Potret Buruk APBN di Negara Kita
MUSTANIR.net – APBN 2019 dibuat masih dengan asumsi pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5 persen dan tingkat inflasi 4 persen. Nilai tukar rupiah terhadap dolar dipatok Rp 14.000. Harga minyak diproyeksikan masih US$45 perbarel sebagaimana tahun lalu. Target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yang sebesar Rp2.165,1 triliun. Belanja negara ditargetkan Rp 2.461,1 triliun. Dengan demikian, defisit mencapai Rp 276 triliun.
Sektor perpajakan masih menjadi sumber penerimaan utama dengan porsi sekitar 86 persen dari total penerimaan atau meningkat dari 10 tahun yang lalu yang masih 66 persen. Ini menunjukkan semakin bergantungnya Pemerintah pada rakyatnya. Berbagai strategi dilakukan untuk memperbanyak jumlah wajib pajak selain memperkaya jenis-jenis pungutan kepada rakyat baik dalam bentuk pajak maupun retribusi.
2 tahun lalu, Pemerintah sempat optimis mendapatkan penerimaan pajak dari tax amnesty dan intensifikasi penerimaan dari sumber-sumber yang selama ini belum tergali nyatanya tidak sesuai dengan harapan. Penerimaan tarif tebusan tax amnesty.
Meskipun Pemerintah terus menggali sumber penerimaan pajak baru termasuk dari wajib pajak baru yang terjaring dalam tax amnesty, pada saat yang sama Pemerintah juga memberikan berbagai insentif pajak untuk meningkatkan iklim investasi di negara ini. Beberapa contoh insentif tersebut seperti menanggung pajak untuk investor di sektor energi panas bumi dan Pajak Pertambahan Nilai bagi investor yang membeli obligasi valas Pemerintah. Pada tahun 2015, pajak yang ditanggung Pemerintah untuk dua hal itu mencapai Rp 8,5 triliun.
Melemahnya peran negara dalam mencari sumber pendapatan dari selain pajak terlihat dari terus turunnya porsi penerimaan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) baik dari sumberdaya alam dan laba BUMN. Itu pun porsinya terus menyusut sejalan dengan makin rendahnya kontrol Pemerintah pada sumber-sumber penerimaan tersebut selain harga sumberdaya alam yang sedang turun. Apalagi harga komoditas seperti minyak bumi dan batubara dalam beberapa tahun terakhir merosot tajam. Tahun depan penerimaan dari sumberdaya alam hanya dianggarkan Rp 80 triliun, lebih rendah dari tahun yang mencapai Rp90 triliun. Adapun pendapatan laba BUMN naik dari Rp 34 triliun menjadi Rp 38 triliun.
Meningkatnya hasrat Pemerintah untuk berbelanja terutama untuk infrastruktur dan jauh melampaui pendapatan membuat defisit kian besar. Pada tahun 2017, defisit dipatok pada angka Rp 200an triliun. Akibatnya, anggaran untuk membiayai bunga utang meningkat tajam.
Menariknya, strategi penarikan utang Pemerintah telah bergeser dari bertumpu pada utang luar negeri yang berasal dari negara atau lembaga multinasional beralih ke sumber pembiayaan obligasi. Dengan demikian, jika sebelumnya Pemerintah lebih banyak berutang kepada negara atau institusi seperti Bank Dunia dan ADB, maka saat ini Pemerintah semakin bergantung kepada investor di pasar modal baik asing maupun domestik. Memang tidak banyaak risiko yang terkait dengan klausul yang harus dipenuhi seperti pada utang luar negeri. Namun, risiko dari pembiayaan obligasi terletak pada bunganya yang mengambang. Jika kondisi ekonomi memburuk seperti inflasi tinggi ataupun nilai tukar rupiah melemah, investor melalui mekanisme pasar akan meminta suku bunga yang lebih tinggi. Dalam kondisi ini Pemerintah tentu tak bisa mengelak. Jika tak mampu membayar dapat dikategorikan default alias bangkrut seperti yang menimpa Yunani. Kondisi ini membuat beban yang ditanggung oleh negara menjadi semakin besar. Selain membiayai defisit, sebagian digunakan untuk membiayai utang yang jatuh tempo. Agar lebih menarik, tahun depan pajak atas pendapatan bunga obligasi cukup besar, akan dihapus. Alhasil, para investor tak hanya dinganjar suku bunga, namun juga bebas pajak
Potret politik anggaran Pemerintah negara ini jika ditinjau dari sisi dampak bagi kesejahteraan rakyat tentu masih jauh dari optimal. Meskipun demikian, persoalan mendasar bukan semata pada tidak efektif dan efisiennnya pengelolaan anggaran. Bagi sebagian orang persoalan ini bisa diselesaikan dengan memperbaiki kualitas penerimaan dan belanja agar menjadi lebih efektif sembari meminimalkan kebocoran terutama akibat korupsi. Seiring dengan waktu Indonesia akan menjadi seperti negara-negara maju di dunia ini yang juga menggunakan model APBN yang serupa.
Namun, jika persoalannya dilihat dari kacamata akidah Islam, sejatinya pengelolaan APBN saat ini sudah melenceng jauh dan melecehkan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Penyusunan APBN murni didasarkan pada sistem Kapitalisme yang prinsipnya memisahkan peran Islam dalam pengelolaan negara termasuk dalam penyusunan APBN. Buktinya amat banyak, seperti menggantungkan penerimaan negara dari pajak meskipun menyusahkan rakyat; membiayai defisit dengan utang ribawi dengan bunga ratusan triliun dan klausul yang merugikan negara; menyerahkan pengelolaan sumberdaya alam kepada asing dan puas dengan royalti minim; menyediakan infrastruktur publik yang dikelola dengan pendekatan bisnis; mengabaikan hak-hak sebagian penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak; mengkomersilkan layanan pendidikan; mengalihkan sebagian besar tanggung jawab pembiayaan kesehatan kepada rakyat lewat BPJS; dan sebagainya. Hal-hal demikian tentu saja berseberangan dengan ketentuan Islam yang telah qathi hukumnya di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Alhasil, penyusunan APBN dengan dasar sistem Kapitalisme terbukti tidak hanya menzalimi rakyat banyak, namun juga telah melecehkan banyak ketentuan yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, selain terus menjaga kedudukan sumber hukum tersebut agar tetap mulia, pada saat yang sama isi kandungannya pun wajib dimuliakan dengan cara menerapkannnya secara paripurna.[]
Oleh: Yuli Sarwanto (Direktur FAKTA)