Dan kepemimpinan politik itu akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah subḥānahu wa taʿālā di Yaumil Hisab kelak.
Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ. فَالإمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.
Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya.
Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR Bukhari) [1]
Politik Secara Bahasa
Ada pun secara bahasa, kata politik merupakan hasil serapan dari bahasa Inggris, yaitu politic. Kata padanan lainnya, yaitu policy. Dalam bahasa Arab diistilahkan dengan kata siyasah (سياسة). Apa realitas (fakta) yang dimaksud? Dalam bahasa Inggris, politic artinya ‘mengatur’.
Dalam bahasa Arab, siyasah (سياسة) berasal dari kata sâsa-yasûsu-siyâsat[an] (ساس-يسوس-سياسة) artinya mengurus, memelihara atau mengatur. Dalam bahasa Indonesia, kata yang sejalan dan senada dengan makna politik adalah urus, mengurus atau atur, mengatur.
Masih secara bahasa (etimologis), fakta menunjukkan bahwa kata politik berasal dari bahasa Yunani. Yaitu, dari kata polis yang dapat berarti kota atau negara kota.
Dari kata polis ini diturunkan kata-kata lain. Seperti: polites (warga negara) dan politikos nama sifat yang berarti kewarganegaraan (civic), dan politike techne untuk kemahiran politik serta politike episteme untuk ilmu politik.
Orang Romawi mengambil alih kata Yunani tersebut. Dan menamakan pengetahuan tentang negara (pemerintah) dengan ars politica, artinya ‘kemahiran (kunst) tentang masalah kenegaraan’.
Dalam Wikipedia (Ensiklopedia digital/wikipedia.com), dikemukakan hal yang sama:
The word “Politics” is derived from the Greek word for city state, “Polis”. Politics is most often studied in relation to the administration of governments.
Yang artinya: Kata “politik” berasal dari kata Yunani untuk negara kota, “polis”. Politik yang paling sering dipahami dalam kaitannya dengan administrasi/pengaturan pemerintahan.
Jadi, fakta politik menurut bahasa adalah mengatur atau mengurus (memelihara). [2]
Dalam Kamus Internasional Populer, pun ditegaskan politik berarti segala yang bersangkutan dengan cara-cara serta kebijaksanaan pemerintah dalam mengatur negara dan masyarakat suatu negara. Asal katanya adalah polis, berarti kota dan kini berarti negara. Sedangkan, politikus adalah orang yang bergerak di bidang politik/partai-partai politik. [3]
Politik Secara Istilah
Menurut Prof. Dr. Miriam Budiardjo, dalam bukunya Pengantar Ilmu Politik. Istilah politik (politics) adalah berbagai kegiatan dalam suatu sistem politik (negara), yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. [4]
Apa saja kegiatan dalam sistem politik?
Kegiatan sistem politik dimulai dari pengambilan keputusan (decision making) oleh organisasi negara (state) melalui pemerintah (government). Mengenai apakah yang menjadi tujuan sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu, perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies). Yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution), atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber dan sumber daya (resources) yang ada.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority). Yang akan dipakai untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses tersebut.
Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat meyakinkan (persuasion) dan jika perlu, bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent).
Jadi, pengertian pokok politik meliputi kata kunci keberadaan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Politik secara istilah menurut al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, dalam kitabnya Nidzham al-Hukmi fil Islam.
Beliau menjelaskan, pengertian politik (siyasah) adalah pengaturan urusan masyarakat (rakyat/publik/umat/bangsa). Baik di dalam maupun di luar negeri dengan hukum-hukum tertentu dan dilakukan secara praktis oleh penguasa/ pemerintah. Dikontrol dan diawasi oleh masyarakat (rakyat/publik/umat/warga).
Menurut Imam an-Nabhani rahimahullah tersebut, pengertian pokok politik meliputi konsep penguasa (hukkam, sulthan); pengaturan urusan rakyat (ri’ayah); penerapan aturan, baik di dalam dan di luar negeri (tathbiq ahkam); serta koreksi dan kontrol rakyat (muhasabah). [5]
Menurut Wikipedia (www.wikipedia.com), politik secara istilah adalah proses pembuatan keputusan dalam kelompok. Meskipun umumnya istilah ini diterapkan pada perilaku dalam pemerintahan, politik dapat pula dicermati dalam semua interaksi-interaksi kelompok, termasuk dalam institusi agama, akademik, dan perusahaan. [6]
Oleh karena itu pula, ditegaskan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullah. Dalam kitabnya Afkaar Siyaasiyah, bahwa politik ialah memelihara (mengatur) urusan umat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dan politik itu diperankan oleh negara dan umat. Negara melaksanakannya secara langsung (praktis), sedangkan umat melaksanakannya dengan mengoreksi negara. [7]
Jadi kesimpulannya, fakta pengertian politik secara istilah (terminologi) adalah pemeliharaan atau pengaturan urusan umat, publik, masyarakat, atau rakyat, baik di dalam maupun di luar negeri.
Proses aktivitas dilakukan oleh negara atau pemerintahan secara praktis dengan mengambil keputusan (baik memerintah atau melarang). Untuk menjalankan aturan atau cita-cita tertentu dan bersama dengan umat, rakyat, dan stakeholder mengawasi atas apa yang dilakukannya, melalui aktivitas koreksi dan kontrol.
Inilah realitas politik dan pengertian politik yang hakiki. Politik itu aktivitas yang bertujuan mengatur dan memelihara urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri. Penguasa dan rakyat adalah pemain utama. Perbedaan yang terjadi adalah konsep politik, sehingga ada penguasa yang jahat dan ada penguasa yang adil, karena pengurusan yang dilakukan kepada rakyatnya berbeda satu sama lain.
Warna atau konsep politik suatu masyarakat bisa (ibarat) merah, hijau, kuning, atau putih, serta hitam. Bergantung pada persepsi atau pemahaman para pelakunya, baik penguasa maupun rakyatnya tentang cita-cita, pandangan hidup, atau aturan hukum-hukum. Artinya, kalau ada perbedaan di antara keduanya, warna atau konsep politik itu akan berbeda. [8]
Politik dalam Islam
Dalam Islam politik bukanlah sesuatu yang kotor, dan dalam Islam pun tidak ada pemisahan antara politik dengan Islam. Politik Islam tidak identik dengan rebutan kedudukan dan kekuasaan, serta tidak identik pula dengan bagi-bagi kue kekuasaan dan sekerat tulang busuk dunia.
Makanya, dalam bahasa Arab seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa politik berpadanan dengan kata sâsa-yasûsu-siyâsat[an] (ساس-يسوس-سياسة), artinya mengurusi, memelihara, atau mengatur.
Samih ‘Athif dalam kitabnya, as-Siyâsah wa as-Siyâsah ad-Duwaliyyah. Menulis bahwa politik (siyâsah) merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan membimbing menuju kebaikan. [9]
Jadi, ringkasnya politik menurut Islam, adalah memelihara urusan umat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sesuai syariah Islam. [10] Karena itu, dalam Islam, politik amatlah sangat mulia, sehingga Islam dan politik tak bisa dipisahkan. Dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Alasannya:
Pertama, Islam adalah agama yang syâmil (menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, moralitas (akhlak), ataupun persoalan-persoalan individual dan keluarga.
Namun, syariah Islam juga mengatur mu’âmalah (hubungan manusia dengan sesamanya [hablun minannaas]). Seperti: politik, ekonomi, sosial-budaya, pergaulan pria-wanita, kesehatan pendidikan, dan sebagainya. Islam pun mengatur masalah ‘uqûbah (sanksi hukum) maupun bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam.
Bukti dari semua ini, bisa kita lihat dalam kitab-kitab fiqih para ulama terkemuka, baik klasik maupun kontemporer. Yang membahas berbagai persoalan, mulai dari bab thaharah (bersuci), hingga bab siyasah Islam (politik Islam) yaitu imamah/khilafah (kepemimpinan dan ketatanegaraan politik Islam).
Dalam al-Qur’an, Allah subḥānahu wa taʿālā bukan hanya mewajibkan shaum Ramadhan; kutiba ‘alaykum ash-shiyâm (QS al-Baqarah [2]: 183). Tetapi, juga mewajibkan hukum qishâsh dalam perkara pembunuhan; kutiba ‘alaykum al-qishâsh (QS al-Baqarah [2]: 78).
Di dalam QS al-Baqarah [2]: 216 Allah subḥānahu wa taʿālā pun mewajibkan perang (jihad) dengan firman-Nya: kutiba ‘alaykum al-qitâl.
Menurut para mufassir, semua frasa kutiba ‘alaykum dalam ayat-ayat tersebut. Memberikan makna furidha ‘alaykum.
Al-Qur’an juga tak hanya membahas shalat, aqim ash-shalah (QS al-Baqarah [2]: 43). Tetapi, juga bicara ekonomi saat menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275). Juga saat mewajibkan pendistribusian harta secara adil di tengah masyarakat (QS al-Hasyr [59]: 7).
Ke dua, apa yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah ﷺ saat menjadi kepala Negara Islam di Madinah. Menunjukkan hal yang jelas, bahwa Islam dan politik tak dipisahkan.
Tampak jelas peran Rasulullah ﷺ sebagai kepala negara, sebagai qâdhî (hakim) dan panglima perang. Rasul ﷺ pun mengatur keuangan baitul mal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para penguasa di sekitar Madinah.
Masjid Nabawi sendiri pada masa Rasulullah ﷺ bukan hanya digunakan untuk urusan ibadah ritual. Tetapi, juga menjadi tempat Rasulullah ﷺ bermusyawarah bersama para sahabatnya untuk membicarakan segala urusan rakyatnya, termasuk mengatur strategi perang.
Hingga kini di Masjid Nabawi berdiri kokoh ustuwanah wufud (tiang delegasi). Di sinilah Rasulullah ﷺ menerima tamu-tamu kenegaraan. Posisinya paling ujung dari sudut mihrab tahajud. Terdapat pula ustuwanah haris (tiang penjaga).
Di sinilah Ali bin Abi Thalib mengawal Rasulullah ﷺ, dan ditugasi menyampaikan pesan kepada para tamu. [11]
Jadi, pada realitas dan hakikatnya dalam Islam, politik merupakan kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur dan mengurusi segala hajat hidup umat manusia atau masyarakat. Baik mengatur dan mengurusi perkara akidah, agama, ibadah, makanan, minuman, pakaian dan akhlak.
Maupun mengatur atau mengurusi perkara mu’amalah. Seperti: politik, pemerintahan, ketatanegaraan, ekonomi, sosial, budaya, pergaulan pria-wanita, pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan.
Karena itulah, politik (kebijakan/kewenangan/kepengurusan/kepemimpinan), bila tidak berpijak pada agama, akidah dan ideologi (mabda) Islam. Maka, itu hanya menjadi dosa terbesar, keburukan, kerusakan dan malapetaka dahsyat.
Sebaliknya, bila politik berpijak pada agama, akidah, dan ideologi Islam. Maka, akan menjadi pahala terbesar dan membawa kebaikan, rahmat, keadilan, kesejahteraan dan keberkahan serta keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh karena itulah, secara bahasa salah-satu makna Islam itu adalah selamat (سلام). Selaras juga dengan doa sapu jagat: keselamatan dunia akhirat, yang sering kita baca setiap hari khususnya setelah shalat 5 waktu.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Wahai Tuhan kami, anugerahi kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jauhkan kami dari api neraka.” (QS al-Baqarah [2]: 201)
Oleh karena itulah, politik atau kebijakan ataupun kewenangan yang berpijak kepada Islam. Maka, akan membawa keselamatan, kebaikan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
Ada pun kebijakan Islam atau politik Islam (siyasah Islam) itu wujud real-nya adalah khilafah. Bukan demokrasi, bukan komunis, bukan teokrasi dan bukan pula monarki serta bukan pula sistem kufur jahiliyah lainnya.
Oleh karena itulah, Rasulullah ﷺ tegaskan dalam sabdanya:
كَانَتْ بَنُوْإِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ. قَالُوْا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ. وَأَعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dulu bani Israil selalu diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak akan ada nabi setelahku, tetapi akan ada banyak khalifah.” Para sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja. Beri mereka hak mereka karena Allah nanti akan meminta pertanggungjawaban mereka atas urusan saja yang telah diserahkan kepada mereka.” (HR Muslim) [12]
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Kalian harus berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin setelah aku. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan al-Hakim). [13]
Bahkan, Rasulullah ﷺ pun dalam bisyarahnya. Yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Yaman raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكاً عَاضّاً فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكاً جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ» ثُمَّ سَكَتَ
“Di tengah kalian ada masa kenabian, yang akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian dan akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian ada kekuasaan yang mengigit (mulkan ‘âdhdhan) dan akan ada tetap sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang memaksa (mulkan jabriyyatan) dan akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian”, kemudian beliau diam.” (HR Ahmad) [14]
Karena itulah, pada realitasnya politik itu selain tidak bisa dipisahkan dengan Islam, juga sesungguhnya politik pun adalah tabi’at para nabi dan rasul, sejak zaman Nabi Adam alayhis salām hingga zaman Nabi Muhammad ﷺ. Jadi, praktik pengaturan/pengurusan (politik) adalah perilaku dan tabi’at yang dilakukan oleh para nabi sepanjang masa kerisalahannya.
Kita bisa melihat, misalnya teladan agung dan mulia kehidupan: Nabi Adam alayhis salām, Nabi Idris alayhis salām, Nabi Nuh alayhis salām, Nabi Shalih alayhis salām, Nabi Ibrahim alayhis salām, Nabi Lut alayhis salām, Nabi Yusuf alayhis salām, Nabi Daud alayhis salām, Nabi Sulaiman alayhis salām ataupun Nabi Musa alayhis salām dan Nabi Harun alayhis salām, Nabi Dzulkifli alayhis salām, dan lain-lain.
Sehingga, sangat tepat praktik kehidupan para nabi tersebut. Ketika mereka memimpin, melihara dan mengurusi umatnya adalah kehidupan pengaturan/pengurusan dengan risalah (kehidupan politik) wahyu Ilahi.
Praktik ini pun terjadi sepanjang masa hingga zaman Nabi Muhammad Rasulullah ﷺ. Hanya Nabi Muhammad ﷺ yang menegaskan bahwa setelah beliau ﷺ wafat tidak ada lagi nabi. Namun, estafet otoritas pengaturan segala urusan masyarakat (manusia) diserahkan kepada para khalifah.
Dalam thariqah dakwah Rasulullah ﷺ pun selain fikriyah (pemikiran/intelektual), juga dakwah Rasulullah ﷺ pun bersifat siyasiyah (politis). Yaitu, mengurusi, memelihara dan mengatur segala urusan umat manusia dengan risalah wahyu ilahi dan berupaya mewujudkan kekuasaan/kepemimpinan Islam.
Sebagai metode praktis, efektif dan efisien menerapkan Islam secara totalitas dalam segala aspek kehidupan. Sehingga bisa diwujudkannya kehidupan Islam, dan syiar dakwah dan jihad menyebarluaskan risalah Islam ke segala penjuru alam dapat diwujudkan. Juga dalam pengurusan, pemeliharaan dan pengaturan segala urusan kehidupan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Karena itu pula, dalam thariqah dakwah Rasulullah ﷺ pun beliau ﷺ melakukan aktivitas yang sangat penting berupa thalabun nushrah. Yaitu, memobilisasi dukungan terhadap dakwah dari simpul-simpul umat, khususnya dari ahlul quwwah yakni orang-orang yang memiliki kekuatan real di tengah umat.
Seperti, beliau sering mengontak dan mendakwahi para tokoh dan petinggi Arab dan kabilah-kabilah Arab termasuk juga Quraisy, di Mekkah. Dan juga Rasulullah ﷺ pun mendakwahi kabilah suku Aus dan Khazraj dari Yastrib (Madinah) saat musim haji di Mekkah.
Kemudian beliau ﷺ pun mengirimkan sahabat beliau ke Yastrib, selama setahun. Yakni, Mush’ab bin ‘Umair raḍiyallāhu ‘anhu untuk secara khusus dan secara intensif mendakwahi, membina dan menyiapkan tokoh-tokoh kunci Aus dan Khazraj dan masyarakat Yastrib di Madinah (Yastrib).
Rasulullah ﷺ menyeru dan mengajak atau meminta mereka semua. Agar bersegera memeluk Islam, memberikan loyalitas mereka tanpa syarat kepada Allah dan rasul-Nya, dan menolong dakwah beliau ﷺ. Serta meminta dan menggerakkan mereka agar menegakkan kepemimpinan/kekuasaan Islam bersama beliau ﷺ dan sahabat-sahabat beliau.
Untuk menerapkan Islam secara praktis totalitas (kaffah) dalam segala aspek kehidupan. Dan dalam menegakkan kekuasaan Islam untuk menerapkan Islam secara real totalitas dalam segala aspek kehidupan tersebut. Serta dalam menegakkan kalimat tauhidullah yang agung, dalam segala aspek kehidupan di seluruh penjuru alam.
Hingga Rasulullah ﷺ pun pula, telah mencontohkan. Atau telah memberikan teladan agung, bagaimana beliau ﷺ selain beliau berikhtiar menggenapi tahapan demi tahapan tahriqah dakwah beliau ﷺ. Beliau pun juga berdoa, memohon kekuasaan kepada Allah subḥānahu wa taʿālā untuk mewujudkan hal itu.
… وَاجْعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلْطَانًا نَّصِيرًا
“…Dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS al-Isra’ (17): 80)
Imam Qatadah menjelaskan, “Nabi ﷺ menyadari bahwa tidak ada daya bagi beliau dengan perkara ini kecuali dengan sulthân (kekuasaan). Karena itu beliau memohon kekuasaan yang menolong untuk kitabullah, untuk hudûd Allah, untuk kewajiban-kewajiban dari Allah dan untuk tegaknya agama Allah. [15]
Kekuasaan itu tidak ada artinya jika bukan sulthân[an] nashîr[an] (kekuasaan yang menolong). Kekuasaan yang menolong itu hanyalah kekuasaan yang sedari awal memang ditujukan untuk menolong agama Allah subḥānahu wa taʿālā, kitabullah dan untuk menegakkan syariah-Nya.
Kekuasan seperti ini hanyalah kekuasaan yang Islami sejak dari asasnya, bentuknya, sistemnya, hukumnya, perangkat-perangkatnya, struktur dan semua penyusunnya. Kekuasaan yang menolong seperti itu adalah daulah Islam ataupun khilafah rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah.
Politik Jadi Pahala dan Dosa Terbesar
Jadi, sesungguhnya politik bisa menjadi pahala terbesar dan puncaknya pahala. Bila berpijak/berasaskan pada tuntunan wahyu Allah dan rasul-Nya atau bila berlandaskan akidah tauhid Islam dan sistem Islam atau ideologi (mabda’) Islam tersebut.
Namun, justru sebaliknya pun sesungguhnya politik bisa menjadi dosa terbesar dan puncaknya dosa. Bila tidak berpijak/berasaskan pada tuntunan Wahyu Allah dan Rasul-Nya atau bila tidak berlandaskan akidah tauhid Islam dan sistem Islam atau ideologi (mabda) Islam.
Maka, sangat wajar bila Allah subḥānahu wa taʿālā banyak menimpakan azab dan membinasakan kaum-kaum terdahulu seperti Namrud raja Babilonia dan Fir’aun raja Mesir. Karena, mereka sudah melampaui batas (menjadi thagut) dengan kekuatan politik dan kekuasaan politik mereka yang ‘abuse of power’.
Hingga mereka dengan sangat sombong dan angkuhnya serta dengan kurang ajarnya mendeklarasikan dirinya. Sebagai Tuhan yang Maha Kuasa yang telah menciptakan, dan Tuhan yang telah menghidupkan, serta Tuhan yang mematikan dan Tuhan yang patut disembah.
Dengan kekuatan politik dan kekuasaan politik ‘abuse of powernya’, mereka berdua Namrud dan Fir’aun pun menerapkan hukum-hukum kufur jahiliyah dan UU kufur jahiliyah yang dibuat oleh hawa nafsu syahwat kepentingan politiknya. Untuk melanggengkan kezaliman, kejahatan, kediktatorannya dan tirani kekuasaannya yang absolut.
Serta dalam melegitimasi kezaliman, kejahatan dan angkara murka mereka di dunia. Dan dalam membungkam, menindas dan memperbudak serta membinasakan rakyatnya sendiri khususnya siapa pun yang menjadi rival atau lawan politiknya. Serta parahnya pun digunakan untuk memusuhi dan menentang Allah dan rasul-Nya serta agama-Nya.
Oleh karena itulah, dengan kekuatan politik dan kekuasaan politik ‘abuse of power’-nya. Mereka berdua, yaitu Namrud dan Fir’aun sangat membenci, memusuhi, menentang dan memerangi agama Allah dan rasul-Nya yakni Nabi Ibrahim alayhis salām dan Nabi Musa alayhis salām.
Hingga Namrud pun melemparkan dan membakar hidup-hidup Nabi Ibrahim alayhis salām dalam kobaran api unggun raksasa. Kemudian Allah subḥānahu wa taʿālā menolong dan menyelamatkan Nabi Ibrahim alayhis salām dengan memberinya mukjizat kebal dibakar api. Sehingga selanjutnya pada akhirnya, Namrud dan pasukannya yang kuat pun dibinasakan oleh Allah, dengan Allah subḥānahu wa taʿālā mengirimkan pasukan nyamuk kepada Namrud dan pasukannya tersebut.
Begitu pula, Fir’aun pun berupaya membunuh dan memburu Nabi Musa alayhis salām dan kaumnya bani Israil. Hingga Fir’aun dan pasukannya pun, mengejar Nabi Musa alayhis salām dan kaumnya bani Israil tersebut sampai di Laut Merah.
Sehingga pada akhirnya pun, Nabi Musa alayhis salām dan kaumnya tersebut, ditolong dan diselamatkan oleh Allah subḥānahu wa taʿālā. Dengan Allah subḥānahu wa taʿālā memberikan mukjizat kepada Nabi Musa alayhis salām, dengan tongkatnya bisa membelah laut merah dan berhasil menyeberang lautan tersebut bersama kaumnya.
Kemudian Allah subḥānahu wa taʿālā pun, menimpakan azab yang pedih dan sangat hina kepada Fir’aun dan pasukannya. Dengan Allah subḥānahu wa taʿālā menenggelamkan dan membinasakan Fir’aun dan pasukannya ke dalam laut merah tersebut. Ketika Fir’aun dan pasukannya berupaya mengejar sampai di tengah laut merah dan berupaya membunuh Nabi Musa dan kaumnya tersebut.
Oleh karena itu pula, seperti dalam politik kufur demokrasi —warisan kaum kuffar Barat penjajah, yang sanadnya sampai ke para filsuf Eropa dan Amerika yang kufur, hingga sampai pula sanadnya ke filosof Yunani kuno yang kufur dan pagan— yang diadopsi dan diterapkan saat ini. Itu tak ubahnya seperti politiknya Namrud dan politiknya Fir’aun yang sangat bertentangan dengan agama Allah dan rasul-Nya.
Bahkan, demokrasi dengan kekuatan politik dan kekuasaan politik ‘abuse of power’-nya pun sangat membenci, memusuhi dan memerangi agama Allah dan para pejuang agama Allah. Dan demokrasi pun tidak akan pernah rela Islam dan umat Islam menang dan berkuasa serta berjaya memimpin kembali peradaban dunia.
Karena itu, demokrasi tidak akan pernah memberikan jalan sejengkal pun Islam dan umat Islam untuk menang, berkuasa dan berjaya memimpin peradaban. Serta demokrasi pun tidak akan pernah rela Islam dan umat Islam menjadi mercusuar dunia kembali.
Apatah lagi, dalam politik demokrasi semuanya serba boleh dan serba bebas dengan akidah kufurnya sekulerisme dan ideologinya kapitalisme, menurut hawa nafsu dan kepentingan manusia dan syahwat penguasa serta syahwat kafir penjajah. Dan politik demokrasi pun tidak mau tunduk kepada aturan ilahi rabbi Allah subḥānahu wa taʿālā Tuhan semesta alam.
Dalam politik demokrasi tidak kenal halal-haram dan tidak kenal moralitas. Sebab, politik demokrasi adalah politik tanpa moral alias politik amoral yang menghalalkan segala cara, penuh tipuan dan pengkhianatan, hipokrit, liberal, hedonis, sinkretis, pragmatis, dan transaksional.
Karena itulah, dalam politik demokrasi, halal haram hantam hak orang hak aku. “Maujud fulus mulus, maafih fulus mamfus”. Dan “time is money”. Dengan pilarnya adalah kebebasan atas nama HAM, serta tulang punggungnya ekonomi ribawi kapitalis. Dan tubuhnya nation state (negara bangsa) serta paru-parunya yakni nasionalisme.
Dalam politik demokrasi pun yang halal jadi haram dan yang haram jadi halal. Serta semuanya serba jungkir balik, ruwet dan ambyar hingga hilangnya iman, akal sehat dan hati nurani serta rasa malu.
Bahkan, dalam politik demokrasi pun sudah lumrah memperalat dan menjadikan ulama dan agama. Sebagai stempel menghalalkan kebohongan, hipokrit, tipu daya, kecurangan dan pengkhianatan serta kezaliman dan kejahatan penguasa durjana. Yang amat zalim beserta oligarkinya dan para badut-badut politik demokrasi. Maupun, bandit-bandit politik demokrasi serta para kafir penjajah durjana kapitalisme global asing dan aseng.
Dan politik demokrasi pun hanya memperalat dan membajak ulama. Dengan hanya dijadikan sebagai stempel menghalalkan kepentingan politik dan syahwat kekuasaan tirani penguasa boneka dan majikannya yakni kaum kuffar penjajah asing-aseng. Serta hanya dijadikan stempel dan alat untuk melanggengkan hegemoni penjajahan negara-negara kafir asing dan aseng di negeri ini dan di dunia Islam.
Dalam politik demokrasi juga tidak ada istilah teman sejati, tidak ada istilah musuh sejati dan tidak ada istilah makan siang gratis (no free lunch). Dalam politik demokrasi pun yang ada hanyalah materi dan fulus (uang) yang sejati serta yang utama kepentingan yang sejati nan abadi.
Dan dalam politik demokrasi, materi dan fulus (uang) serta kepentingan adalah maha segala-galanya. Hingga membuat para pengasong demokrasi beserta para pemuja dan penikmatnya. Semakin kian dungukrasi dan democrazy, alias hanya kian makin menjadi tontonan dungu nan gila belaka.
Karena itulah, sesungguhnya demokrasi adalah berhala modern dan thagut di zaman now saat ini. Dan demokrasi itu pun adalah termasuk muhdats atau bid’ah dhalalah, bahkan mbahnya bid’ah dhalalah, alias bid’ah dhalalah al-kubro di zaman now saat ini.
Dalam negara dan pemerintahan demokrasi atau politik demokrasi tersebut, sangat mensekulerisasi dan meliberalisasi agama, kehidupan dan negara. Jadi, dalam demokrasi yang namanya agama dipisahkan dari kehidupan dan negara.
Serta agama hanya ditempatkan di wilayah privasi penduduknya (hanya urusan ibadah mahdhah belaka) dan hanya diletakkan di tempat ibadah belaka. Namun, agama tidak dipakai di ruang wilayah publik (mu’amalah, seperti: politik, ekonomi, sosial, budaya, pergaulan hidup laki-laki dan perempuan, pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan).
Dalam demokrasi pun semuanya serba bebas dan boleh tanpa harus terikat dengan aturan agama. Dan dalam demokrasi juga, setiap individu boleh beragama dan tidak beragama serta pindah-pindah agama atau bahkan boleh ateis. Demokrasi pun membolehkan buka aurat lebar-lebar, dan juga bolehnya memamerkan serta menjual dan mengeksploitasi aurat dan kecantikan wanita sebagai artis dan model.
Bahkan, parahnya pun dalam demokrasi, bolehnya tidak shalat dan tidak puasa serta tidak zakat, boleh makan riba atau berekonomi ribawi dan utang ribawi. Serta pula bolehnya menjadi LGBTQI+ dan menjadi komunis, serta bolehnya pula menikah beda agama dan bolehnya menikah sesama jenis (gay dan lesbian).
Bahkan, dalam demokrasi sangat parahnya, boleh menghina agama, Allah dan Nabi ﷺ atas nama kebebasan berekspresi dan berpendapat. Dan pula bolehnya kumpul kebo, boleh musik-musik liberal dan dugem serta dangdutan koplo.
Serta demokrasi pun membolehkan memprivatisasi milik negara dan milik rakyat, boleh menyerahkan 86% lebih kekayaan SDA-Minerba dan 2/3 wilayah negeri pribumi ke asing dan aseng. Boleh juga curang dalam segala hal termasuk curang dalam pemilu, boleh menghalalkan segala cara, boleh sesat dan menyesatkan, boleh menyembah kuburan-setan dan pohon, boleh makan daging babi dan anjing.
Dan dalam demokrasi juga, bolehnya narkoba dan prostitusi, boleh pornografi dan pornoaksi, boleh pacaran-seks bebas dan aborsi. Boleh korupsi, boleh membohongi dan menipu rakyat, boleh pesugihan dan pengasihan. Boleh menjadi penjilat penguasa dan penjajah, boleh gila dan dungu. Dan juga bolehnya menggadaikan dan menjual kedaulatan negara ke penjajah kafir asing dan aseng, dan lain-lain.
Yang tidak boleh dalam demokrasi itu adalah mengadopsi dan menerapkan hukum-hukum agama di wilayah publik (mu’amalah). Seperti: politik, ekonomi, sosial, budaya, pergaulan hidup laki-laki dan perempuan, pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan.
Jadi, artinya mengadopsi, menerapkan serta mentaati secara mutlak pemerintahan politik kufur demokrasi tersebut. Bahkan, membela pemerintahan demokrasi atau politik demokrasi yang notabene adalah sistem kufur jahiliyah di era modern zaman now ini, dan menganggapnya sebagai “ulil amri”.
Itu sama saja telah melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan) dan dosa terbesar. Yaitu, termasuk syirik Akbar dan sama saja telah melakukan perbuatan bid’ah dhalalah al-kubro.
Sebab, Rasulullah ﷺ dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum khususnya khulafaur rasyidin serta tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Mereka tidak pernah mengadopsi, menerapkan, mengajarkan, mencontohkan, mempraktikkan dan mewariskan sistem politik/sistem kufur jahiliyah pemerintahan demokrasi tersebut.
Namun, yang diadopsi, diterapkan, diajarkan, dicontohkan, dipraktekkan dan diwariskan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum khususnya khulafaur rasyidin serta tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Adalah hanya sistem pemerintahan Islam/sistem politik Islam yaitu khilafah (darul Islam/daulah khilafah/imamah), bukan sistem kufur demokrasi dan bukan pula sistem kufur monarki dan teokrasi maupun komunisme.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Rasulullah ﷺ berikut ini:
Dari al-‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:
وَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan nasihat yang menyentuh, meneteslah air mata dan bergetarlah hati-hati. Maka ada seseorang yang berkata:
“Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang shahih lighairihi (shahih karena dikuatkan) dengan sanad yang lain). [16]
Dan juga telah Allah subḥānahu wa taʿālā tegaskan dalam firman-Nya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah [5]: 50)
Karena itulah, dalam Islam politik adalah perkara vital dalam pengurusan agama dan dunia serta segala urusan umat. Bahkan, kini politik menjadi akar segala problematika umat yang sedang mendera umat saat ini. Yaitu, akibat tidak adanya kekuasaan Islam yakni khilafah tersebut, pasca diruntuhkannya khilafah yang berpusat di Turki pada tanggal 3 Maret 1924 Masehi oleh kafir penjajah inggris melalui agennya seorang Yahudi yang bernama mustafa kamal Atatürk laknatullahi ‘alaihi hingga Islam pun dicampakkan.
Dan umat Islam pun kian merintih kesakitan tercabik-cabik pecah berkeping-keping, menjadi lebih dari 50 negara kecil-kecil. Yang sangat lemah, dalam bentuk negara bangsa (nation state). Dengan paham sempit nan sesatnya nasionalisme yang kufur, warisan penjajah kafir barat.
Ketiadaan khilafah, artinya hilangnya hukum-hukum dan peraturan syariah Islam dalam kehidupan umat. Yang menimbulkan hilangnya tatanan kehidupan yang Islami, yaitu hilangnya uqubah, tidak diterapkanya sistem politik Islam atau sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, sistem pergaulan Islam atau sistem sosial dan budaya Islam. Dan tidak bisa pula diterapkannya sistem jaminan pelayanan kesehatan dalam Islam, sistem hukum Islam, sistem peradilan dan persanksian Islam, sistem pertahanan dan keamanan Islam.
Oleh karena itu, Imam al-Ghazali rahimahullah, dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, beliau mengatakan: “Tidak sempurna suatu agama tanpa dunia. Baik pemerintahan maupun agama, keduanya berdiri saling melengkapi. Agama merupakan fondasi, sementara pemimpin (imam/sulthan/penguasa/khalifah) adalah perawatnya. Segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan mudah roboh.
Demikian pula, sesuatu yang memiliki fondasi namun tanpa ada yang merawat/menjaganya maka akan berlangsung sia-sia. Tidak akan berlangsung normal, suatu pemerintahan (kekuasaan/negara) dan peraturan tanpa keberadaan seorang pemimpin (imam/sultan/khalifah). Dan cara satu-satunya penegakan peraturan dalam suatu pemerintahan tidak ada jalan lain melainkan dengan fiqih (ilmu hukum/tsaqafah Islam) siyasah (perihal politik/pemerintahan/ketatanegaraan Islam).” [17]
Dalam hal ini juga, Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibn Taimiyyah rahimahullah. Dalam kitabnya Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah, Majmu’ al-Fatâwa, pun beliau menjelaskan:
“Sesungguhnya tugas mengatur dan mengelola (mengurusi) urusan orang banyak (dalam sebuah pemerintahan dan negara), adalah termasuk kewajiban agama yang paling agung. Hal itu disebabkan oleh tidak mungkinnya agama dapat tegak dengan kokoh tanpa adanya dukungan negara.” [18]
Bahkan, Syaikh Dr. Muhammad Dhiauddin Rais, dalam kitabnya an-Nadzhariyatu as-Siyasatu al-Islamiyah (Teori Politik Islam). Beliau menegaskan:
“Sistem yang dibangun oleh Rasulullah ﷺ dan kaum Mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah -jika dilihat dari segi praktis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern- tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence (terbaik di antara yang lain). Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena, hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat.” [19]
Oleh karena itulah, sesungguhnya perkara kekuasaan/pemerintahan/negara (politik/siyasah) bukanlah urusan dunia (yang sifatnya perkara teknis) belaka. Namun, juga itu pun masuk pula urusan agama Islam kita, yaitu masuk wilayah perkara ibadah ghairu mahdhah (mu’amalah), dan perkara akhirat kita juga sekaligus perkara surga dan neraka alias itu pun semua perkara yang lahir dari tauhid/akidah dan syariah.
Dan Islam agama kita ini, sangatlah sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk urusan dunia. Bahkan, termasuk pula Islam pun mengatur urusan negara (kekuasaan/pemerintahan/politik) itu sendiri.
Sebab, Islam adalah agama (dien: ideologi/sistem) yang diturunkan oleh Allah subḥānahu wa taʿālā kepada Nabi Muhammad ﷺ, untuk mengatur hubungan manusia dengan Al-Khaliq (Allah subḥānahu wa taʿālā Sang Maha Pencipta) atau hablun minallâh, mencakup perkara: akidah dan ibadah. Mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablun minannafsiy), mencakup perkara: makanan, minuman, pakaian dan akhlaq. Dan mengatur hubungan manusia dengan sesamanya atau mu’amalah (hablun minannâs), mencakup perkara: politik, ekonomi, sosial-budaya, pergaulan pria-wanita, pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan.
Allah subḥānahu wa taʿālā telah berfirman:
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Maidah [5]: 03)
Dengan kata lain, Islam adalah akidah ruhiyah (akidah spritual: keimanan dan ibadah mahdhah), dan sekaligus juga sebagai akidah siyasiyah.
Islam sebagai akidah siyasiyah (akidah politik/ideologi [mabda’]), maksudnya adalah akidah dan ideologi [mabda] yang mengatur dan mengurusi segala urusan kehidupan. Tidak hanya mengatur dan mengurusi keimanan dan ibadah mahdhah saja. Namun, juga mengurusi dan mengatur makanan, minuman, pakaian dan akhlaq. Serta pula mengatur dan mengurusi ibadah ghairu mahdhah atau mu’amalah seperti: politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dan seterusnya tersebut.
_Khatimah_
Jadi, dalam Islam benar-benar perkara politik adalah sangat vital, perkara pahala dan dosa, serta perkara surga dan neraka. Sebab, ini menyangkut perkara keberlangsungan Islam. Juga menyangkut perkara hidup dan matinya umat Islam serta umat manusia.
Dan juga, ini menyangkut demi tegaknya kalimat tauhidullah yang agung dan tegaknya Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Dan dalam pengurusan segala urusan umat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan hukum-hukum Islam (syariah). Sekaligus dalam menyebarluaskan risalah Islam ke segala penjuru alam.
Disinilah pula salah satu urgensi pentingnya kita umat Islam itu harus melek politik dan cerdas politik. Dan sangat pentingnya pula berjuang secara politik dan juga intelektual, dalam dakwah mengikuti thariqah dakwah Rasulullah ﷺ dalam menegakkan kembali institusi politik Islam, yakni khilafah.
Karena, substansi khilafah adalah politik langit yang berpijak atau berlandaskan wahyu Allah (al-Qur’an dan as-sunnah) atau politik ilahiyah yaitu, penerapan syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan dan persatuan umat Islam (ukhuwwah al-Islamiyyah). Serta pengurusan segala urusan umat dan penjagaan umat, dengan syariah Islam secara kaffah. Serta syiar dakwah Islam dan jihad Islam ke segala penjuru alam.
Dan hukum memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Melalui penegakkan kembali institusi politik khilafah Islam tersebut. Adalah wajib (fardhu) bagi seluruh umat Islam, apapun madzhab dan harakah dakwahnya.
Oleh karena itulah, sangat wajar dan logis bila politik itu bisa menjadi pahala terbesar. Jika berpijak atau berasaskan pada tuntunan wahyu Allah dan rasul-Nya. Atau bila berpijak/berasaskan/berlandaskan akidah tauhid Islam dan sistem Islam atau ideologi (mabda) Islam.
Namun, justru sebaliknya pun sangat wajar dan logis, bila juga politik bisa menjadi dosa terbesar dan puncaknya dosa. Jika tidak berpijak atau tidak berasaskan pada tuntunan wahyu Allah dan rasul-Nya. Atau bila tidak berlandaskan akidah tauhid Islam dan sistem Islam atau ideologi (mabda) Islam tersebut.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Sumber: Zakariya al-Bantany
Catatan Kaki:
1. HR. Bukhari, No. 4789.
2. MD. Riyan, Political Quotient, hal. 21.
3. Kamus Internasional Populer, Karya Anda, Surabaya.
4. Dasar-dasar Ilmu Politik (2008: 13-15),
5. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzhamu al-Hukmi fil Islam.
6. Wikipedia (www.wikipedia.com).
7. Abdul Qadim Zallum, Afkaar Siyaasah, Daarul Ummah.
8. MD. Riyan, Political Quotient, hal. 22-26.
9. Samih ‘Athif, As-Siyâsah wa As-Siyâsah Ad-Duwaliyyah (1987)
10. Muhammad Qal’aji, Mu’jamu Lughatil Fuqaha.
11. Al-Islam, No. 823/21 Dzulhijjah 1437 H/23 September 2016.
12. HR. Muslim, No. 1842.
13. HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Hakim. Dia berkata, “Berdasarkan syarat dua kitab Shahih [Bukhari dan Muslim].
HR. Abu Daud, No. 4607, At-Tirmidzi, No. 2676, Ibnu Majah, No. 42. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini shahih. Lihat: Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, No. 37.
14. Musnad Ahmad, No. 17680.
15. Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî.
16. HR. Abu Dawud, No. 4607.
17. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Kairo: Maktabah asy-Syuruq ad-Daulaiyah, 2010, 1/27.
18. Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah, Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah, Majmu’ al-Fatâwa, 28/390.
19. Syaikh Dr. Muhammad Dhiauddin Rais, dalam kitabnya An-Nadzhariyatu As-Siyasatu Al-Islamiyah (Teori Politik Islam), hal. 4.