Bagaimana Hukum Sholat Tasbih?

Bagaimana Hukum Sholat Tasbih?

Tanya :

Ustadz, mau tanya bagaimana hukum sholat tasbih? (Putri, Bantul).

Jawab :

Ada khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan para ulama apakah sholat tasbih itu disyariatkan atau tidak. Menurut kami, pendapat yang rajih adalah disyariatkan, yakni hukum shoat tasbih adalah disunnahkan.

Penyebab khilafiyah adalah persoalan tsubut-nya hadits, yaitu apakah hadits sholat tasbih shahih atau dhaif (lemah). Hadits mengenai sholat tasbih tersebut terdapat dalam Sunan Abu Dawud yang lengkapnya sebagai berikut :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ : أَلَا أُعْطِيكَ ، أَلَا أَمْنَحُكَ ، أَلَا أَحْبُوكَ ، أَلَا أَفْعَلُ بِكَ ، عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ ، غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ ، عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً ، فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ ، وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ : سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ، ثُمَّ تَرْكَعُ ، فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا ، ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا ، فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا ، ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا ، فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ ، تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ ، إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً ، فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ ، فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً

Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW mengajarkan kepada Abbas bin Abdil Muthallib,”Hai Pamanku, perhatikanlah, aku akan memberikan kepadamu, aku akan menganugerahkan kepadamu, sepuluh perkara yang jika Kamu kerjakan niscaya Allah akan mengampunimu dosamu, baik dosa yang awal maupun dosa yang akhir, baik dosa yang lama maupun dosa yang baru, baik dosa yang tak disengaja maupun dosa yang disengaja, baik dosa yang kecil maupun dosa yang besar, baik dosa yang rahasia maupun dosa yang terang-terangan. Sepuluh perkara itu adalah ; Kamu sholat 4 rakaat, kamu baca pada tiap rakaatnya Al Fatihah dan sebuah surat, dan jika Kamu sudah selesai membaca [surat] pada awal rakaat sedang kamu masih berdiri ucapkanlah ’Subhanallah walhamdu lillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar’ sebanyak 15 kali, lalu Kamu ruku’ dan ucapkan dzikir itu 10 kali saat Kamu ruku’, kemudian kamu angkat kepalamu dari ruku’ dan ucapkan dzikir itu 10 kali, kemudian kamu turun untuk sujud [pertama] dan ucapkan dzikir itu 10 kali saat sujud, lalu kamu angkat kepalamu dari sujud dan ucapkan dzikir itu 10 kali, kemudian kamu sujud [kedua] dan ucapkan 10 kali, kemudian kamu angkat kepalamu dari sujud [masih duduk] dan bacalah 10 kali, yang demikian itu 75 dzikir pada setiap rakaat, kamu kerjakan itu empat rakaat. Jika Kamu mampu, lakukanlah sholat itu satu kali tiap hari. Jika kamu tidak mampu, lakukanlah sholat itu setiap Jum’at satu kali. Jika kamu tidak mampu, lakukanlah sholat itu setiap bulan satu kali. Jika kamu tidak mampu, lakukanlah sholat itu setiap tahun satu kali. Jika kamu tidak mampu, lakukanlah sholat itu seumur hidupmu satu kali.” (HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no 1297).

Para ulama berbeda pendapat mengenai keshahihan hadits tersebut di atas. Sebagian ulama menilainya lemah (dhaif), sedangkan sebagian ulama lainnya menilainya hadits shahih. Perbedaan penilaian hadits inilah yang menyebabkan munculnya dua pendapat di kalangan ulama mengenai sholat tasbih.  Pendapat pertama, mengatakan hadits sholat tasbih tersebut dhaif, sehingga sholat tasbih tidak disyariatkan. Pendapat kedua, mengatakan hadits sholat tasbih shahih, sehingga sholat tasbih disyariatkan (sunnah).

Pendapat pertama tersebut adalah pendapat Imam Ibnu Qudamah, Imam Nawawi, Imam Ibnu Taimiyah, dan Imam Ahmad. Imam Ibnu Qudamah menjelaskan dalam kitabnya Al-Mughni :

. فأما صلاة التسبيح , فإن أحمد قال : ما يعجبني . قيل له : لم ؟ قال : ليس فيها شيء يصح…

”Adapun sholat tasbih, maka Imam Ahmad mengatakan,’[Haditsnya] tidak mengagumkan saya.’ Ada yang bertanya,”Mengapa?” Imam Ahmad menjawab,”Tak ada hadits yang shahih mengenai sholat tasbih.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, I/438).

Imam Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Al-Majmu’ :

قال القاضي حسين ، وصاحبا التهذيب والتتمة ….. : يستحب صلاة التسبيح ؛ للحديث الوارد فيها ، وفي هذا الاستحباب نظر ; لأن حديثها ضعيف , وفيها تغيير لنظم الصلاة المعروف , فينبغي ألا يفعل بغير حديث , وليس حديثها بثابت

”Berkata Qadhi Husain dan dua penulis kitab At-Tahdzib wa At-Tatimmah… Disunnahkan sholat tasbih, berdasarkan hadits yang datang tentangnya, dan dalam pensunahan ini perlu dipertimbangkan, karena haditsnya dhaif dan dalam hadits tersebut perubahan terhadap tatacara sholat yang sudah dikenal. Maka sebaiknya tidak dikerjakan tanpa dasar hadits, padahal hadits yang ada tidak tsabit (shahih).” (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, III/457-458).

Imam Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Majmu’ul Fatawa :

وأجود ما يروى من هذه الصلوات حديث صلاة التسبيح ، وقد رواه أبو داود ، والترمذي ، ومع هذا ، فلم يقل به أحد من الأئمة الأربعة ، بل أحمد ضعف الحديث ، ولم يستحب هذه الصلوات

”Hadits terbaik yang diriwayatkan dalam masalah ini adalah hadits sholat tasbih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Meski demikian, tak ada satu pun dari empat imam mazhab yang mensunnahkan sholat tasbih dengan hadits tersebut, bahkan Imam Ahmad mendhaifkan hadits tersebut dan tidak mensunnahkan sholat tasbih.” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, XI/279).  

Adapun pendapat kedua, menegaskan bahwa hadits sholat tasbih adalah hadits shahih, sehingga sholat tasbih disyariatkan (sunnah). Hadits tentang sholat tasbih dinilai shahih oleh Imam Abu Dawud, Imam Muslim, Imam Al-Hakim, Imam Al-Dzahabi, Imam Ibnu Sholah, dan lain-lain. Syeikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud juga men-shahihkan hadits tentang sholat tasbih.

Bagaimanakah menyikapi perbedaan ulama dalam penilaian terhadap satu hadits seperti ini? Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan bahwa memang boleh jadi satu hadits yang sama dinilai shahih oleh seorang ulama sementara ulama lain menilai hadits tersebut adalah hadits dhaif. Selanjutnya Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan :

ولذلك يجبُ أن لا يردَّ الحديثُ إلاّ لسببٍ صحيح يكون معتبراً عند عامَّة المحدِّثين أو يكون الحديثُ غيرَ مستوف الشروطَ الواجبة في الحديث الصحيحِ والحديث الحسن. ويجوز الاستدلالُ بأيِّ حديثٍ إذا كان مُعتبراً عند بعضِ المحدِّثين وكان مستوفياً شروطَ الحديث الصحيح أو الحديث الحسنِ، ويعتبرُ دليلاً شرعياً على أنَّ الحكمَ حكمٌ شرعي.

“Oleh karena itu, wajib untuk tidak menolak sebuah hadits kecuali karena sebab yang shahih yang mu’tabar (diakui) menurut umumnya muhadditsin, atau hadits yang ada tidak memenuhi syarat-syarat wajib pada hadits shahih shahih dan hadits hasan. Dan boleh ber-istidlal (menggunakan dalil) hadits mana pun jika hadits itu mu’tabar (diakui) oleh sebagian muhadditsin dan memenuhi syarat-syarat hadits shahih shahih atau hadits hasan, dan hadits tersebut dianggap sebagai dalil syar’i (sumber hukum) bahwa hukum yang ditunjukkannya adalah hukum syariah.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, I/350).

Berdasarkan penjelasan tersebut, yaitu bolehnya ber-istidlal dengan hadits mana pun jika telah diakui keshahihannya oleh sebagian muhadditsin, maka kami condong kepada pendapat kedua yang mensunnahan sholat tasbih. Sebab hadits sholat tasbih tersebut telah dinilai shahih oleh sebagian muhadditsin, seperti Imam Abu Dawud, Imam Muslim, Imam Al-Hakim, Imam Al-Dzahabi, dan Imam Ibnu Sholah.

Dalam masalah ini Syekh Mahmud Abdul Lathif  Uwaidhah dalam kitabya Al-Jami’ Li Ahkam Al-Sholah berkata :

حكم هذه الصلاة  سُنَّة مستحبة، فهي من صلاة التطوُّع لم يختلف في هذا اثنان من العلماء. وهذه الصلاة لا وقت لها، بل تُؤدَّى في أي وقت من الليل أو النهار عدا أوقات النهي، وهي  تُؤدَّى في كل يوم مرة، وإلا ففي كل أسبوع مرة، وإلا ففي كل شهر مرة، وإلا ففي كل سنة مرة، وإلا ففي العمر كله مرة، ويكفي هذه الصلاة فضلاً أنها تغفر جميع الذنوب على اختلاف أنواعها. وصلاة التسابيح أو صلاة التسبيح يمكن تأديتها منفرداً، أو في جماعة، في البيت أو في المسجد أو في أي مكان، لأنه لم  يرد في ذلك أي تقييد، فيبقى الأمر على إطلاقه.

“Hukum sholat ini adalah sunnah. Sholat ini termasuk sholat tathawwu’ (sunnah) yang tak ada perselisihan di antara ulama. Sholat ini tidak ada waktu khususnya, bahkan dapat dilaksanakan kapan saja baik siang atau malam kecuali pada waktu-waktu larangan sholat. Sholat tasbih ini dilaksanakan setiap hari satu kali. Jika tidak bisa, setiap minggu satu kali. Jika tidak bisa, setiap bulan satu kali. Jika tidak bisa, satu tahun sekali Jika tidak bisa, semumur hidup satu kali. Sholat ini cukup untuk mengampuni semua dosa dalm berbagai jenisnya. Sholat tasabih atau sholat tasbih boleh dilaksanakan sendirian, atau boleh juga dilaksanakan secara berjamaah, boleh dilaksanakan di rumah, atau di masjid, atau di suatu tempat [lainnya], karena tidak terdapat taqyiid (batasan/syarat) dalam sholat tasbih itu, sehingga sholat tasbih tetap dalam kemutlakannya.” (Syekh Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Sholah, II/412). [rs]

KH. M. Shiddiq Al-Jawi

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories