Stunting dan Ketimpangan Gender Refleksi Kesenjangan Sektor Kesehatan
Bayi stunting di NTB (Foto: detik)
Oleh: Fotarisman, PhD
dari AISSR, University of Amsterdam; pendiri Perkamen
MUSTANIR.COM, Jakarta – Kementerian Kesehatan beberapa waktu yang lalu meluncurkan hasil-hasil utama Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018). Salah satu isi pentingnya adalah tentang kondisi tinggi badan anak usia di bawah lima tahun (balita) dan anak usia di bawah dua tahun (baduta). Bagaimana potretnya?
Tinggi badan yang kurang dari tinggi ideal dibandingkan dengan umurnya atau yang lebih dikenal sebagai stunting ternyata masih sangat tinggi persentasenya. Jika pada 2013 persentase balita sangat pendek dan pendek adalah sebesar 37,2 persen (2013), setara dengan 9 juta balita, maka jumlahnya menurun dengan laju yang tidak terlalu memuaskan yaitu hanya menjadi 30,8 persen pada 2018, setara dengan sekitar 7 juta balita. Itu angka yang sangat banyak. Artinya, dari 100 balita masih ada sekitar 30 balita yang memiliki tinggi badan tak sesuai umurnya.
Sementara itu, baduta yang stunting pada 2018 ini mencapai angka 29,9 persen secara nasional. Dengan menggunakan dua indikator tersebut, yaitu stunting pada balita dan pada baduta, maka dapat disimpulkan bahwa antara usia dua tahun menuju lima tahun hanya ada kurang dari 1 persen saja baduta yang kondisi tinggi badannya yang kemudian membaik. Sisanya tetap stunting bahkan sampai mereka dewasa.
Kesenjangan
Keadaan yang memprihatinkan tersebut memang tidak merata di seluruh Indonesia. Untuk stunting balita, dari 34 provinsi yang disurvei pada 2018, sebanyak 18 provinsi berada di atas rata-rata nasional dengan range antara 17,7 persen (DKI Jakarta) sampai dengan 42,6 persen (NTT). Sementara, untuk baduta, range-nya dalam kisaran 15-an persen (DKI Jakarta) sampai dengan 37-an persen (Aceh).
Ini merefleksikan kesenjangan pembangunan sektor kesehatan khususnya di dalam program penanggulangan stunting sendiri. Maka, penurunan angka stunting pun dicapai dengan kecepatan yang berbeda-beda oleh masing-masing provinsi. Pada kelompok provinsi yang angka stunting-nya di bawah rata-rata nasional, Lampung, Papua Barat dan Sulawesi Tenggara mencatatkan penurunan yang cukup drastis. Sementara itu, Maluku Utara, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan NTB juga mencatat penurunan drastis, meski besaran angka stunting-nya masih di atas rata-rata nasional.
Kondisi stunting mencerminkan asupan gizi pada periode usia seorang anak. Dengan demikian, persentase sebesar 30,8 persen stunting pada 2018 itu merupakan luaran dari kebijakan kesehatan lima tahun terakhir sampai dengan sekarang, termasuk di antaranya dalam periode empat tahun pemerintahan Jokowi-JK.
Memang terdapat banyak faktor yang erat kaitannya dengan status gizi balita. Pemerintah tahu itu. Tak heran jika Kementerian Kesehatan menyalurkan program PMT (Pemberian Makanan Tambahan). Kemudian, kampanye 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK) pun diluncurkan. Puskesmas juga diberikan pekerjaan untuk memantau pertumbuhan gizi anak balita. Tapi, faktanya semua pekerjaan tersebut “hanya” mampu berkontribusi menurunkan stunting sebesar 7 persen saja dalam lima tahun terakhir. Padahal upaya tersebut telah menyedot APBN yang tidak sedikit.
Aspek Gender
Apa sudut pandang lain yang kurang diperhatikan? Salah satu aspek yang kurang diperhatikan adalah pada upaya untuk meningkatkan kesetaraan gender. Mengapa gender? Karena seorang bayi/balita biasanya berada di tangan perempuan, yaitu ibunya. Maka, stunting jelas sekali berhubungan sangat erat dengan kondisi seorang ibu, terutama dalam masa kehamilan sampai dengan masa lima tahun pertama anaknya.
Bayangkan kondisi yang terjadi selama ini. Seorang ibu yang sedang hamil tentunya butuh makanan dengan gizi yang cukup. Ibu tersebut juga butuh diedukasi mengenai makanan apa yang penting untuk dikonsumsi. Ia pun harus memahami bahwa ia harus rajin memeriksakan kesehatannya ke fasilitas kesehatan. Ibu hamil tersebut juga harus memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat, mendapatkan keseimbangan fisik dan spiritual.
Lalu, jika ibu tersebut bersalin, maka ia harus mendapatkan layanan kesehatan yang baik dan memenuhi standar kebersihan. Ia pun harus mengerti dan mampu melaksanakan praktik memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya, serta memberikan makanan tambahan yang bergizi sesuai dengan waktunya. Ditambah lagi si ibu harus rajin membawa anaknya ke posyandu dan memantau pertumbuhan anaknya.
Semua aktivitas di atas adalah aktivitas yang harus dilaksanakan secara paripurna oleh seorang ibu. Syaratnya, ibu tersebut harus memiliki kemampuan untuk melakukannya karena ia bisa mengambil keputusan atas hal itu. Itulah konsep kesetaraan gender dalam persoalan stunting ini.
Sayangnya, yang terjadi pada ibu justru sering sebaliknya. Perempuan sering tak mendapatkan makanan bergizi. Perempuan hamil malah sering makan seadanya karena makanan yang terbaik di rumah tangga adalah untuk laki-laki. Di perdesaan, banyak ibu hamil justru makan makanan terakhir yang masih ada, karena mereka menghormati laki-laki sehingga harus dilayani terlebih dahulu.
Di banyak tempat di negeri ini, tak jarang kita melihat ibu hamil bekerja 24 jam sehari. Mereka tak bisa beristirahat. Pekerjaan rumah menumpuk. Usia kehamilannya juga muda. Sementara, suami masih bisa keluyuran dan bermain bersama dengan teman-temannya. Ibu hamil bahkan sering tak punya waktu memeriksaan kesehatannya. Mereka tak memperoleh uluran tangan pertolongan dari suaminya. Suami enggan membantu karena menganggap urusan rumah tangga adalah urusannya perempuan.
Maka, tak heran sekitar separuh (49 persen) dari ibu hamil di Indonesia saat ini mengalami anemia, meningkat dari kondisi 2013 yang hanya 37 persen. Itu fakta Riskesdas 2018 juga. Rasanya miris. Seharusnya perempuan atau ibu hamil menjadi titik poin utama untuk mencegah terjadinya stunting. Nyatanya tidak. Sejak dari masa kehamilan sekalipun, ibu-ibu di Indonesia justru sudah mempersiapkan generasi stunting!
Kondisi ini diperberat ketika ibu selesai melahirkan. Banyak ibu di perdesaan segera bekerja beberapa hari setelah melahirkan, karena mitos yang banyak berkembang menyatakan jika ibu beristirahat terlalu lama maka ia adalah pemalas. Maka ibu pun melewatkan masa-masa penting menjaga dan memelihara bayinya, termasuk mengabaikan asupan ASI.
Di Indonesia, seiring dengan bertambahnya usia bayi, semakin sedikit ibu yang memberikan ASI saja kepada bayinya itu dalam periode enam bulan pertama. Ibu yang sibuk bekerja, suami yang tidak mendukung istri, pengaruh susu formula yang ironisnya justru banyak diperkenalkan oleh tenaga kesehatan, menyebabkan kondisi kesehatan bayi pun tak optimal. Kebutuhan intake zat gizi tak sesuai, maka tinggi badannya tak seimbang dengan usianya.
Jadi, alih-alih berdampak, program penanggulangan stunting pada level keluarga sebagaimana digaung-gaungkankan oleh pemerintah selama lima tahun ini seolah sia-sia. Benar bahwa dalam lima tahun ini terjadi penurunan kemiskinan, yang sering diidentikkan dengan perbaikan gizi. Benar dalam lima tahun terakhir Kemenkes telah bekerja keras menaikkan kualitas layanan kesehatan untuk ibu hamil dan bersalin. Nyatanya, dampaknya pada stunting sangat tidak memuaskan.
Kemiskinan memang menurun, tetapi balita stunting masih tetap tinggi. Salah satu sebabnya itu tadi, karena meskipun (jika) pendapatan membaik, perempuan belum mampu menjadi penerima manfaatnya akibat ketidaksetaraan gender dalam keluarga. Stunting dapat dicegah dari hulu, jika kesetaraan gender terwujud. Stunting dapat dicegah, jika perempuan memiliki hak, kesempatan, dan otoritas untuk menjadi perempuan yang sehat, mandiri, dan mampu melaksanakan kewajibannya sebagai ibu kepada anak yang dikandungnya, dan ibu yang memberikan gizi terbaik kepada bayinya.
Lima tahun telah berlalu dan stunting di Indonesia masih menjadi persoalan serius. Adakah kandidat calon presiden dan wakil presiden yang menyuarakan hal ini? Lima tahun lagi, komitmen pada kesetaraan gender akan terlihat salah satunya dari angka stunting kita kala itu. Untuk lima tahun ini, maaf, pemerintah tampaknya kurang greget. []
(detik.com/11/12/18)