Nation State Bukan Harga Mati

MUSTANIR.net – Sudah menjadi rahasia umum bahwa bentuk negara bangsa (nation state) adalah produk Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 setelah Eropa mengalami peperangan antar kerajaan dan agama (Katolik vs Protestan) hampir 30 tahun lamanya.

Sekularisme juga menjadi bagian penting dari Perjanjian Westphalia. Sekularisme adalah suatu konsep pemisahan agama dengan kehidupan.

Nation state dan sekularisme adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Nation state “mengharamkan” agama hadir dalam urusan politik, ekonomi, dan pengurusan publik lainnya. Kalau pun ada aturan agama (baca: Islam) yang diimplementasikan, maka hanya aturan agama yang mampu memberikan tambal sulam atau “pemanis” sistem sekuler dalam nation state.

Barat menyebarluaskan paham nation state dan sekularisme melalui proses imperialisme (penjajahan) dan kolonisasi. Termasuk penyebaran ke wilayah dunia Islam.

Paham nation state tak pernah dikenal di dunia Islam sebelum diintervensikan oleh Barat. Paham inilah yang telah memecah belah dunia Islam dalam kutub-kutub suku, ras, dan bangsa. Hal inilah yang akhirnya memengaruhi munculnya nasionalisme Arab dan memisahkan diri dari Khilafah Islamiyyah Turki Utsmani.

Semangat negara bangsa di Nusantara juga tak pernah dikenal sebelumnya. Wilayah Nusantara yang terdiri dari kesultanan-kesultanan Islam lebih memiliki akar sejarah keterhubungan dengan Khilafah Islamiyyah. Banyak catatan sejarah yang dapat membuktikan hal ini.

Selepas penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia, ada nuansa rekayasa untuk memaksakan bentuk nation state di Indonesia.

Walau kemudian dalam sejarah, bentuk nation state di Indonesia ini mengalami variasi dalam bentuk federasi dengan banyak negara-negara bagian.

Dalam konteks nation state, sebenarnya Indonesia mengalami kerawanan. Karena bila kembali pada Perjanjian Westphalia, maka sebuah ras tertentu bisa menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu konsep nation state akan rawan pelepasan diri dari Indonesia dengan landasan ras.

Misalnya ras Melanesia di Papua bisa memerdekan diri dengan alasan menentukan nasibnya sendiri. Inilah kerawanan yang muncul bila Indonesia mempertahankan konteks nation state.

Dalam dunia modern yang semakin global ini, bentuk negara bangsa (nation state) juga terasa semakin hilang. Globalisasi telah menghilangkan sekat antar bangsa. Misal Uni Eropa akhirnya menjadi pilihan dalam hubungan saling ketergantungan antar bangsa di Eropa.

Selain juga pakta-pakta perdagangan bebas antar bangsa yang semakin marak dijalin. Inilah yang saat ini terus dibangun dalam suatu tata dunia dengan kesamaan sistem yaitu sekularisme, demokrasi, liberalisme, dan globalisasi, menghilangkan sekat negara bangsa.

Dengan melihat kondisi di atas, maka bentuk nation state bukan harga mati, dan tren ke depannya akan berubah.

Tentu yang menjadi pertanyaan penting adalah, apakah tren perubahan ini akan kita arahkan ke tata negeri ini dan dunia dalam sistem sekularisme, demokrasi, liberalisme, dan globalisasi?

Sekularisme terbukti telah menghancurkan tata kemanusiaan menjadi rendah, bahkan lebih rendah dari binatang ternak.

Demokrasi bukan menghasilkan kondisi lebih baik, tetapi malah menjadi ajang politik uang yang ujungnya menindas rakyat

Liberalisme telah merusak keadilan ekonomi. Sumber-sumber kekayaan rakyat habis disapu oleh transnational corporation demi keuntungan kaum borjuis dan negara-negara kapitalis.

Globalisasi menjadikan negeri ini hanya sebagai pasar yang tak pernah mampu bersaing dan berproduksi dengan lebih baik, serta tak mampu menjadi tuan di negeri sendiri.

Di sinilah saya pikir, khilafah Islamiyyah dengan syariah Islamnya perlu didiskusikan sebagai tata dunia baru menggantikan tata dunia lama yang telah terbukti usang dan rusak. []

Sumber: Agung Wisnuwardana

About Author

Categories