Antara Agama yang Candu dan Sufisme yang Negatif

Antara Agama yang Candu dan Sufisme yang Negatif

Oleh: Adjih Mubarok (Mahasiswa Magister Pasca Sarjana Hukum Bisnis Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Karl Marx, seorang tokoh pemikir Barat yang terkenal dengan Das Kapitalnya, mengungkapkan bahwa agama adalah candu masyarakat, karena agama, masyarakat menjadi tidak maju dan bersikap rasional. (Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius 2006)

Alasan Marx memandang agama sebagai candu, yakni karena agama dimanfaatkan oleh kelas penguasa untuk memberikan harapan palsu bagi kelas buruh, tetapi di lain pihak, ia juga memandangnya sebagai bentuk protes kelas buruh terhadap keadaan ekonomi mereka yang buruk.(Raines, John. 2002. “Introduction”. Marx on Religion (Marx, Karl). Philadelphia: Temple University Press).

Maksudnya adalah bahwa setiap persoalan buruk yang menimpa masyarakat, masyarakat tidak mau berpikir rasional dan mengembalikan semuanya kepada “ini semua takdir Tuhan”, “semua akan lebih baik dengan Tuhan” dsb. Bukan menganggap persoalan buruk yang menimpa masyarakat sebagai persoalan yang seharusnya diperbaiki secara rasional dan sesuai fakta.

Apapun persoalan buruk yang menimpa, kemudian lari kepada Tuhan untuk mengadu, tanpa melakukan upaya rasional yang dapat mengentaskan mereka dari “takdir yang buruk” menuju “takdir yang baik”. Inilah agama yang disebut Karl Marx sebagai candu. Dan Ujung-ujungnya, Marx menolak keberadaan agama seutuhnya.(https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1905/SosialismeDanAgama.htm)

Kita bisa sedikit memahami keresahan Marx ini dari sisi rasionalitas kita sebagai umumnya manusia yang memiliki akal untuk berpikir. Umumnya manusia yang rasional, jelas akan merasa muak dengan orang-orang yang menjadikan agama sebagai tempat pelarian persoalan buruk, nasib buruk, takdir buruk, tanpa memiliki upaya yang searah dalam perbaikan. Ini adalah candu yang harus dijauhi, menurut Marx. Bahkan membuang agama adalah pilihan terbaik.

Saya meyakini bahwa persoalan semacam ini pun menghampiri kaum muslimin. Pemahaman umat Islam yang ‘pasrah’ terhadap nasib buruk, takdir buruk dan sebagainya adalah persoalan yang bisa kita serupakan dengan keadaan masyarakat di masa Marx. Nasib buruk dan takdir buruk yang menimpa kaum muslimin, seutuhnya disikapi dengan pasrah dan lari kepada Tuhan semata, tanpa didorong juga perbuatan rasional untuk berubah dari nasib buruk dan takdir buruk tersebut. Lantas apa bedanya kita dengan masyarakatnya Marx?

Kita meyakini Islam adalah agama yang benar, selain Islam semua salah. Kita meyakini bahwa perkataan Marx mengenai agama candu adalah keliru, dan Islam adalah agama yang rasional. Kita meyakini bahwa Islam adalah cahaya dari keterpurukan nasib dan takdir, yang searah dengan rasionalitas manusia, untuk menjadikan nasib dan takdir menjadi lebih baik.

Sufisme, adalah salah satu cara beragama dalam Islam. Kita bisa menyadari bahwa sufisme muncul akibat pertikaian yang muncul ditengah kaum muslimin. Pertikaian antar umat Islam karena faktor politik dan perebutan kekuasaan dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Yang kemudian muncullah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Hingga akhirnya mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah, yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu muncullah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashri pada abad kedua Hijriyah. (Solihin, M. Anwar, M Rosyid. Akhlak Tasawuf (Bandung: Nuansa 2005) hlm. 177)

Gerakan sufisme ini banyak lahir dari ketidakpuasan mereka terhadap hingar-bingar masalah keduniaan. Yang kemudian menjadi jalan pelarian bagi mereka yang bernasib buruk, bertakdir buruk dan sejenisnya dengan bersikap menjauhi sepenuhnya kepada urusan keduniaan. Lari kepada Tuhan adalah jalan terbaik untuk melupakan urusan keduniawian. Ini hampir sama dengan keadaan masyarakat dimana Marx hidup, bukan?

Dalam Islam sebenarnya bukanlah hal buruk jika seorang muslim memiliki masalah kemudian lari kepada Allah untuk beribadah dan mengadu. Ini merupakan sebuah perintah agama. Akan tetapi ibadah dan aduan semacam ini kemudian tidak jarang dibarengi dengan sikap apatis terhadap persoalan dunia yang di hadapi. Hanya mencukupkan diri pada sikap pasrah tanpa mencari jalan keluar secara rasional dari masalah yang dihadapi.

Ini baru satu urusan dirinya, belum lagi jika dibenturkan dengan persoalan kaum muslimin yang lebih besar dan lebih banyak, jika solusinya hanya diserahkan kepada doa dan aduan, apakah akan selesai urusan tersebut? Jelas cara tersebut tidak sejalan dengan Sunatullah dan rasionalitas. Contohnya adalah persoalan rizki. Kita sudah memahami bahwa rizki sudah Allah jaminkan untuk semua hamba-Nya, akan tetapi secara Sunatullah dan rasionalitas, kita tentu harus bekerja untuk mendapatkan rizki tersebut. Bukan hanya mencukupkan dalam doa dan mengadu saja. Doa itu penting, ikhtiar pun juga sama pentingnya.

Sufisme dapat kita pandang secara negatif dan positif. Sufisme dipandang secara negatif jika sufisme menjadi penghalang baginya untuk bisa berpikir rasional terhadap permasalahan yang ada. Menyerahkan persoalan buruk hanya kepada doa dan mengadu tanpa ada upaya nyata untuk merubah persoalan tersebut. Ini jelas cara beragama yang salah.

Ini tak ubahnya seperti masyarakat Barat pada masa ketertindasan mereka dahulu, hingga Marx menyebut masyarakat menjadikan agama sebagai candu. Ini jelas beracun. Mendewakan sikap pasrah dan menyerahkan kepada Tuhan semata. Mencukupkan diri dari persoalan dunia yang tak pernah surut, dan melarikan kepada agama semata. Ini benih dari Sekulerisme, sebuah sikap apatis yang memisahkan persoalan agama dan keduniaan. Ternyata fenomena semacam ini menggejala di tengah kaum muslimin saat ini.

Sufisme sebenarnya dapat kita pandang juga secara positif ketika sufisme menjadi solusi untuk permasalahan dunia dan akhirat secara seiring sejalan. Al Ghazali (w. 505 H) sebagai seorang guru sufisme, adalah contoh dari penyebar sufisme yang positif. Pembebasan Al Quds, Palestina dimasa Shalahuddin Al-Ayyubi (583 H), jika kita telusuri, sufisme Al Ghazali memiliki pengaruh besar di dalamnya. Menjadikan semangat sufisme untuk membebaskan Al Quds dan juga memerangi Akidah Kafir Trinitas para Pasukan Salib. Inilah sufisme yang positif.

Sufisme yang positif seharusnyalah yang ada pada diri kaum muslimin. Sehingga mencari solusi dari masalahnya sendiri seperti urusan rizki, hingga urusan kaum muslimin yang lebih besar, seperti mengakhiri penindasan kaum muslimin di seluruh dunia, akan dengan mudah diatasi. Yang tidak mencukupkan diri dengan berdoa dan mengadu saja.

Kembali kepada judul diatas, sebagai seorang muslim yang rasional, ketundukkan kita kepada Syariat adalah diatas ketundukan kita kepada yang lainnya. Ketika terjadi persoalan seperti nasib buruk atau takdir buruk, tentu saja kita tidak melarikan diri kepada agama dan meninggalkan nasib buruk atau takdir buruk di belakang, tanpa berupaya mencari solusi yang Islami.

Melarikan diri dari nasib buruk atau takdir buruk adalah merupakan sikap kemunduran, irasional dan tidak Islami. Islam dan Syariat-Nya merupakan solusi yang diberikan Allah untuk manusia dan segala permasalahannya, maka carilah solusi atas setiap permasalahan dengan mengembalikan kepada Islam dan Syariat-Nya. Inilah jalan yang Islami. Ini adalah jalan beragama (baca: sufisme) yang positif dan layak untuk kita terapkan.

Wallahu a’lam.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories