Ar Rayah Al Mansiyah: Panji Islam, Panji Kemuliaan

Ar Rayah Al Mansiyah: Panji Islam, Panji Kemuliaan

MUSTANIR.COMBagi umat Islam tentu tidak asing dengan kisah Perang Ar Royah (Bendera), bukan? Perang hebat yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang Allah muliakan. Adalah Muhammad bin Abi Amir (326 H – 392 H) atau yang dikenal saat memimpin dengan sebutan Al Hajib Al Manshur. Pemimpin Andalus terbesar dan terhebat. Disebut oleh para ahli sejarah, hanya Abdurrahman An Nashir yang yang mampu menyaingi kehebatan kepemimpinanannya di Andalus pada masa itu.

Sebelum beliau -Al Hajib Al Manshur- menjadi pemimpin hebat, beliau adalah seorang Hammar (yaitu yang menyewakan keledai untuk mengangkut barang di pasar) dan tinggal di rumah sewa bersama teman-teman seprofesinya di pojok kota Cordova, ibukota Andalus. Tetapi ada satu hal yang membedakan dirinya dan teman-temannya adalah setelah penat bekerja seharian sebagai Hammar, beliau pergi ke masjid raya Cordova untuk duduk bersama para ahli ilmu. Begitulah beliau jalani hari-harinya hingga menjadi ahli ilmu. Dan ilmu serta imanlah yang mengangkat seseorang di dunia dan di akhirat.

Dengan bergulirnya cerita, beliau meniti karir sebagai polisi hingga menjadi kepala polisi Andalus, kemudian menjadi pengawal pemimpin Andalus sampai pada akhirnya resmi menjadi pemimpin tertinggi Andalus. Masyaallah, bagaimana Allah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu.

Saat beliau memimpin, ilmu, iman dan jihad menjadi karakteristiknya dalam kepemimpinan. Dalam sejarah, beliau sering memimpin sendiri jihad melawan musuh Allah. Hingga begitu dekat dan merakyat. Maka tak heran jika kepemimpinannya adalah kebesaran. Di tangan pemimpin seperti inilah, musuh Islam sangat segan dan takut kepada kekuatan muslimin. Muslimin masuk ke benak mereka sebagai sebuah kekuatan yang begitu hebat yang tidak mungkin ditandingi oleh musuh-musuh Islam ketika umat Islam memegang teguh agamanya dengan gigi geraham.

Suatu saat pasukan muslimin memasuki wilayah masyarakat kafir. Kebiasaan pasukan muslimin saat memasuki wilayah perang, mereka menancapkan bendera di tempat yang tinggi. Dan bendera itu akan dicabut saat mereka meninggalkan wilayah tersebut. Maka pasukan pun menancapkan bendera-bendera di bukit-bukit dan di tempat yang tinggi.

Muslimin mencoba memasuki wilayah itu tanpa ada perlawanan apapun. Dan ternyata benteng-benteng tersebut telah kosong. Tak ada satupun penghuninya. Para penghuni telah kabur, karena mendengar pasukan muslimin mau datang ke wilayah mereka. Mereka berpencar ke lembah-lembah di sekitarnya.

Karena tak ada penghuni, pasukan muslimin pun meninggalkan wilayah tersebut. Bendera-bendera dicabuti. Tapi seorang tentara muslim lupa mencabut sebuah bendera yang ditancapkan di bukit.

Para penghuni wilayah tersebut mengawasi terus wilayah mereka itu. Walaupun pasukan muslimin telah meninggalkan wilayah mereka beberapa hari yang lalu, tapi mereka tak kunjung kembali ke rumah-rumah mereka. Apa pasalnya? Ternyata lantaran bendera yang tak sengaja tertinggal itu. Mereka menduga bahwa pasukan muslimin masih ada di benteng-benteng mereka, dengan bukti sebuah bendera yang tertinggal di puncak bukit.

Begitulah keadaan berlangsung berhari-hari. Hingga mereka yakin bahwa muslimin telah pergi dan akhirnya mereka mengetahui bahwa ternyata itu hanya bendera yang tertinggal.

Panji Islam, Panji Kemuliaan

Di dalam Islam, bendera memiliki kedudukan yang sangat tinggi nan mulia baik di dalam diri umat Islam sendiri maupun di hadapan dunia. Dahulu di masa Rasulullah saw dan sepanjang kekhilafahan, bendera ini selalu dipasang berkibar dengan wibawanya di dalam negeri, dalam setiap peperangan dan ekspedisi militer.

Di masa Nabi Muhammad saw, panji dan bendera memiliki kedudukan yang sangat mulia. Sebab di dalamnya bertuliskan kalimat tauhid, ‘La Ilaha illa al-Allah’. Selain itu, kelak di hari akhir, liwa’ al-hamd (panji kesyukuran) akan diserahkan kepada Rasulullah saw.

    Sehingga sebuah kesalahan fatal jika bendera dan panji-panji Islam hanya dianggap sekedar simbol Islam, apalagi disematkan sebagai simbol teroris yang menakutkan seperti yang saat ini disampaikan oleh media untuk menimbulkan Islamphobia. Bendera-bendera ini bukan juga hanya secarik kain yang berkibar bila tertiup angin, akan tetapi sungguh di hati musuh-musuhnya laksana sambaran tombak dan panah yang melesat secepat kilat. Sedangkan kecintaan pembawa bendera terhadap benderanya begitu melekat kuat.

Al-Jahidh dalam bukunya, al-Bayan wa at-Tabayyun, juz III/119 telah menerangkan sejauh mana pengaruh panji dan bendera di dalam jiwa seseorang: ‘Kami menemukan bahwa pembesar-pembesar seluruh agama dan kepercayaan selalu membawa panji-panji dan bendera-bendera dalam setiap peperangan. Padahal semua panji dan bendera itu hanyalah secarik kain yang berwarna hitam, merah, kuning dan putih. Mereka juga menggunakan panji sebagai tanda untuk membuat kesepakatan. Bendera-bendera juga digunakan sebagai tempat kembali, bagi tentara yang kucar-kacir. Sungguh, mereka telah mengetahui bahwa panji dan bendera itu meskipun hanya secarik kain yang dipasang di atas lembing, akan tetapi ia sangat menggentarkan hati, memiriskan dada, dan begitu agung dalam pandangan mata.’

Seperti halnya para sahabat yang pemberani, rela terbunuh untuk mempertahankan eksistensi bendera itu hingga akhir masa. Semua ini dilakukan karena penghormatan dan pengagungan mereka terhadap panji dan bendera Islam. Bahkan mereka rela berkorban untuk menjaga bendera itu. Sebab, bendera adalah simbol kebenaran, simbol jihad, dan simbol tauhid. Bendera juga merupakan simbol kemuliaan dan keagungan yang tidak perlu ditakuti bahkan oleh umat Islam sendiri.

Seperti pada saat Perang Khaibar, misalnya, para sahabat termasuk Umar bin al-Khaththab sangat berharap mendapatkan kemuliaan diberi amanah untuk memimpin ekspedisi dengan diserahi ar-Rayah oleh Rasul saw. Namun, Ali bin Abi Thaliblah yang akhirnya mendapat kemuliaan itu. Rasulullah saw pun juga menyerahkan ar-Rayah dalam berbagai peperangan kepada panglima pasukan kaum Muslim. Di antaranya, dalam Perang Mu’tah, Rasul saw menyerahkan ar-Rayah kepada Zaid bin Haritsah. Jika ia syahid, ia digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib. Jika Ja’far syahid, ia digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Yang terakhir diserahi ar-Rayah adalah Usamah bin Zaid sebagai panglima pasukan untuk melawan Romawi.

Rayah Rasul saw itu merupakan panji tauhid dan menjadi lambang eksistensi kaum Muslim dalam peperangan. Para sahabat pun mempertahankan ar-Rayah dengan taruhan nyawa agar ar-Rayah itu tidak jatuh. Kita pun juga tidak lupa bagaimana sejarah dalam Perang Uhud, Mush’ab bin Umair mempertahankan ar-Rayah yang ia pegang hingga kedua lengan beliau putus tertebas oleh musuh, namun beliau masih terus mendekap Rayah itu dengan sisa kedua lengannya hingga akhirnya ia syahid. Rayah itu lalu dipegang oleh Abu ar-Rum bin Harmalah dan ia pertahankan hingga tiba di Madinah.

Begitulah izzah yang diberikan Allah kepada muslimin pada waktu itu. Sungguh izzah itu hanya milik Allah semata. Tak ada yang memiliki selain-Nya. Dan diberikannya kepada Rasul dan orang beriman. Dan kehinaan yang saat ini menimpa muslimin adalah saat meninggalkan agama hingga kembali kepada agamanya, Islam.

Ironis memang jika muslimin mengejar izzah itu bersama orang-orang kafir dan ideologi mereka. Jika demikian keadaannya, bagaimana izzah mau hadir untuk mengembalikan kemuliaan muslimin? Jika kita komparasikan dengan kisah di atas. Kisah sebuah bendera. Benar, bahkan hanya secarik kain kecil yang tak sengaja tertinggal. Tapi begitulah. Izzah bekerja di hati orang-orang kafir hingga mereka ketakutan.

Oleh karena itulah, sudah saatnya umat Islam sadar dan kembali pada ajaran Islam yang dibawa Rasulullah saw, termasuk dalam persoalan bendera Islam ini yang telah membelenggu dan memecah-belah umat Islam di seluruh dunia dan kembali dalam naungan kemuliaan panji Rasulullah saw dengan tanpa keraguan sebagaimana dulu kehidupan Rasulullah dan generasi setelahnya. Allahu ‘alam. []

Oleh: Ima Susiati
(Mahasiswi di Kairo)

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories