Bagaimana Tharîqah dan Uslûb Meraih Kekuasaan untuk Menegakkan Islam?
Bagaimana Tharîqah dan Uslûb Meraih Kekuasaan untuk Menegakkan Islam?
Soal:
Menjelang Pemilu/Pilkada banyak pihak berdalih dengan berbagai dalil agar kaum Muslim menggunakan hak pilihnya demi memenangkan calon tertentu. Yang mereka jadikan dalil antara lain: kasus Nabi Yusuf menjadi menteri di Mesir, diamnya Nabi saw. terhadap Najasyi dan Tufail bin ‘Amru ad-Dausi saat menjadi pemimpin kaumnya, sementara mereka tidak menerapkan Islam; hilf al-fudhûl, dan lain-lain. Bagaimana tanggapan Ustadz?
Jawab:
Pertama: Islam adalah agama, sekaligus ideologi. Islam tidak hanya mengajarkan ritual, spiritual dan akhlak, tetapi juga mengajarkan sistem yang mengatur kehidupan manusia; mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, sanksi hukum dan sebagainya. Islam juga tidak hanya menjelaskan semuanya tadi sebagai konsepsi kehidupan (majmû’ al-mafâhîm ‘an al-hayât), tetapi juga bagaimana semuanya itu diterapkan, dipertahankan dan diemban. Karena itu Islam tidak hanya menjelaskan fikrah (ide), tetapi juga tharîqah (metode).
Kedua: Diakui atau tidak, pemahaman tentang tharîqah ini telah lama hilang dari umat Islam, termasuk para ulamanya, kecuali mereka yang mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Karena itu mereka tidak paham, mana hukum yang merupakan tharîqah dan mana yang tidak? Pasalnya, mereka tidak mempunyai standar tentang tharîqah itu seperti apa.
Akibatnya, mereka menggunakan demokrasi sebagai tharîqah dalam meraih kekuasaan. Padahal demokrasi merupakan sistem kufur. Mereka juga tidak bisa membedakan uslûb (yang bersifat teknikal dan bisa berubah, red.) dengan tharîqah (yang bersifat baku dan tidak bisa diubah, red.). Akibatnya, dengan berbagai dalih, mereka mengubah hukum Pemilu yang “mubah”, bahkan “haram”, menjadi wajib untuk kepentingan mereka.
Di sisi lain, ada juga yang menggunakan doa sebagai tharîqah. Padahal doa bukan merupakan hukum tharîqah. Ada juga yang menggunakan jihad sebagai tharîqah untuk meraih kekuasaan. Jihad memang hukum Islam dan termasuk tharîqah, tetapi bukan tharîqah untuk meraih kekuasaan. Nah, semuanya ini membuktikan, bahwa pemahaman umat, termasuk para ulamanya, tentang tharîqah ini telah hilang.
Karena itu penting dijelaskan tentang apa itu tharîqah, juga apa bedanya tharîqah dengan uslûb? Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, telah menjelaskan tharîqah dan uslûb sebagai berikut:
1- Tharîqah adalah hukum syariah yang bersifat tetap, tidak berubah, dalam kondisi apapun, karena memang hukumnya wajib, bukan sunnah apalagi mubah. Hukum tersebut terkait dengan perbuatan fisik, yang menghasilkan sesuatu yang bersifat fisik. Contoh, doa merupakan hukum Islam, juga merupakan aktivitas fisik, tetapi tidak menghasilkan sesuatu yang bersifat fisik, maka doa bukan merupakan tharîqah untuk mengubah keadaan. Karena itu tidak cukup mengubah negeri kaum Muslim hanya dengan berdoa. Menurunkan nilai tukar dolar terhadap rupiah tidak cukup dengan berdoa. Meski demikian, orang yang berdakwah dan berjuang untuk mengubah keadaan harus selalu berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah SWT.
2- Uslûb adalah hukum syariah yang dituntut oleh situasi dan kondisi. Karena itu hukumnya mubah, tidak wajib. Kadang digunakan, kadang tidak, bergantung situasi dan kondisinya. Pemilu adalah contohnya. Ketika Nabi saw. baru mengenal para sahabat Anshar, uslûb pemilihan ini digunakan, karena Baginda belum mengenal siapa-siapa Nuqaba’ di antara mereka. Contoh lain longmarch, konferensi, muktamar, seminar, rapat akbar adalah uslûb untuk membentuk opini umum di tengah-tengah umat termasuk ahl an-nushrah, yang lahir dari kesadaran umum.
Ketiga: Kemenangan umat Islam semata karena pertolongan Allah SWT. Pertolongan Allah SWT itu diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat. Ini adalah janji yang pasti dari Allah SWT. Karena itu ini harus menjadi keyakinan kita. Allah SWT berfirman:
وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS al-Anfal [8]: 10).
Nabi saw. dan para sahabat pernah diberi pelajaran oleh Allah SWT ketika mereka mulai silau dengan jumlah mereka saat Perang Hunain. Allah SWT berfirman:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ
Sesungguhnya Allah telah menolong kalian (orang Mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) Perang Hunain, yaitu pada waktu kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah (kalian). Namun, jumlah yang banyak itu tidak memberi kalian manfaat sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh kalian, kemudian kalian lari ke belakang dengan bercerai-berai (QS at-Taubah [9]: 25).
Karena itu kemenangan bukan karena jumlah, termasuk jumlah suara yang diperoleh dalam Pemilu, tetapi semata-mata karena pertolongan Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat yang sama:
إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ
Kalaupun saja kalian tidak menolong dia (Muhammad), sesungguhnya Allah pasti menolong dia (QS at-Taubah [9]: 40).
Artinya, Allah SWT bisa memenangkan Nabi saw. tanpa pertolongan siapapun. Andai saja mereka tidak mau menolong Baginda untuk memenangkan agama-Nya, maka Allah SWT pasti memenangkan beliau. Menariknya, QS at-Taubah ini turun pada tahun ke-9 H saat seluruh Jazirah Arab sudah tunduk kepada Nabi saw. Adapun peristiwa yang dituturkan adalah peristiwa-peristiwa yang sudah berlalu. Semuanya ini untuk mengingatkan Nabi saw. dan para sahabat ridhwânu-Llâh ‘alayhim agar mereka tidak melupakan sedikitpun fakta, bahwa kemenangan mereka itu hakikatnya karena pertolongan Allah semata, bukan karena kehebatan mereka atau karena jumlah mereka.
Karena itu ketika ada para aktivis yang berjuang untuk meraih kemenangan, yang konon untuk Islam, lalu mereka mati-matian mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya, sambil menghalalkan “demokrasi” yang diharamkan oleh Allah SWT, dan membolehkan orang kafir menjadi penguasa, pasti mereka tidak pernah mendapatkan kemenangan hakiki yang dijanjikan oleh Allah SWT. Tidak cukupkah kasus Mursi di Mesir, Hamas di Palestina, FIS di Aljazair yang menang dalam Pemilu, tetapi akhirnya tidak meraih kemenangan yang diharapkan, menjadi pelajaran bagi mereka?
Keempat: Memang benar, kemenangan semata datangnya dari Allah. Kemenangan adalah janji Allah. Namun, Allah SWT juga tidak akan memberikan kemenangan kepada orang yang tidak melakukan apapun. Hanya saja, apa yang dilakukan untuk meraih kemenangan yang dijanjikan Allah harus sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Karena itu harus berjuang dengan sungguh-sungguh dan seratus persen.
Dalam konteks kekuasaan, Nabi saw. telah menggariskan tharîqah yang khas yang wajib diikuti. Jika diikuti, hasilnya pun pasti. Tharîqah itu adalah membina umat untuk membentuk jamaah, dan menyiapkan mereka, sehingga mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sahih. Setelah dibina, dibentuk dan disiapkan, mereka melakukan interaksi di tengah-tengah umat agar umat menerima dan menjadikan ideologi mereka menjadi ideologi umat. Baru setelah semuanya itu siap, umatlah yang akan memberikan kekuasaan kepada mereka, melalui ahlun-nushrah. Ahlun-nushrah pun memberikan nushrah setelah paham dan yakin dengan ideologi mereka. Karena itu thalab an-nushrah merupakan satu-satunya tharîqah Rasulullah saw. dalam meraih kekuasaan, bukan yang lain.
Nushrah (pertolongan) yang diberikan kepada Nabi saw. pun tanpa syarat, apalagi syarat yang menyalahi hukum syariah. Itulah yang dilakukan oleh kaum Anshar saat mereka memberikan nushrah kepada Nabi saw. saat Baiat Aqabah II. Mereka betul-betul ikhlas memberikan kekuasaan kepada Nabi saw. tanpa imbalan apapun. Karena itu Nabi saw. pun menerima nushrah dari mereka. Berbeda saat Nabi saw. hendak diberi nushrah oleh Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, yang mensyaratkan kekuasaan setelah Nabi saw. harus diserahkan kepada mereka. Nushrah ini pun serta-merta ditolak oleh Nabi saw.
Kelima: Memang, sebagian orang atau kelompok ada yang berdalih, bahwa boleh saja menggunakan demokrasi dan terlibat dalam sistem kufur karena beberapa alasan: (1) Nabi saw. membiarkan Tufail bin ‘Amru ad-Dausi dan Najasyi tidak menerapkan hukum Islam kepada kaumnya; (2) Kasus hilf al-fudhul yang terjadi sebelum Nabi saw. diutus menjadi nabi; (3) Kasus Nabi Yusuf menjadi menteri di Mesir. Jawabannya, sebagai berikut:
1- Thufail bin ‘Amru ad-Dausi berasal dari suku Daus di barat daya Jazirah Arab, yang sangat jauh dari Makkah. Menurut al-Baghawi, “Saya kira, ia menetap di Syam.”1 Ibn Hibban menuturkan, ia masuk Islam di tangan Nabi saw. saat masih di Makkah.2
Setelah itu ia kembali kepada kaumnya untuk mendakwahkan Islam. Ketika itu hanya ayahnya dan Abu Hurairah yang masuk Islam. Setelah mendengar berita Nabi saw. di Madinah, ia mengajak 75 lelaki dari kaumnya. Mereka semuanya telah masuk Islam.3 Mereka, termasuk Abu Hurairah, bertemu Rasulullah di Khaibar, setelah Peristiwa Hudaibiyah. Ia melapor kepada Nabi, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Suku Daus telah menolak [dakwah], maka doakan kepada Allah agar mereka dilaknat.”
Lalu Baginda berdoa, “Ya Allah, berilah hidayah kepada Suku Daus.” 4
Beliau mengikuti Umrah Qadha’ tahun ke-7 H dan Penaklukan Kota Makkah.5 Karena itu fakta Thufail adalah fakta pengemban dakwah yang berjuang mengislamkan kaumnya, bukan fakta penguasa yang dibiarkan oleh Nabi saw. tidak menerapkan Islam. Ini tampak dari doa Nabi saw. di atas. Selain itu, negeri beliau juga jauh dari negeri dan jangkauan Nabi saw. berada.
Adapun diamnya Nabi saw. yang dihukumi sebagai taqrîr, menurut al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, harus: (1) sebelumnya dilarang; (2) diketahui oleh Nabi saw., misalnya dikerjakan di hadapan Nabi saw., atau terjadi pada zaman Nabi dan diketahui oleh beliau; (3) Nabi saw. bisa mengingkari, yaitu bisa mencegah pelakunya, tetapi tidak diingkari atau dicegah.6 Karena itu, dalam konteks ini, diamnya Nabi saw. tidak bisa dinyatakan sebagai taqrîr, karena wilayahnya di luar jangkauan Nabi saw. Lalu bagaimana mungkin Nabi saw. dianggap mendiamkan sesuatu yang seharusnya bisa diingkari, sementara wilayahnya di luar jangkau Nabi saw.?
2- Karena itu, hal yang sama juga berlaku untuk Raja Najasyi yang berada di Habasyah, Ethiopia. Kalaulah Nabi saw. dianggap mendiamkan Raja Najasyi tidak menerapkan hukum Islam, maka diamnya Nabi saw. dalam kasus ini juga tidak bisa disebut sebagai taqrîr. Di sisi lain, posisi Najasyi sebagai Muslim, meski sebagai penguasa, ia berada di luar otoritas wilayah Negara Islam. Karena itu hukum yang sama tidak bisa diberlakukan di wilayahnya, kecuali jika diterima oleh rakyatnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
فَإِن جَاءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
Jika mereka datang kepada kamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka (QS al-Maidah [5]: 42).
Ayat ini memberikan opsi bagi orang yang tinggal di luar wilayah Negara Islam, jika datang ke wilayah Negara Islam meminta dihukum dengan hukum Islam, bisa diterima atau ditolak karena dia bukan warga Negara Islam. Namun, bagi warga Negara Islam tidak ada opsi lain, kecuali menerapkan hukum Islam. Dalam kasus Raja Najasyi, maka mafhûm mukhâlafah ayat ini juga bisa digunakan. Artinya, kalaupun Raja Najasy didiamkan oleh Nabi saw. tidak menerapkan sistem Islam secara kâffah, itu termasuk pengecualian, karena beliau tinggal di luar wilayah Negara Islam. Seperti diamnya Nabi saw. terhadap orang Kristen dan Yahudi dengan keyahudian mereka, itu bukan berarti persetujuan Baginda terhadap kekufuran mereka, tetapi karena itu merupakan pengecualian yang diberikan oleh Islam kepada mereka. Selain itu, mengenai Raja Najasyi yang tidak bisa menjalankan hukum Islam, ada dua versi riwayat. Riwayat yang dinukil Ibn Taimiyah, tanpa menyebut sumbernya, bahwa Raja Najasyi tidak bisa mengerjakan shalat, puasa dan zakat.7 Adapun riwayat kedua dituturkan oleh Qatadah dan ‘Atha’, bahwa beliau mengerjakan shalat menghadap Baitul Maqdis hingga wafatnya.8 Najasyi sendiri adalah gelar untuk Raja Habsyah, bukan nama orang. Dalam beberapa riwayat, nama Raja Najasyi yang masuk Islam adalah Ashhamah.9 Nabi saw. pun mengetahui beliau wafat dari Malaikat Jibril, kemudian menshalatkan dia bersama sahabat dengan shalat gaib.
3- Mengenai hilf al-fudhûl yang terjadi ketika Nabi saw. belum diutus menjadi nabi dan rasul. Saat itu usia Baginda baru 15 tahun. Saat itu ada pria dari Zubaid, wilayah Yaman, datang ke Makkah membawa barang. Barangnya dibeli oleh al-‘Ash bin Wa’il, tetapi tidak dibayar. Singkat kata, pria ini kemudian berdiri di Ka’bah meminta tolong. Bani Hasyim, Bani Zuhrah, Bani Taim bin Murrah akhirnya teranggil, dan berkumpul di rumah ‘Abdullah bin Jud’an. Mereka bersatu untuk melawan kezaliman al-‘Ash bin Wa’il, dan mengembalikan hak pria malang ini. Misi ini pun berhasil. Setelah menjadi nabi, Baginda bersabda, “Aku telah menyaksikan kesepakatan bersama pamanku di rumah ‘Abdullah bin Jud’an. Betapa aku lebih menyukai itu ketimbang unta merah.” (HR Ahmad). Konteks kesepakatan ini adalah menghilangkan kezaliman, yang hukumnya wajib. Konteks menghilangkan kezaliman ini tidak bisa digeneralisasi untuk membentuk koalisi pemerintahan, atau terlibat dalam sistem kufur. Sebab, jika digeneralisasi, pasti akan bertabrakan dengan dalil-dalil lain.
4- Tentang Nabi Yusuf ‘alayhi as-salam, jika ada klaim, seolah Nabi Yusuf memerintah dengan menggunakan hukum kufur, maka klaim ini merupakan kebohongan atas nama Allah dan Nabi-Nya, sekaligus menuduh Nabi Yusuf melakukan maksiat. Padahal para ulama Ahlus Sunnah sepakat, bahwa nabi dan rasul maksum. Karena itu, ini tidak mungkin. Selain itu, andai saja klaim ini benar, dan tindakan Nabi Yusuf ini dibolehkan, maka kebolehan ini tidak berlaku bagi kita. Pasalnya, syariah nabi dan umat sebelum kita bukanlah syariah bagi kita. Sebab, masing-masing sudah diberi syariah yang berbeda (QS al-Ma’idah [5]: 48).
Karena itu hanya ada satu tharîqah untuk memenangkan Islam, yaitu dengan menegakkan Khilafah, sebagaimana tharîqah yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Karena inilah satu-satunya tharîqah yang benar. WalLâhu a’lam.
[KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
- Lihat, al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishâbah fî Tamyîz as-Shahâbah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1995 M/1415 H, III/422.
- Lihat, Ibid, III/423.
- Lihat, Ibid, III/424.
- HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, IV/54; V/250; dan VIII/105. HR Muslim, Shahîh Muslim, IV/1957. HR Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, II/243 dan 448; Ibn Sa’ad, Thabaqât al-Kubrâ, IV/180 dan 181.
- Lihat, Ibid, III/423.
- Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asys-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, Beirur, cet. III, 2005 M/1426 H, III/103.
- Al-‘Allamah Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatawâ, XIX/217.
- Hr. Ahmad. Lihat, Syarh ‘Umdah al-Fiqh, IV/548.
- HR al-Bukhari dan Muslim.