
Bukti Genosida Rohingya Bertambah (Lagi)
Ilustrasi. foto: tawakkolkarman.net
MUSTANIR.COM – Persoalan Rohingya kembali muncul ke permukaan setelah diterbitkannya laporan Misi Pencari Fakta PBB (United Nation Fact-Finding Mission/ FFM) terhadap Myanmar pada 27 Agustus 2018. Amnesti Internasional melaporkan terjadinya kejahatan ekstensif Militer Myanmar yang diantaranya, melakukan penghapusan etnis, pembakaran tempat tinggal, pemerkosaan, pembunuhan, deportasi paksa, dan sebagainya.
Dilansir dari Amnesty.org, Tirana Hassan, Direktur Respon Krisis di Amnesti Internasional menyebut bahwa diterimanya laporan FFM, menambah bukti-bukti kejahatan keji yang dilakukan Militer Myanmar terhadap etnis Rohingya. Ia menganggap, pihak berwenang Myanmar tak mampu membawa orang yang bertanggung jawab untuk diadili. Tirana meminta Dewan Keamanan PBB untuk merujuk situasi Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ ICC) (Amnesty.org 27/08/2018).
Terhitung sampai tanggal 25 Agutus 2017 sudah terdapat 725.000 pengungsi masyarakat Rohingya, baik perempuan, laki-laki dan anak-anak, yang menetap di negeri tetangga, Bangladesh. Bangladesh sebagai negara bagian Statuta Roma dari ICC, menilai tengah terjadi kejahatan serius di wilayahnya. Sehingga, pada 7 September 2018, ICC memutuskan bahwa Bangladesh memiliki yuridiksi terhadap warga negara yang berasal dari non state parties yaitu Myanmar. Langkah ini dinilai menjadi pendorong untuk tindakan lebih lanjut (Amnesty.org 07/09/2018).
Jika menilik kilas balik Rohingya, apa yang dipermasalahkan oleh pemerintah Myanmar ialah keberadaan Rohingya yang mereka anggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh yang bertempat tinggal di wilayah Myanmar. Hal ini membuat Rohingya menjadi etnis yang dibenci penduduk mayoritas serta tak diberi status kewarganegaraan. Padahal, jika dilihat dari sejarahnya, Rohingya masih memiliki hubungan darah dengan salah satu dari delapan etnis nasional yang diresmikan pemerintah Myanmar, yaitu etnis Arakan.
Mirisnya, walaupun Arakan dan Rohingya menggunakan bahasa, logat bahkan memiliki darah yang sama, pembeda mereka hanyalah Agama. Rohingya yang dianggap sebagai ancaman oleh negeri Myanmar, membuat pemerintah memberi perlakuan tak adil terhadap etnis ini. Tindakan tersebut semakin diperparah dengan peristiwa yang terjadi tahun 2012 dan 2017.
Walaupun sudah banyak sekali bukti-bukti terjadinya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Myanmar terhadap Rohingya, sayang, solusi-solusi yang dihadirkan, baik dari negeri-negeri Barat, Muslim maupun organisai internasional, tak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan konflik. Contohnya saja solusi repatriasi yang telah ditanda tangani Myanmar dengan PBB pada 6 Juni 2018 (Republika.co.id 06/06/2018). Perjanjian tersebut bertujuan untuk memulangkan 700.000 pengungsi Rohingya yang ada di Bangladesh untuk kembali ke Myanmar.
Yang perlu digaris bawahi, selama perjanjian tersebut, tak ada yang menyinggung akhir dari proses repatriasi. Tak ada yang bisa menjamin apakah Penduduk Rohingya setelah itu bisa mendapatkan hak yang sama dengan penduduk Myanmar yang lain. Hal ini sama saja menyerahkan Rohingya kepada ‘pembunuh’nya.
Allah SWT. berfirman, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut 29:41).
Membangun harapan terhadap organisasi internasional atau negeri-negeri Barat bahkan Muslim sekalipun hanya akan menambah permasalahan, penderitaan dan kesengsaraan Ummat Muslim. Solusi yang hadir justru mengaburkan solusi yang sejatinya bisa menuntaskan Krisis Rohingya. Solusi yang benar dan satu-satunya itu adalah pendirian kembali Negara Islam berdasarkan metode Kenabian – yang Allah (swt) definisikan sebagai satu-satunya pembela dan pelindung umat.
Nama: Dzakiyah
Status: Mahasiswi FK Unsri