Strategi dan Aplikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Strategi dan Aplikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Mengapa Harus Diislamisasi?

Islamisasi ilmu pengetahuan modern didasarkan pada kenyataan bahwa, epistemologi ilmu pengetahuan modern (baca: Barat) tidak dibangun di atas wahyu. Tetapi dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular. Meminjam istilah Seyyed Hossein Nasr, ilmu pengetahuan modern kehilangan ‘jejak’ Tuhan. Inilah yang disebut ‘sains sekular’. Dengan hilangnya nilai ketuhanan dalam bangunan ilmu pengetahuan, maka ilmu pengetahuan mengalami problem epistemologis-aksiologis.

Hossein Nasr menyebut epistemologi sekular sebagai bencana ilmu. Epistemologi empirisisme, yang mendominasi horizon manusia Barat dizaman modern ini, telah mereduksi realitas dunia pada pengalaman kepada indera saja. Di luar indera, tidak dapat disebut ilmu. Jadi, ilmu modern telah membatasi makna realitas, bahwa realitas itu hanya pada aspek fisik saja dan menghilangkan konsep realitas Tuhan. Konsekuensi dari perubahan dalam makna realitas ini adalah bencana.  Yakni, ilmu meninggalkan Tuhan[1].

Alam menurut Nasr digambarkan oleh Barat secara mekanistis seperti mesin dan jam, sehingga bisa ditentukan dan diprediksikan secara mutlak-yang menggiring kepada munculnya masyarakat industri modern dan kapitalisme. Gambaran itu menunjukkan alam adalah bebas nilai, bahkan bebas Tuhan. Berjalan sendiri secara mekanis tanpa ada kuasa Tuhan untuk mengaturnya.

Hilangnya makna ketuhanan dalam ilmu pengetahuan itu disebut oleh Isma’il Raji al-Faruqi sebagai faktor penyebab mundurnya umat Islam. Ia menyatakan, akar dari kemunduran umat Islam dalam berbagai dimensi karena dualisme sistem pendidikan. Dan mengatasi dualisme sistem pendidikan inilah yang merupakan tugas terbesar kaum Muslimin pada abad ke-15 H. Pada satu sisi, sistem pendidikan Islam mengalami penyempitan dalam pemaknaannya dalam berbagai dimensi, sedangkan pada sisi yang lain, pendidikan sekular sangat mewarnai pemikiran kaum Muslimin.

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan akibat dari penerimaan ilmu Barat sekuler adalah hilangnya Adab, (desacralization of knowledge). Hilangnya Adab berimplikasi pada hilangnya sikap adil dan kebingunan intelektual (intellectual confusion). Kebingunan intelektual itu contoh misalnya; ketidak-mampuan seseorang membedakan antara ilmu yang benar dan yang salah dan keliru menempatkan ilmu serta menghilangkan otoritas[2].

Pandangan-pandangan sekularis dan empiris menyebabkan kesimpulan tentang konsep alam selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Sebab, fikiran sudah terpaku bahwa realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata ini yang dianggap satu-satunya realitas. Sehingga cara berfikir dan metodologi ilmu sekular menghegemoni tidak saja dalam kerja akademik, bahkan berpengaruh pula pada setiap lini kehidupan manusia. Kehidupan mengutamakan materialis, malas belajar ilmu-ilmu syariah, dan mencukupkan diri pada ilmu-ilmu ‘duniawi’.

Pengislaman ilmu juga didasarkan pada pandangan bahwa, ilmu pengetahuan tidak netral. Ilmu pengetahuan modern tidaklah bebas nilai (netral), sebab ia dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Metodologi ilmu Barat diasaskan oleh falsafah hidup ilmuan Barat tentang alam dan pengalaman manusia Barat dalam berinteraksi dengan sains dan agama. Sebagaimana sudah maklum, Barat gagal mendamaikan antara sains dan agama Kristen. Keduanya, berhadapan tidak saling bertemu. Fatwa agama sering berseberangan dengan temuan sains dan mereka gagal menemukan jembatan untuk mempertemukannya. Maka, pandangan hidup saintis Barat menjadi sekular, anti-agama.

Atas dasar itulah maka, pengislaman ilmu pengetahuan tentu saja semestinya melalui langkah-langkah epistemologis. Islamisasi dapat dimaknai, pembebasan jiwa fikir manusia dari belenggu kultur dan falsafah sekular dalam kerja-kerja ilmiah. Atas dasar ini, pengislaman dengan metode justifikasi (labelisasi) sains dengan ayat-ayat al-Qur’an tidak merekomendasikan untuk mengoreksi falsafah sains sekuler. Sedangkan, langkah epistemologis yang berupa pengislaman pandangan hidup, meniscayakan kritik dan koreks terhadap sains sekular.

Meski begitu, metode melabeli sains dengan ayat-ayat al-Qur’an, dapat diapresiasi dengan arti, metode tersebut merupakan salah satu langkah awal. Namun, tidak pula metode ini diambil seratus persen. Sebab, secara filosofis, sains modern tetap harus dikoreks, bukan dicarikan dalilnya dalam al-Qur’an untuk mencocokan fenomena sains dengan ayat al-Qur’an. Dalam konteks ini, ayat al-Qur’an merupakan kitab petunjuk untuk mendorong ilmuan mengoreksi sains-sains yang sekuler.

Para ilmuan-ilmuan Muslim terdahulu terdorong untuk melakukan kajian-kajian serius tentang alam setelah menelaah statemen-statemen dasar dalam al-Qur’an yang berisi informasi awal tentang alam. Misalnya, semulanya para ilmuan menentukan waktu shalat dengan menggunakan ilmu falak, dari situ lalu berkembang dan terinspirasi untuk meneliti secara mendalam dunia astronomi, meneliti gerak planet dan menciptakan alat meneropong bintang. Ketika al-Qur’an menginfromasi proses terjadinya manusia dalam rahim, ilmuan Muslim tidak berhenti pada kajian makna ayat tentang proses kejadian manusia, namun menelaah lebih jauh sehingga berkembanglah ilmu kedokteran yang canggih, ilmu bedah dan ilmu biologi.

Bagaimana Mengislamkan Ilmu?

Secara epistemologis, ontologis, etika dan budaya, Islam memiliki perbedaan dengan pandangan hidup sekular. Al-Attas menyebut, perbedaan ini merupakan wacana serius yang harus direspon secara intelektual. Karena itu, proyek Islamisasi tentu saja merupakan proyek intelektual yang harus dimulai dari sistem universitas Islam yang unggul[3]. Ia mengatakan alasannya:

Sebuah universitas Islam memiliki struktur yang berbeda dari universitas Bara, konsep ilmu yang berbeda dari apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, dan tujuan dan aspirasi yang berbeda dari konsepsi Barat. Tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah membentuk ‘manusia sempurna’ atau ‘manusia universal’…Seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, melainkan seorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan”[4].

Secara fundamental, Islamisasi ilmu pengetahuan harus dengan mengembalikan pandangan metafisika dasar Islam ke dalam ilmu, membangun framework-epistemik sebagai metodologi, internalisasi adab dan konsep-konsep dasar Islam ke dalam ilmu pengetahuan[5].

Wilayah islamisasi masuk pada ruang kajian epistemologis dengan membangun framework Islam sebagai kerangka dasar pendekatan studi sains. Sebelum itu, dilakukan koreksi dan seleksi konsep-konsep dasar sekular dalam fikiran manusia. Setelah nilai-nilai sekular dibuang, maka ada dua langkah dasar yang harus dilakukan. Pertama, membangun framework studi berdasarkan pandangan alam Islam, Kedua, memasukkan konsep-konsep asasi Islam ke dalam subjek ilmu pengetahuan.

Al-Attas menjelaskan proses yang pertama, islamisasi adalah pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu faham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya[6].

Di sinilah, seorang ilmuan Muslim harus mempelajari peradaban Barat. Terutama pandangan hidup Barat serta fislafat-filsafat yang berkembang. Ilmu ini dipelajari untuk mengetahui sisi-sisi kelemahan metodologi Barat dalam studi. Penjelasan Syed al-Attas mengarahkan pada ilmuan Muslim bahwa ilmu sekular harus dikritisi dari sisi falsafah dasar dan pandangan alamnya. Sebab,  setiap terminologi teknis ilmu Barat mengandung kultur dan pandangan alam Barat.

Ilmuan Muslim harus mengisoliir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang terbentuk oleh budaya dan peradaban Barat, dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Namun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasiteori-teori.

Kalangan yang menolak islamisasi ilmu pengetahuan ternyata berpangkal dari kesalah fahaman dari sini. Bahwa, ilmu dan terminologi kunci dalam ilmu tidak mengandung unsur-unsur peradaban Barat. Mereka menolak adanya penafsiran-penafsiran sekular dalam ilmu. Namun, asumsi ini tidak terbukti. Sebab, sudah jamak diketahui bahwa metode positvisitik sangat sekular. Sebab, jelas August Comte menepikan agama dalam metodologi ilmu pengetahuan. Bahkan, membuangnya sebagai sesuatu yang tidak ilmiah.

Konsep-konsep kunci dalam peradaban Barat tersebut harus diteliti dengan cermat lalu dikumpulkan untuk dianalisis. Dari situlah, ilmuan Muslim harus kritis. Seleksi konsep-konsep kunci ini memerlukan perangkat ilmu-ilmu keislaman. Sebab, ilmu-ilmu alat Islam menjadi media untuk menentukan mana yang harus diseleksi, maka yang tidak perlu.

Proses tersebut dapat disingkat sebagai berikut, menguji secara kritis;

1)             Metode-metode ilmu modern;

2)             Konsep-konsepnya,

3)             Teori-teorinya, dan simbol-simbolnya;

4)             Aspek-aspek empiris dan rasional, dan aspek-aspek yang bersinggungan dengan nilai dan etika;

5)             Teorinya tentang alam semesta;

6)             Interpretasinya tentang asal-usul Alam; Rasionalitas proses-proses alam.

7)             Pemikirannya tentang eksistensi dunia nyata,

8)             Klassifikasinya tentang ilmu; batasan-batasannya dan kaitannya antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu lain, dan hubungan sosialnya.

Langkah berikutnya adalah, memasukan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Konsep-konsep dasar Islam itu diantaranya adalah ; Konsep Tuhan, konsep din, konsep manusia (insan), konsep ilmu (ilm danma’rifah), konsep keadilan (‘adl), konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dan semua istilah dan konsep yang berhubungan dengan itu semua, konsep tentang universitas (kulliyah, jami’ah) yang berfungsi sebagai bentuk implementasi semua konsep-konsep itu dan menjadi model sistim pendidikan[7].

Konsep-konsep di atas adalah konsep umum dan dasar. Setiap subjek ilmu sains setidaknya diinternalisasi oleh konsep dasar tersebut. Namun, setiap subjek dapat mengembangkan lagi sesuai dengan teori ilmu sains tertentu. Ilmu ekonomi misalnya, dapat ditambah lagi dengan misalnya, konsep uang dalam Islam, konsep pembangunan, konsep kesejahteraan, konsep kaya dan lain sebagainya. Begitu pula ilmu-ilmu yang lain. Dari sini diperlukan seorang ilmuan yang ahli sains sekaligus ahli syariah.

Hal penting lainnya adalah membangun framework studi yang berdasarkan pandangan hidup Islam. Hal ini terutama dalam studi Islam. Hamid Fahmy Zarkasyi mengatakan alasan kenapa ilmu Muslim harus memiliki framework studi sendiri; menurutnya, kajian Barat (orientalis) tidak berdasarkan keimanan sehingga tidak selalu dapat bersikap adil. Artinya, ketika mengkaji Islam mereka tidak dapat memahami dan meletakkan suatu konsep dalam tradisi intelektual Islam sebagai bagian dari struktur konsep yang tercermin dalam pandangan hidup Islam. Konsep ilmu yang dalam Islam berdimensi iman dan amal, misalnya, difahami hanya sebagai ilmu dan diperoleh hanya dengan rasio. Karena kehilangan dimensi iman maka ilmu tidak lagi berguna dan berkaitan dengan taqarrub kepada Allah. Sehingga ilmu tidak berhubungan dengan amal[8].

Hal ini bisa dimengerti karena, cara pandang Barat dan orientalis sendiri sudah tentu diwarnai oleh bias-bias cultural, politik, tradisi dan kepercayaan[9]. Pandangan hidup Barat yang terkenal dengan doktrin dualisme, dan dikotomisme mengakibatkan pandangan Barat menjadi parsial dalam memandang ilmu dan Islam. Kajian-kajian dalam bidang syariah tidak berkaitan dengan akidah, kajian akidah tidak dikaitkan dengan akhlak, dan lain sebagainya. Wajah kajian ini bersifat dualistis; normative atau historis, tekstual atau kontekstual, literal atau liberal.

Maka kita dapat menciptakan metode kita sendiri sesuai dengan konteks-permasalahan kita sebagai orang Islam tanpa terlalu terikat dengan, atau meniru, metode sains Barat.

Sebagai pendekatan awal, yang sifatnya integratif, maka studi ilmu ushuluddin sudah semestinya menjadi mata kuliah wajib pada tiap-tiap jurusan, baik sains alam maupun sains sosial. Tema-tema pembahasan akan didasarkan pada interaksi iman dengan manusia secara individu, peranan iman sebagai penggerak kekuatan manusia, peningkatan produktivitas manusia dan pencetus terwujudnya masyarakat yang berperadaban. Pendekatan yang integrative juga misa memasukkan materi-materi syariah dalam ilmu ekonomi, sosiologi dan psikologi.



[1] Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, New York, SUNY Press, 1993. hal. 20.

[2] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Secularism and the Philosophy of the Future, London, Mansell, 1985. hal. 104 –

[3] Wan Mohd Nor Wan Daud,Islamization of Contemporary Knowledge and the Role of the University in the Context of De-Westernization and Decolonization,Johor Baru-Malaysia: 2013, UTM-CASIS, hal. 17

[4] Wan Mohd Nor Wan Daud,Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M Naquib al-Attas,Bandung-Mizan,2003, hal.206

[5] Wan Mohd Nor Wan Daud,Islamization of Contemporary Knowledge and the Role of the University in the Context of De-Westernization and Decolonization, hal. 19

[6] Syed M.N. al-Attas, Islam and Secularisme, hal.42-43

[7] Syed M.N. al-Attas,Prolegomena to the Metaphysics of Islam,Kuala Lumpur: ISTAC,1995, hal. 114

[8] Hamid Fahmy Zarkasyi dan Mohd. Fauzi Hamat,Metodologi Pengkajian Islam Pengalaman Indonesia-Malaysia,ISID Gontor-Universiti Malaya Malaysia: 2008, hal. VIII

[9] Lihat Edward Said, Orientalism Vintage, New York, 1979, 1-3

SUMBER

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories