Sekolahkan ke Pondok, Doktor Muda Peneliti Harvard Ini Ingin Anaknya Hafal Qur’an
Pembaca, tak banyak warga Indonesia yang bisa mengenyam pendidikan tinggi, bahkan hingga menjadi Doktor, atau bahkan mengambil Post Doktoral, meneliti pada satu institusi sebeken Harvard. Walaupun ada, mungkin kita akan menemukan pada sosok Ibu satu anak ini.
Sidrotun Naim, Ph. D, perempuan berusia 35 tahun asli Sukoharjo ini merupakan satu dari sekian orang yang berhasil menyelesaikan pendidikannya hingga jenjang Doktor. Lulusan Biologi ITB (masuk tahun 1997) ini melanjutkan Masternya bidang Maritim di Universitas Queensland Australia. Saat masa kuliahnya di Australia, Naim – panggilan akrab Sidrotun Naim- menikah dengan Dedi Priadi (Fisika ITB), dan tahun 2006melahirkan putra semata wayangnya Elhurr di Bandung. Sempat ditolak mengajar di almamaternya, Naim akhirnya mengajar anak-anak SMA di Bandung.
Tapi kita tak akan membahas panjang tentang riwayat wanita yang entah sudah berapa banyak penghargaan yang ia dapat. Pembaca dapat membaca perjalanan hidup Naim dalam Tabloid Alhikmah Edisi Desember 2014 dengan headline ‘Inspiring Muslimah’, pada artikel ‘Saintis Muslimah Kelas Dunia Asli Indonesia’.
Singkat cerita, Naim meneliti tentang penyakit udang di Amerika, Universitas Arizona., dan merampugnkan program Doktornya plus bonus dua gelar Master di Universitas Arizona. Lepas S3, Naim pun melanjutkan program Post Doktoralnya di Harvard Medical School, tentang penyakit udang.
Yang menarik, peraih tiga gelar Master, dan Doktor, peraih penghargaan Prince of Asturias Award, UNESCO, L’oreal, juga peneliti pada Post Doktoral Harvard Medical School ini rupanya memasukkan anak semata wayangnya Elhurr ke Sekolah Quran, di depan penjara Sukamiskin Bandung. Ditemui Alhikmahsepotong November silam, di kediamannya bilangan Kiara Condong Bandung, Naim tampak asyik sedang mengetes Elhurr surat Al Fajr.
“Yaa..ayyatuhannafsul muth’mainnah…” kata Naim dalam rumah yang baru ia tiggali lagi setelah ditinggalkan selama lima tahun.
“Irji’i..Ilaa Rabbiki..kata Elhur mengeja dengan suara bocah khas. “Rodiatammardhiyyah..” tambah Naim.
“Fadkhuli fii ibadi..Wadkhuli jannati..” Elhurr dan Naim berbarengan.
“Tadi Elhurr habis lomba hafidz cilik di Pusdai,” kata Naim kepada Alhikmah.co. dengan logat khas Jawanya. Diakui Naim, bahwa ia terinspirasi dari kakeknya yang merupakan seorang hafidz Quran.’Berkah’ hafal Quran kakek Naim menular kepada ayahnya, yang merupakan guru agama di Sukaharjo, dan mengular pada 11 anaknya, termasuk Naim, putri ke-7 dari 11 bersaudara.
“Saya perhatikan, saya ini dididik dari kecil dengan perhatian ketat dan pendidikan agama. Ibu saya Ibu rumah tangga. Ketika kecil itu karakter terbentuk. Karenanya, saya nggak bisa jauh-jauh dari sana. Kadang pernah mau menyimpang, juga bandel, tapi akhirnya balik lagi ke situ, karena pangggilannya ke situ,” kenang Naim.
Dengan adanya panggilan ‘yang sulit diungkapkan’, akhirnya Naim memutuskan anaknya untuk menjadi seorang penghafal Quran. “Saya seperti ingin mengembalikan ke kakek lagi. Saya bilang, Nak, banyak orang dihormati karena sekolahnya tinggi, jabatannya tinggi. Bagi saya yang paling tinggi itu yang membawa Qur’an bersama dirinya,” tegas Naim.
“Masalah nanti ingin jadi musisi, teknokrat, ilmuwan itu hal yang selanjutnya. Orang yang patut mendapatkan penghormatan, khususnya di dunia Islam ialah orang yang bersama Quran, hafal Quran,” kata Naim. Diakuinya juga, Naim memasukkan anaknya ke Sekolah Quran untuk ‘menggeber’ kembali hafalan anaknya yang sempat hilang karena sekolah di Public Shchool di Amerka.
“Waktu di sana, TKnya saya masukkan ke Islamic School. Anak saya kata orang sana dideteksi memiliki kecerdasan lebih. Bagusnya memang dipakai menghafal Quran. Di sana Islamic School mahal, tapi Alhamdulillah, Allah kasih rezeki,” kenang Naim yang berjuang bersama suaminya Dedi Priadi di Arizona menyekolahkan anaknya.
(Sidrotun Naim bersama Elhurr dan Dedi Priadi, suaminya)
Lulus TK, karena Public School di AS gratis, Naim memasukkan anaknya ke sana. “Kekecewaan saya, hafalannya akhirnya tidak terjaga. Dan saat pulang ke sini, kebetulan ada programnya (red_SD Quran target hafal 30 Juz), tahun ini juga. Juga anaknya memang mau, dan juga kebetulan ada rezekinya. Semuanya serba kebetulan,” kata Naim sambil tersenyum.
Dengan masuknya Elhurr ke SD Quran, kawan-kawan Naim ada yang bertanya, ‘Mengapa enggak ke Sekolah Interasonal’ atau sekolah lain mengingat orang tuanya yang jebolan Amerika, bahkan peneliti Harvard.
“Ya enggaklah, jawab saya. Ya itu tadi, saya merasa bahwa itu gimana. Alhamdulillah di Indonesia juga sedang tren. Saya tidak silau dengan apa yang namanya pendidikan internasional, namun pada prakteknya pendidikan agamanya sangat terbatas,” pungkas Naim.
Bagi Naim, pendidikan ialah perjalanan menghamba kepada sang Maha, membuat agar seorang makhluk semakin mendekat kepada sang Pencipta. Bahwa ia bekal untuk kembali kelak, begitu yang dikisahkan Naim dalam tulisan ‘Saintis Muslimah Kelas Dunia Asli Indonesia’ pada Tabloid Alhikmah Edisi Inspiring Muslimah, Desember 2014.