Salahkah Takut dengan Virus Corona?
MUSTANIR.net – Rasa takut pada manusia secara umum bisa dibagi menjadi dua macam,
Pertama: Rasa takut yang disertai aksi menjauh
Kedua: Rasa takut yang disertai aksi mendekat
Rasa takut jenis pertama adalah rasa takut alami (الخَوْفُ الطَّبِيْعِيُّ). Allah sendiri yang meletakkannya pada manusia untuk menjaga dirinya dari kebinasaan. Contoh takut jenis ini misalnya: takut terhadap singa karena kuatir ia akan memangsa, takut api membakar, takut tenggelam, takut listrik menyengat sampai mati, takut racun sianida, takut ditangkap karena akan dihukum bunuh, dan lain-lain. Takut jenis ini efeknya sama semua, yakni membuat orang lari dari yang ditakuti dan berusaha menyelamatkan diri. Dalam dalil, rasa takut seperti ini kadang diungkapkan dengan lafal khouf (الخَوْفُ), faza’ (الفزع), ru’bun (الرعب), dan lain-lain.
Takut jenis ini tidak tercela, tidak haram, dan sama sekali tidak bertentangan dengan iman apalagi tauhid. Dalil yang menunjukkan jenis takut seperti ini termasuk takut yang tidak tercela dan tidak perlu dihilangkan adalah ayat berikut ini,
Artinya, “Beliau (Nabi Musa) pun keluar dari kota dalam keadaan takut dan menanti” (Al-Qoshosh; 21)
Dalam ayat di atas, Allah mengisahkan nabi Musa yang takut terhadap Fir’aun dan tentaranya. Alasan ketakutan nabi Musa adalah karena beliau sebelumnya meninju orang Mesir sampai mati. Nabi Musa takut ditangkap Fir’aun kemudian dihukum bunuh misalnya.
Rasa takut yang dialami nabi Musa dalam ayat ini diceritakan tanpa ada celaan sedikitpun. Oleh karena itu ayat ini adalah dalil jelas bahwa rasa takut natural pada manusia itu bukan perbuatan dosa, tidak tercela, tidak perlu dihilangkan, apalagi bertentangan dengan tauhid.
Adapun rasa takut jenis kedua, rasa takut itu bukan semata-mata rasa takut tetapi disertai dengan mahabbah (cinta), ihtirom (penghormatan), ta’zhim (pengagungan), tadzallul (menghinakan diri), khudhu’ (ketundukan). Rasa takut seperti ini disebut dengan takut penghambaan (خَوْفُ العِبَادَةِ). Contoh takut seperti ini adalah takut terhadap keris, akik, jimat, kuburan, pohon ‘keramat’, tempat ‘suci’, dan lain-lain. Rasa takut seperti ini bukan malah membuat orang lari yang ditakuti, tetapi justru malah membuatnya mendekat, membuatkan berbagai sesajen, membuat upacara kurban, memuliakan dan lain-lain karena ingin ‘membujuk hatinya’ supaya tidak marah dan tidak menimpakan bencana yang dikuatirkannya.
Rasa takut seperti ini dalam dalil kadang disebut dengan lafaz khosy-yah (الخشية), rohbah (الرهبة), wajal (الوجل), khouful maqom (خوف المقام), khouful wa’id (خوف الوعيد), isyfaq (الإشفاق), dan lain-lain.
Rasa takut seperti ini hanya boleh untuk Allah dan haram dipersembahkan untuk selain Allah. Barang siapa yang takut kepada selain Allah disertai pengagungan, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, bahkan bisa jadi syirik akbar.
Dalil yang menunjukkan bahwa rasa takut jenis ini hanya boleh dipersembahkan untuk Allah di antaranya adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Kepada-Ku, takutlah kalian” (Al-Baqoroh; 40)
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita supaya takut kepadaNya dan diungkapkan dengan lafaz rohbah. Makna rohbah kata Ibnu Katsir adalah khosy-yah, artinya rasa takut disertai dengan pengagungan. Jadi ayat ini menunjukkan rasa takut yang sifatnya mengagungkan itu hanya boleh untuk Allah, dan haram dipersembahkan kepada selain-Nya.
Berdasarkan penjelasan ini bisa dipahami bahwa takut terhadap virus Corona/2019 Novel Coronavirus adalah rasa takut alami, natural, wajar dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak perlu dibenturkan dengan iman apalagi dikatakan menentang tauhid. Rasa takut seperti itu bermanfaat karena bisa mendorong orang waspada, mencegah bencana umum, memblokir wabah, dan meneliti pengembangan vaksin.
Rasa takut seperti itu adalah rasa takut alami yang bahkan diperintahkan Rasulullah ﷺ dalam kondisi tertentu. Ada hadis yang mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan supaya kita menjauhi dan lari dari orang yang terkena penyakit kusta/lepra seperti kita lari dari bahaya singa. Ini adalah rasa takut yang bermanfaat, terpuji, menjaga diri dan bahkan menjadi prinsip isolasi, lockdown, dan karantina di dunia kedokteran. Al-Bukhari meriwayatkan,
Artinya,
“Larilah dari penderita lepra/kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR Al-Bukhari)
Rasulullah ﷺ juga pernah menolak bersalaman (dalam baiat) dengan orang yang terkena penyakit kusta/lepra. Seandainya penolakan berinteraksi dengan orang sakit berbahaya itu bertentangan dengan iman, tawakkal dan tauhid, niscaya Rasulullah ﷺ tidak perlu kuatir tertular lepra ketika bersalaman dengan mereka. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari ‘Amr bin Asy Syarid dari bapaknya dia berkata: “Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai’at Rasulullah ﷺ) terdapat seorang laki-laki berpenyakit kusta/lepra. Rasulullah ﷺ pun mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: “Kami telah menerima bai’at Anda. Karena itu Anda boleh pulang.” (HR Muslim)
Takut natural tidak perlu dihilangkan. Takut alami terhadap sesuatu yang berbahaya justru diperlukan manusia agar waspada, bijaksana/wise, menjalankan hukum sebab akibat, mengembangkan ilmu sains, mengembangkan politik dan cara mengurus rakyat dengan baik, kreatif menciptakan sarana untuk melindungi manusia, dan semua hikmah baik lainnya. Bahkan, bisa dikatakan, Allah menciptakan rasa takut alami terhadap sesuatu yang membahayakan manusia adalah sebagai salah satu sarana untuk menguji amalnya.
Sumber: Ustaz Mokhamad Rohma Rozikin, Pengasuh Pesantren Irtaqi, Malang, Jatim