Buta Politik yang Paling Parah adalah Taklid pada Demokrasi

MUSTANIR.net – Buta politik itu parah. Karena ulama dan intelektual pun bisa dikerjai jika dia buta politik. Karena berpikir yang paling tinggi dan berat itu berpikir politik.

Ijtihad dalam hal fiqh itu berat. Tapi tak lebih berat dari berpikir politik. Karena ragam dan cakupannya politik begitu luas dan harus mengikuti dinamika politik yang terus berkembang.

Kalau ijtihad dalam perkara syariat, begitu sampai pada kesimpulan hukum halal, haram, sunnah, makruh, dan mubah, selesai. Karena tujuan ijtihad adalah mengistimbath hukum dari dalil. Jika hukumnya sudah ketemu, selesai.

Sedangkan politik itu penuh varian, cakupannya luas, dan dalam konteks strategi dan uslub sangat variatif dan mudah berubah-ubah. Karena itu, boleh jadi pada kondisi tertentu politik itu mubah, pada kondisi yang lain haram.

Misalnya, dulu PKS menyatakan haram koalisi dengan Prabowo-Gibran. Bahkan jubir PKS Muhammad Kholid menyatakan politisi bunglon, sakit jiwa, orang yang gabung dengan kelompok yang sebelumnya dituduh curang, dituduh melanggar HAM.

Tapi kini, PKS telah menganggap bergabung dengan KIM Plus, bergabung dengan Prabowo-Gibran dengan dalih maslahat. Hukumnya berubah menjadi mubah, bahkan wajib.

Karena itu, melek politik itu wajib. Tidak boleh menjadi orang yang buta politik.

Namun buta politik yang paling parah adalah taklid pada demokrasi. Percaya demokrasi kedaulatan di tangan rakyat. Percaya demokrasi akan menyejahterakan rakyat, dll.

Jika Anda percaya dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat, maka saya pastikan Anda sedang buta politik. Anda hanya ditipu demokrasi dengan jargon kedaulatan rakyat.

Karena di negeri ini maupun di Amerika, dalam demokrasi itu yang berdaulat adalah oligarki dan partai politik. Mau bukti? Gampang.

Pilpres 2024 itu presiden yang terpilih adalah presiden pilihan oligarki dan partai politik, bukan pilihan rakyat. Jadi, yang punya kedaulatan menentukan siapa capres yang boleh dipilih itu oligarki dan partai politik.

Alasannya sederhana. Hanya calon yang ditetapkan parpol yang bisa jadi capres. Orang yang tidak diusung parpol, tidak bisa menjadi capres. Artinya, kendali ada pada partai bukan para rakyat.

Sedangkan rakyat hanya dianggap sapi yang dicucuk hidungnya, masuk TPS dan mencoblos calon presiden yang ditentukan oleh partai politik. Pilpres 2024 lalu dan pilpres sebelumnya tidak pernah memberikan kedaulatan bagi rakyat untuk menentukan pilihannya sendiri. Misalnya, rakyat tidak mungkin bisa memilih Habib Rizieq Shihab, Ustadz Abdul Shomad, Ustadz Adi Hidayat, dan nama-nama lainnya. Rakyat dipaksa memilih capres yang telah ditetapkan partai politik.

Parpol menentukan nama capres setelah berkonsultasi dengan oligarki. Oligarki yang membiayai capres dengan kompensasi kebijakan yang pro oligarki. Jadi, yang berdaulat adalah parpol dan oligarki.

Setelah terpilih, presiden menghamba pada oligarki yang telah membiayainya. Partai dan presiden menjadi petugas oligarki, bukan petugas rakyat. Yang berdaulat oligarki dan parpol, bukan rakyat.

Contoh, presiden naikkan BBM dan pajak. Meski rakyat menolak, tetap saja naik. Karena parpol dan oligarki inginkan BBM dan pajak naik.

Saat DPR sahkan UU Cipta Kerja dan UU IKN, rakyat menolak. Tapi parpol dan oligarki menghendaki. Jadi, kedaulatan ada di tangan parpol dan oligarki, bukan di tangan rakyat.

Jadi, jika Anda masih percaya pada demokrasi berarti Anda dalam keadaan buta politik. Orang yang dalam keadaan buta mudah ditipu oleh tongkat yang membimbingnya. Anda buta lalu memercayai demokrasi untuk membimbing jalan hidup dan politik Anda, maka Anda pasti tertipu dan celaka. []

Sumber: AK Channel

About Author

Categories