Kita Tidak Hidup di Ruang Hampa
MUSTANIR.net – Assalāmuʿalaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh.
Seorang gadis yang memutuskan untuk tidak lagi mengenakan hijab bukanlah perkara luar biasa. Setiap harinya, ada cukup banyak orang membuat keputusan yang sama, sebagaimana setiap harinya pula ada banyak perempuan yang membuat keputusan sebaliknya.
Yang mungkin membuatnya agak spesial adalah ketika perbuatan melepas hijab itu diumumkan secara terbuka sehingga menjadi konsumsi publik. Jika hal itu diumumkan melalui akun pribadi dengan jumlah follower melampaui 1 juta orang, maka terlalu naif jika berasumsi bahwa publik hanya akan diam saja dan tidak memberikan tanggapan. Bukankah media sosial memang merupakan tempat bagi setiap orang untuk bebas menyampaikan opininya kepada dunia?
Kewajiban bagi seorang Muslimah untuk mengenakan hijab adalah bab yang sudah lama mapan. Artinya, para ulama telah memberikan penjelasan tentang ini dengan sanad yang terus tersambung hingga belasan abad lampau, dan kesimpulannya sudah lama diketahui. Kalau sekadar ingin mencari pendapat nyeleneh, tentu ada saja yang bisa dikutip.
Seorang pemikir liberal dari Suriah, yaitu Muhammad Syahrur, sebagai contoh, pernah mengajukan sebuah pandangan kontroversialnya seputar aurat perempuan. Menurut Syahrur, aurat perempuan yang sama sekali tidak boleh diperlihatkan itu hanya sebatas bagian di antara dua payudara, bagian bawah payudara, bagian bawah ketiak, kemaluan, dan lubang anusnya. Syahrur juga merumuskan batas aurat maksimal perempuan, yaitu seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan wajahnya. Pandangan Syahrur yang sudah pasti tidak diamini ulama mana pun sejak Rasulullah ﷺ menyampaikan risalahnya 14 abad yang lalu.
Dengan kata lain, jika hendak menerima pendapat ini, maka seluruh ulama sepanjang masa 14 abad sebelum kedatangan Syahrur ini harus diasumsikan salah semuanya. Ini mengingatkan kita pada komentar Dr. Syamsuddin Arif tentang kaum orientalis yang diikuti oleh kalangan intelektual diabolis yang suka mencari-cari pendapat nyeleneh di tengah-tengah umat Muslim, kemudian bersikap seolah-olah pendapat nyeleneh itu dapat berdiri sejajar dengan pandangan-pandangan dari para alim ulama yang otoritatif dalam bidangnya.
Mudah untuk dipahami mengapa pandangan Syahrur dapat segera diamini oleh kalangan feminis. Hanya saja, kalaupun ada feminis yang mendukung, yakinlah bahwa pasti ada juga yang akan menentang. Hal itu disebabkan karena feminisme itu sendiri memiliki berbagai penafsiran yang masing-masingnya saling berselisih pendapat.
Pandangan Syahrur tentang aurat, misalnya, tetap saja dapat dipahami sebagai pembatasan bagi kaum perempuan, yang sudah pasti sangat bertentangan dengan prinsip “my body, my rights” yang kerap digaungkan belakangan ini. Seorang feminis radikal yang taat pada ideologinya sendiri juga dapat langsung mencampakkan teori Syahrur hanya karena Syahrur adalah seorang lelaki, dan karenanya, tak mungkin berbicara dari perspektif perempuan.
Dalam ungkapannya di media sosial, sang gadis yang memutuskan untuk melepas hijab tadi mengimplikasikan bahwa dirinya tidak menutup pintu sepenuhnya untuk berhijab. Hanya saja, “…Jika pun aku berkerudung lagi, itu harus datang dari pencarian keyakinan oleh diriku sendiri, bukan oleh permintaan lingkungan atau orang lain. Ijinkan aku memulai perjalanan pencarian ini dengan caraku sendiri” (garis bawah dan warna merah adalah penekanan yang diberikan dalam teks aslinya—pen.).
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penulisnya menganggap bahwa keputusannya untuk mengenakan hijab selama ini bukan berdasarkan keyakinannya sendiri, melainkan karena permintaan dari orang lain. Di sini bertemulah kita dengan sebuah pola yang sering digunakan oleh kaum sekuler atau yang anti-agama untuk mempropagandakan pandangannya bahwa agama adalah sebuah dogma, dan manusia hanya beriman karena didoktrin oleh pihak-pihak lain, misalnya keluarga.
Dalam sebuah acara debat di salah satu stasiun TV swasta bertahun-tahun silam, seorang tokoh Islam liberal telah mengumandangkan keyakinannya: “Saya adalah orang Indonesia yang kebetulan Muslim, bukan Muslim yang kebetulan lahir di Indonesia.” Menurutnya, beragama hanya perkara ‘kebetulan’; orang beragama Islam karena dibesarkan dalam keluarga Muslim, demikian juga beragama yang lain hanya karena kebetulan dibesarkan dalam lingkungan agama itu.
Sebagaimana doktrin-doktrin Islam liberal lainnya, yang satu ini juga tidak terlalu sulit dibantah. Kalau hendak disimpulkan bahwa manusia beragama hanya karena pengaruh keluarganya, lantas bagaimana halnya dengan orang-orang yang berpindah agama? Saya pribadi biasanya akan merespon komentar di atas dengan cara yang tidak terlalu serius. Pada kenyataannya, setiap manusia yang lahir itu sudah diakui sebagai hamba Allah subḥānahu wa taʿālā, sedangkan negara baru mengetahui kelahiran seseorang setelah akte kelahirannya dibuat.
Yang hendak digarisbawahi di sini adalah ketidakjujuran kaum sekuler dan anti-agama yang mengesankan seolah-olah agama adalah hasil doktrinasi, sedangkan sekularisme, anti-teisme dan berbagai isme-isme lainnya itu turun dari langit. Maka orang beragama diasumsikan bodoh, sedangkan yang sekuler, ateis atau sekadar nyeleneh dianggap kritis. Padahal, manusia tidak lahir dari ruang hampa, dan juga tidak hidup di ruang hampa.
Seorang Marxis, misalnya, tidak bisa dikatakan memilih Marxisme tanpa pengaruh siapa pun, sementara ia berkumpul bersama sesama Marxis dan rutin berdiskusi secara intens dengan mereka di sekretariat organisasinya, atau bahkan secara sadar mengikuti kaderisasinya. Dengan menyebut diri sebagai Marxis pun sebenarnya ia sudah tak bisa menafikan adanya pengaruh orang lain terhadap dirinya, minimal pengaruh Karl Marx.
Di sebuah kampus perguruan tinggi Islam, dalam sebuah forum tanya jawab, saya pernah bertanya balik kepada seorang mahasiswa yang mengaku sebagai pendukung Islam liberal. Saya bertanya kepadanya apakah dia pernah membaca buku-buku karya Prof. HM Rasyidi, Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Dr. Adian Husaini, atau Prof. M Naqīb al-ʿAṭṭās; semuanya dijawab tidak pernah. Saya sampaikan kepadanya bahwa saya bisa mengerti mengapa ia menjadi penganut Islam liberal, yakni karena tidak pernah membaca karya-karya pembanding, alias yang ditulis oleh para pengkritiknya.
Jika Anda tak pernah membaca kritik-kritik Prof. HM Rasjidi, maka wajar saja jika Anda mengira bahwa pendapat Harun Nasution itu benar semua. Kalau tak pernah membaca tulisan-tulisan Dr. Adian Husaini, maka wajar bila Anda mengira pemikiran Islam liberal itu bagaikan wahyu yang tak mungkin dikritisi. Jika Anda belum membaca satu pun tulisan Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, wajar jika Anda berdelusi mengira bahwa representasi pemikiran Gontor adalah Nurcholish Madjid. Dan jika Anda bahkan tak pernah mendengar nama Prof. M Naqīb al-ʿAṭṭās, dapat dimaklumi jika Anda masih bermakmum kepada kaum orientalis dalam memahami ajaran agama Anda sendiri.
Seorang mahasiswa yang mendaftarkan diri untuk berkuliah di perguruan tinggi Islam setelah menamatkan pendidikannya di pesantren atau madrasah tidak tiba-tiba saja menjadi praktisi Islam liberal, melainkan setelah menjalani indoktrinasi sekian jam atau SKS. Selama masa kaderisasi yang intens itu, tentu saja mereka tak diperbolehkan mengkaji pandangan-pandangan lain, agar semakin kuat imannya terhadap liberalisme. Dari sanalah lahirnya “mari kita dzikir bersama, anjinghu akbar!”, “indahnya kawin sesama jenis”, “energi keshalihan dan energi kemaksiatan harus diberi tempat, agar tidak tercecer di sembarang tempat”, dan narasi-narasi menyedihkan lainnya.
Sebagaimana yang sudah disebutkan di awal tulisan, seorang gadis yang memutuskan untuk tidak mengenakan hijab lagi adalah perkara biasa. Di luar sana, sudah umum pula kita jumpai gadis-gadis yang tadinya tak berhijab kemudian memutuskan untuk mengenakan hijab. Sebagian di antara yang melepaskan hijab itu pun ada yang di kemudian hari bertaubat dan mengenakan hijabnya lagi.
Bermaksiat itu biasa, dan bertaubat itu sebenarnya lebih mudah. Hanya saja, janganlah bermaksiat kemudian mengatakan bahwa Anda telah melakukannya murni karena keyakinan sendiri, sedangkan ketaatan orang lain hanyalah hasil indoktrinasi.
Orang-orang yang berada di lingkaran terdekat, tokoh-tokoh yang Anda follow di dunia maya, situs-situs yang Anda baca, buku-buku yang Anda jadikan rujukan, semuanya memberikan pengaruh pada keputusan yang Anda buat.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sekaligus, Rasulullah ﷺ menggambarkan pengaruh pertemanan itu dengan interaksi seseorang dengan penjual minyak wangi dan pandai besi. Orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dapat mengharap kecipratan wanginya, sedangkan yang bergaul dengan pandai besi berisiko terkena percikan api dari pekerjaannya.
Sekiranya masih ada secercah iman dalam hati, baiklah kita bertanya kepada diri sendiri, “Dengan siapakah saya hendak berteman? Dengan orang-orang yang mencintai agama ini, ataukah dengan yang berpura-pura mengimaninya, atau bahkan dengan yang terang-terangan memusuhinya?”
Dunia maya itu pun, meski disebut maya, juga bukan ruang hampa, melainkan penuh dengan hiruk-pikuk pendapat manusia. Pendapat saya, Anda dan kita semua, adalah sebagian kecil yang turut meramaikannya. Kalau Allah subḥānahu wa taʿālā mengamanahi kita dengan jumlah follower yang banyak, maka bijak-bijaklah dalam bersikap, sebab apa yang kita katakan akan memberikan pengaruh kepada orang lain. Akan menjadi penjual minyak wangi atau pandai besi, keduanya adalah jalan yang bisa kita pilih, dengan konsekuensi yang sudah pula kita ketahui.
Wassalāmuʿalaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh. []
Sumber: Dr. Akmal Sjafril, ST, M.Pd.I