Alegori Kapal Orang Bodoh, Kritik Plato Terhadap Demokrasi
MUSTANIR.net – Kenapa saat ini demokrasi seolah menjadi kebenaran tunggal? Tolok ukur kebaikan sebuah negara diukur sejauh mana demokrasi itu diterapkan. Semakin demokratis sebuah negara, maka semakin baiklah sistem negara tersebut.
Memang saat ini demokrasi mungkin satu-satunya sistem yang mampu mengantarkan siapa saja bisa duduk pada tampuk kekuasaan. Lewat pemilu, suksesi kepemimpinan digulirkan setiap lima tahun (tergantung kesepakatan). Lewat saluran pemilu ini, aspirasi seluruh warga negara disalurkan.
Walaupun menjamin setiap orang bertarung untuk duduk pada tampuk kekuasaan, tapi justru di sinilah sebenarnya letak problem yang dihadapi dalam sistem demokrasi. Demokrasi tidak bisa memfilter orang, sistem ini tidak bisa mencegah orang yang tidak kompeten untuk ikut berkompetisi. Karena menang atau kalah dihitung lewat suara terbanyak.
Maka tidak heran, Plato pernah mengkritik demokrasi dalam alegori ‘Kapal Orang Bodoh’. Dalam kisahnya, Plato menggambarkan bagaimana kapal yang diisi oleh orang-orang bodoh. Maka mereka menunjuk nahkoda yang bodoh juga. Padahal ada satu orang di kapal tersebut yang memiliki kemampuan untuk menavigasi kapal. Karena nahkoda yang tidak kompeten, akibatnya kapal berlayar tanpa arah dan tujuan.
Gambaran Plato tepat sekali dan bisa kita temui di masa kekinian. Persoalan di beberapa negara yang menganut demokrasi adalah orang yang terpilih terkadang bukan orang yang komepeten. Ini wajar karena mereka terpilih karena suara mayoritas.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana ketika mayoritas ini adalah orang-orang berpendidikan rendah. Sebagaimana kita ketahui, penduduk negeri ini mayoritas berpendidikan rendah, hanya lulusan SD dan SMP.
Otomatis ketika ada kontestasi pemilihan pemimpin, maka yang akan memenangkan kontestasi adalah orang-orang yang mampu meraup suara dari mayoritas yang berpendidikan rendah tersebut. Karena yang dihitung bukan kualitas namun kuantitas.
Jadi, orang yang akan menang adalah mereka yang mempunyai popularitas. Masalahnya adalah, popularitas tidak selalu identik dengan kapabilitas. Akhirnya para calon pemimpin akan berlomba-lomba untuk mendapatkan popularitas, bukan meningkatkan kualitas dan kapabilitas.
Kemudian, orang-orang bodoh ini akan terus dikapitalisasi oleh para kontestan untuk meraup sebanyak-banyaknya suara. Karena tentunya mereka sangat mudah untuk dibujuk dan diiming-imingi uang atau keuntungan ekonomi lainnya. Di sinilah yang menjadi pintu masuk para pemodal besar mengendalikan kekuasaan.
Kalau ini sudah terjadi, maka “loe punya duit, loe punya kuasa”. Jargon kemakmuran dan keadilan akan sulit terwujud. Karena demokrasi transaksional hanya akan membuat kerusakan dan kesengsaraan yang tidak berkesudahan.
Inilah sebenarnya kritik Plato dalam alegori ‘Kapal Orang Bodoh’-nya. Bahwa ketika kita memberikan kesempatan kepada orang-orang bodoh untuk memilih pemimpin, maka mereka cenderung memilih yang sama dengan mereka. Maka tidak heran, para penguasa yang terpilih akan melestarikan kebodohan agar mereka tetap berkuasa dan melanggengkan kekuasaannya. []
Sumber: Ni’mat al-Azizi