Beberapa Ibrah Perang Hunain

DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah;
A
nalisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah

Perang Hunain ini merupakan pelajaran penting tentang aqidah Islamiyah dan hukum sebab akibat yang menyempurnakan pelajaran serupa di perang Badr. Jika perang Badr telah menetapkan kepada kaum Muslimin bahwa jumlah sedikit tidak membahayakan mereka sama sekali dalam menghadapi musuh mereka yang berjumlah jauh lebih banyak manakala mereka bersabar dan bertaqwa, maka peperangan Hunain ini menegaskan kepada kaum Muslimin bahya jumlah yang banyak juga tidak dapat memberian manfaat apabila mereka tidak bersabar dan ebrtaqwa. Sebagaimana diturunkan ayat-ayat al-Quran guna menjelaskan ibrah perang Badr, demikian pula diturunkan ayat-ayat al-Quran dalam menegaskan ibrah yang harus diambil dari perang Hunain.

Jumlah kaum Muslimin di perang Badr leibh sedikit dibandingkan dengan jumlah mereka pada peperangan-peperangan lainnya. Kendatipun demikian, jumlah yang sedikit itu tidak membahayakan mereka sama sekali karena kualitas keislaman, kematangan keimanan dan kemurnian wala‘ mereka keapda Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan jumlah kaum Muslimin di perang Hunain lebih besar dibandingkan jumlah mereka pada peperangan-peperangan sebelumnya. Kendatipun demikian, jumlah yang besar itu tidak dapat memberikan manfaat sama sekali, karena keimanan dan nilai-nilai keislaman belum merasuk dan menghujam ke dalam hati sebagian besar di antara mereka.

Masa yang banyak itu telah bergabung secara fisik kepada pasukan Rasulullah saw, sedangkan hati dan jiwa mereka masih dikuasi oleh kehidupan dunia. Karena itu jumlah yang banyak secara fisik itu tidak punya pengaruh bagi kemenangan dan datangnya pertolongan Allah. Oleh sebab itu, massa yang banyak itu lari tunggang langgang meninggalkan lembah Hunain tatkala mereka diserang secara mendadak oleh musuh. Bahkan mungkin bayangan ketakutan ini pada awalnya mempengaruhi juga hati sebagian besar kaum Mukminin yang telah amtang keimanannya.

Akan tetapi tidak lama kemudian terdengar oleh kaum Anshar dan Muhajirin teriakan dan panggilan Rasulullah saw kepada mereka sehingga mereka segera kembali berhimpun di sekitar Rasulullah saw dan berperang bersamanya. Jumlah mereka ini tidak lebih dari 200 orang. Namun dengan 200 orang tersebut kemenangan datang kembali kepada kaum Muslimin dan ketenagnan pun turun ke dalam hati mereka, sehingga Allah mengalahkan musuh mereka, setelah 12.000 orang berkualitas buih tidak berguna tidak berguna sama sekali dalam menghadapi lawan.

Allah menurunkan pelajaran penting ini di dalam Kitab-Nya yang mulia : „Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi conkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadaku sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (QS At Taubah : 25-27)

Berikut ini beberapa pelajaran dan ibrah yang dapat kita ambil dari peperangan Hunain :

Pertama, Menyebar Intel ke dalam Berisan Lawan untuk Mengetahui Ihwal Mereka.

Telah kami sebutkan sebelum ini bahwa tindakan ini dibolehkan, bahkan wajib jika diperlukan. Tindakan inilah yang dilakukan Rasulullah saw dalam peperangan Hunain ini. Beliau telah mengutus Abdullah bin Abu Hadrad al Aslami untuk mencari berita tentang jumlah serta perlengkapan musuh dan menginformasikannya kepada kaum Muslimin. Mengenai masalah ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para Imam.

Kedua, Imam boleh Meminjam Senjata dari Kaum Musyrikin untuk Memerangi musuh Kaum Muslimin.

Yang dimaksudkan senjata dalam hal ini adalah setiap peralatan dan perlengkapan perang yang diperlukan oleh tentara. Sedangkan peminjaman itu boleh dengna gratis ataupun sewa. Cara kedua inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam peperangan ini. Beliau menyewa senjata dari Shafwan bin Umaiyah yang pada waktu itu masih musyrik.

Hal ini masuk ke dalam keumuman hukum „meminta bantuan kepada orangorang kafir dalam peperangan.“ Masalah ini telah kami bahas ketika mengomentari perang Uhud. Sekarang menjadi jelas bagi anda bahwa meminta bantuan kepada orangorang kafir dalam peperangan terbagi kepada dua macam :

1. Meminta bantuan personil dari mereka untuk berperang bersama kaum Muslimin. Masalah ini telah kami bahas pula dalam perang Uhud. Dalam pembahasan tersebut kami katakan bahwa tindakan ini dibolehkan apabila diperlukan dan kaum Muslimin dapatmenjamin kejujuran dan kesetiaan para personil tersebut.

2. Meminta bantuan senjata dan peralatan-peralatan perang lainnya. Kebolehan masalah ini tidak diperselisihkan lagi asalkan tidak menodai kehormatan kaumMuslimin dan tidak menyebabkan masuknya kaum Muslimin di bawah kekuasaan orang lain atau mengkibatkan kaum Muslimin meninggalkan seagian kewajiban agama. Anda tahu bahwa ketika Shafwan bin Umaiyah (atau Uyainah) vmeminjamkan (menyewakan) senjata kepada Rasulullah saw adalah dalam keadaan kalah dan lemah, sedangkan Rasulullahs aw dalam posisi kuat.

Ketiga, Keberanian Rasulullah saw Dalam Peperangan.

Anda lihat suatu keberanian yang langka dan menakjubkan. Ketika seluruh kaum Muslimin terpencar di lembah dan lari meninggalkan medan pertempuran, hanya seorang diri Rasulullah saw bertahan dengan tegar di tengah kepungan dan serangan mendadak yang dilancarkan musuh dari segala penjuru. Nabi saw bertahan dengan tegar dan menakjubkan, sehingga pengaruhnya menyentuh jiwa para sahabat yang lari meninggalkan medan pertempuran. Demi menyaksikan ketegaran dan keteguhan yang ditunjukkan Nabi saw inilah maka semangat dan keberanian para sahabat bangkit kembali.

Setelah meriwayatkan peristiwa perang Hunain ini Ibnu Katsir di dalam tafsirnya berkata :“Aku berkata : Ini merupakan puncak keberanian yang sempurna. Di tengah berkecamuknya pertempuran seperti ini tanpa perlindungan pasukannya Rasulullah saw dengan tenang tetap berada di atas untanya (atau baghal) yang tidak pandai berlari dan tidak bisa digunakan untuk berlari kencang meninggalkan medan atau melancarkan serangan. Bahkan Rasulullah saw mengendalikan untanya ke arah mereka seraya meneriakkan namanya agar diketahui oleh orang yang tidak mengenalnya hingga Hari Kemudian. Kesmuanya ini tidak lain hanyalah merupakan keyakinan (tsiqah) kepada Allah, tawakal kepada-Nya dan kesadaran bahwa Allah pasti akan menolongnya, menyempurnakan Risalah-Nya dan memenangkan agama-Nya atas semua agama.

Keempat, Kepergian Wanita untuk melakukan Jihad bersama kaum Lelaki.

Mengenai kepergian wanita ke medan perang untuk mengobati para Mujahid yang luka dan memberi minum yang haus, telah ditegaskan oleh riwayat yang shahih dan tejradi dalam beberap akali pepernagan. Adapun kepergiannya ke medan pertempuran untuk berangkat maka tidak pernah terjadi dalam Sunnah. Kendatipun Imam Bukhari menyebutkan di dalam bab Jihad satu bab tentang „Peperangan Wanita Bersama Kaum lelaki“, tetapi hadits-hadits yang disebutkan dalam bab tersebut tidak ada yang menegaskan keikutsertaan kaum wanita bersama kaum lelaki untuk melakukan pertempuran. Ibnu Hajar berkata :“Saya tidak melihat sama sekali dari hadits-hadits yang disebutkan dalam masalahini, adanya penegasan bahwa kaum wanita ikut tampil bertempur „.

Sedangkan hukum tentang kepergian wanita, untuk berperang yang disebutkan para Fuqaha‘ ialah apabila usuh menyerang salah satu negeri kaum Muslimin sehingag seluruh penduduknya termasuk di dalamnya kaum wanita wajib berperang melawannya. Itupun jika kita perlukan bantuan pertahanan mereka dan khawatir mereka akan mengalami fitnah. Jika tidak maka berperang tidka disyariatkan bagi mereka. Tentang pisau belati yang dibawa oleh Ummu Sulaim, itu hanya digunakan sekdear sebgai membela diri sebagaimana dikatakan sendiri.

Dengan pengertian inilah kita harus memahami sebuah riwayat yang disebutkan oleh Bujkhari dan lainnya bahwa Aisyah ra pernah meminta ijin kepada Rasulullah saw untuk berjihad, kemudian dijawab oleh Rasulullah saw :“Jihad kalian (kaum wanita) adalah menunaikan Haji.“ Jihad yang dimaksudkan oleh Aisyah ra ini ialah ikut serta dalam pertempuran, bukan sekedar kehadiran untuk tugas pengobatan dan pelayananpelayanan serupa lainnya, karena hadirnya wanita dalam suatu pertempuran guna melaksanakan tugas-tugas pengobatanini telah disekapati kebolehannya, jika telah dipenuhi syarat-syaratnya.

Bagaimanapun, sesungguhnya keluarnya wanita bersama kaum lelaki ke medan jihad disyaratkan harus benar-benar tertutup dan terjaga. Juga karena suatu keperluan yang sangat mendesak. Jika tidak sangat mendesar atau diperkirakan akan mengakibatkan terjatuh melakukan hal-hal yang dilarang maka kepergiannya adalah haram. Perlu anda ketahui bahwa hukum-hukum Islam terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak boleh anda memilih hukum Islam tertentu sesuai dengan keinginan hawa nafsu dan karena sebab-sebab tertentu tetepi meninggalkan hukum-hukum dan kewajibankewajiban Islam yang lainnya.

Tindakan seperti ini tidak diragukan lagi adalah sebagaimana yang dimaksudkan oleh firman Allah swt :
„…Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar kepada sebagian yang lain ? Tiadakah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.“ QS al-Baqarah : 85.

Adalah termasuk makar jahat kepada agama Allah demi menagguk kepentingan duniawi yang rendah, tindakan sebagian orang yang sengaja mengambil sebagian hukum atau fatwa syariat dengan mengabaikan segala ikatan serta persyaraatannya, dan melemparkan segala hal yang menjadi kesempurnaan hukum atau fatwa tersebut, demi menyesuaikan pesanan para penguasa atau pihak tertentu. Fatwa-fatwa itu kemudian mereka suguhkan di atsa piring kemunafiqan.

Kelima, Larangan membunuh Wanita, Anak-anak dan Budak dalam Jihad.

Hal ini seperti ditegaskan oleh hadits Rasulullah saw ketika beliau melihat wanita (atau anak) yang (terlanjur) dibunuh oleh Khalid bin Walid. Semua Ulama dan Imam sepakat atas masalah ini. Dikecualikan dari ketentuan ini, apabila mereka ikut serta berperang secara langsung menyerang kaum Muslimin. Mereka boleh dibunuh jika sedang aktif melancarkan perlawanan dan wajib menghindari (membunuhnya) jika mereka melarikan diri.

Dikecualikan juga dari ketentuan ini, jika kaum kafir menjadikan mereka sebagai tameng hidup sedangkan kaum kafir itu tidak mungkin dapat dihancurkan kecuali dengan (terpaksa) membunuh mereka (juga). Hal ini dibolehkan. Dalam hal ini Imam harus mengikuti apa yang menjadi tuntutan kemashlahatan.

Keenam, Hukum Mengambil Benda Yang Melekat pada Musuh yang Terbunuh.

Telah kami katakan bahwa dalam pepernagna ini Nabi saw mengumumkan bagi siapa yang membunuh seorang musuh maka ia boleh mengambil benda-benda yang melakat di tubuhnya. Ibnu Sayyidin Nas berkata : Pengumuman ini menjadi hukum yang berlaku sepanjang masa.
Saya berkata : Hukum ini telah disepakati oleh semua Ulama‘. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat mengenai jenis hukum yang telah tetap sepanjang masa ini : Apakah ia termasuk dalam hukum Imamah atau Fatwa ? Yakni, apakah Rasulullah saw mengumumkan hukum tersebut dalam statusnya sebagai penyampai hukum dari Allah sehingga tidak ada pilihan lain baginya atau bagi siapa saja dari ummatnya, seperti penyampaiannya tentang hukum-hukum shalat dan puasa, atau diumumkan sebagai hukum kemashlahatan yang diputuskan dalam statusnya sebagai Imam kaum Muslimin yang memutuskan perkara berdasarkna kemashlahatan dan kebaikan bagi mereka ?

Imam Syafi‘I berpendapat bahwa ia adalah hukum yang ditetapkan atas dasar penyampaian (dari Allah). Atas dasar ini , seorang Mujahid di setiap jaman boleh langsung mengambil barang yang melekat di tubuh musuh yang dibunuhnya dalam peperangan, tanpa perlu minta ijin kepada Imam atau komandannya.

Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa ia adalah hukum yang ditetapkan atas dasar Imamah (sebagai pemimpin) saja. Dengan demikian, maka boleh mengambil barang yang melekat di tubuh musuh yang dibunuhnya itu tergantung dari pada ijin Imam. Jika Imam tidak mengijinkan maka barang-barang (salb) itu digabungkan kepada barang pampasan (ghanimah) dan pembagiannya diberlakukan sesuai dengan hukum ghanimah.

Ketujuh. Jihad Tidak berarti iri hati terhadap kaum Kafir.

Ini seperti ditunjukkan oleh riwayat yang telah kami sebutkan bahwa sebagian sahabat berkata kepada Nabi saw dalam perjalanan pulang mereka setelah pengepungan kota Thaif : „berdo‘alah kepada Allah untuk Tsaqif dan bawalah mereka (kepada kami).“ Ini berarti jihad tidak lain hanyalah pelaksanaan kewajiban amar ma‘ruf nahi munkar. Ia adalah tanggung jawab semua manusia terhadap sesamanya,untuk membebaskan diridari siksa abadi di Hari Kiamat. Oleh sebab itu, kaum Muslimin tidak sepatutnya memanjatkan do‘a untuk orang lain kecuali do‘a terlimpahkannya hidayah dan perbaikan.Karena tujuan ini merupakan hikmah disyariatkannya jihad.

Kedelapan, Kapan Seorang Prajurit Berhak Memiliki Ghanimah.

Telah kami sebutkan bahwa Rasulullah saw berkata kepada utusan Hawazin ketika mereka datang menyatakan diri masuk Islam :“Sengaja aku menunda pembagian ghanimah ini karena mengharap keislaman mereka.“

Ini menunjukkan bahwa prajurit baru berhak memiliki ghanimah setelah dibagikan oleh penguasa atau Imam. Betatapun lamanya selagi belum dibagikan maka tidak bisa dimiliki oleh prajurit yang ikut berperang. Demikianlah faedah diperlambatnya pembagian ghanimah oleh Nabi saw kepada kaum Muslimin. Hal ini juga menunjukkan bahwa Imamboleh mengembalikan ghanimah kepada para pemiliknya apabila mereka datang menyatakan diri masuk Islam dan belum dibagikan kepada para Mujahidin. Hal inilah ynag diutamakan oleh Nabi saw dalam peperangan ini.

Sikap Nabi saw terhadap utusan Hawazin dan harta kekayaan mereka yang telah dijarah oleh kaum Muslimin, menunjukkan baha harta pampasan yang telah dibagikan kepada para Mujahidin tidka boleh ditarik kembali oleh Imamkecuali atas kerelaan dan kesediaan pemiliknya tanpa adanya pemaksaan atau desakan.

Perhatikanlah betapa kejelian Rasululah saw ketika meminta ijin para pemilik harta itu.Nabi saw merasa belum cukup dengan jawaban secara massal yang mereka berikan :“Kami telah bersedia mengembalikan wahai Rasul Allah“, tetapi beliau ingin juga mengetahui dan mendengar kesediaan tersebut dari setiap pribadi atau melalui para wakil dan pemimpin mereka. Ini berarti, seorang penguasa atau imam tidak boleh menggunakan wewenang adan kekuasaannya untuk memaksa orang agar melepaskan hak dan harta kekayaannya yang sah. Bahkan Allah tidak membolehkan hal tersebut kepada seroang Rasul sekalipun.

Itulah keadilan dan persamaan sejati yang benar-benar mengagumkan! Biarlah terkuburkan keadilan palsu yang ingin bersembunyi di balik nilai-nilai Ilahiyah yang agung ini.

Kesembilan, Kebijaksanaan Islam Tentang orang-orang Mu‘allaf.

Telah anda ketahui bahwa Nabi saw mengkhususkan kepada para penduduk Mekkah yang baru masuk Islam pada tahun penaklukannya (Fath-Hu Makkah) dengan melebihkan pemberian ghanimah, dalam pembagian ghanimah kali ini tidak diberikan kaidah persamaan diantara para Mujahidin yang berperang. Tindakan Rasulullah saw ini oleh para Imam dan Fuhaqa‘ dijadikan sebagai dalil bahwa Imam boleh melebihkan pemberian kepada kaum Mu‘allaf sesuaio dengan kemashlahatan penjinakan hati mereka.

Bahkan Imam wajib melakukan hal ini bila diperlukan. Dan tidak ada halangan jika pemberian itu diambilkan dari barang pampasan. Karena pertimbangan yang sama pula maka orang-orang Mu‘allaf ini punya bagian khusus di dalam harta zakat. Penguasa atau Imam dapat memberikan harta zakat kepada mereka, manakala diperlukan dan sesuai kemashlahatan Islam.

Kesepuluh, Keutamaan Kaum Anshar dan Kecintaan Nabi saw Kepada Mereka.

Benarlah Rasulullah saw ketika berkata :“Sesungguhnya syetan dapat menyusup ke dalam aliran darah manusia.“ Syetan ingin menanamkan ke dalam jiwa kaum Anshar rasa tidka puas terhadap kebijaksanaan Rasulullah saw menyangkut pembagian pampasan. Barangkali syetan menginginkan agar mereka menanggapi Nabi saw sebagai telah mengutamakan kaum kerabat serta orang-orang sekampungnya dan melupakan orang-orang Anshar.

Lalu apa yang dikatkaan oleh Nabi saw kepada mereka setelah mendengar „protes“ tersebut ? Sesungguhnya pidato yang disampaikan Nabi saw sebagai jawaban terhadap bisikan keraguan tersebut, sarat dengan nilai-nilai kelembutan dan perasaan cinta yang mendalam kepada kaum Anshar. Tetapi dalam waktu yang sama juga sarat dengan ungkapan rasa sakit karena dituduh melupakan dan berpaling dari orang-orang yang paling dicintainya.

Renungkanlah kembali pidato Nabi saw di atas, niscaya anda akan merasakan betapa pidato itu telah mengandung ungkapan kekecewaan hati Nabi saw yang paling dalam dan getaran perasaannya yang paling lembut.
Kelembutan dan kekecewaan ini telah menyentuh perasaan kaum Anshar sehngga membuat hati mereka luruh.Mengkikis segala bentuk keraguan dan bisikan ketidak pusaan ynag baru saja merasuki hati mereka. Maka terdengarlah suara tangis mereka karena bergembira mendapatkan Nabi saw dan rela menerima bagian mereka.

Apa artinya harta kekayaan, ternak dan barang pampasan dibandingkan, kembalinya kekasih mereka, Rasululah saw bersama mereka ke kampung halaman (Madinah) untuk hidup dan mati di antara mereka ? Adakah bukti ketulusan cinta dan kasih sayang yang lebih besar selain daripada kesediaan Nabi saw untuk meninggalkan tanah kelahirannya, kemudian untuk seterusnya menetap bersama-sama mereka ? Selain itu , kapankah harta benda pernah menjadi bukti cinta dan penghargaan dalam pandangan Nabi saw ?

Memang, Nabi saw telah memberikan harta dan barang pampasan dalam jumlah besar kepada orang-orang Quraisy tetapi apakah Nabi saw menyisihkan sesuatu dari harta tersebut untuk dirinya ? Ataukah mengambil bagian sebanyak bagian orang-orang Anshar ? Rasulullah saw hanya mengambil khumus (seperlima) yang telah dikhususkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk diserahkan kepada siapa saja yang dikehendakinya. Maka dibaginya khumus tersebut keapra orang-orang Arab ang ada di sekitarnya.

Renungkanlah apa yang dikatakan Nabi saw kepada mereka, ketika mereka mengelilinginya dan meminta tambahan pemberian : „Wahai manusia, demi Allah, aku tidak memperoleh dari barang pampasan kalian kecuali seperlima dan itupun aku kembalikan lagi kepada kalian.“

Semoga salawat tercurahkan kepadamu wahai Rasulullah , juga kepada para shabatmu yang mulia dari kaum Anshar dan Muhajirin. Semoga Allah berkenan menghimpun kami di bawah panjuimu yang mulia dan menjadikan kami beserta orang-orang yang akan menemuimu di telaga pada hari kiamat.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories