Siapa yang Berhak Membuat Hukum?

MUSTANIR.net – Di antara pembahasan yang paling penting terkait hukum adalah siapa yang memiliki otoritas membuat hukum bagi manusia, apakah Allah ataukah manusia? Dalam Kitab Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 3 Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan sebagai berikut.

• Pertama, berkenaan dengan fakta perbuatan dan benda, apakah sesuai atau tidak dengan naluri manusia, maka manusia dengan akalnya bisa menentukan hukum dan penilaian akan hal itu, seperti pandai itu terpuji, dan bodoh itu tercela.

Akan tetapi, hukum atau penilaian atas perbuatan dan benda itu di dunia, serta dilihat dari aspek pahala dan siksa di akhirat, tidak diragukan lagi bahwa yang menentukan hukum dan penilaiannya adalah Allah, bukan manusia. Misalnya, keimanan adalah terpuji dan kekufuran adalah tercela. Ketaatan adalah terpuji dan kemaksiatan adalah tercela. Oleh karenanya, akal manusia yang terbatas tidak mampu menentukan hal tersebut.

• Ke dua, menetapkan hukum dan penilaian, apakah suatu perbuatan terpuji atau tercela, tidak bisa diserahkan kepada kecenderungan fitri yang ada pada manusia.

Pasalnya, kadang-kadang hal-hal yang sejalan dengan kecenderungan fitri tersebut justru, termasuk perbuatan yang tercela, seperti zina, homoseksualitas, dan yang lainnya. Oleh karena itu, menjadikan hukum berdasarkan kecenderungan fitri adalah suatu kesalahan yang nyata. Lagi pula, seandainya manusia dibiarkan membuat hukum, yakni dibiarkan memberikan penilaian, pasti akan menghasilkan hukum yang berbeda-beda sesuai perbedaan karakter individu dan zamannya.

Dengan demikian, yang berhak mengeluarkan hukum (al-Hakim) hanyalah Allah taʿālā. Allah adalah al-Mudabbir, Sang Pembuat hukum dan aturan. Alhasil, manusia harus tunduk patuh pada semua hukum dan aturan-Nya. Inilah yang akan mengantarkan kebaikan bagi manusia, baik di dunia maupun akhirat. Allah subḥānahu wa taʿālā memerintahkan mengambil semua hukum tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan di dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah: 208)

Mengambil Hukum Buatan Manusia, Apakah Kafir?

Kewajiban berhukum dengan hukum Allah (syariat Islam) adalah berkaitan dengan segala hal dan berlangsung sepanjang masa. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi, baik pada masa lalu, saat ini, maupun masa depan, kecuali ada hukumnya di dalam syariat Islam.

Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu Alkitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Islam.” (QS an-Nahl: 89)

Ada pun orang-orang yang tidak mengambil hukum Allah, melainkan mengambil hukum buatan manusia, maka Islam telah menetapkan bahwa status mereka sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, yakni kafir, zalim, atau fasik.

Hal ini dijelaskan Allah dalam QS al-Maidah ayat 44, 45, dan 47.

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS al-Maidah: 44)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Barang siapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS al-Maidah: 45)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Barang siapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS al-Maidah: 47)

Menurut penjelasan Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, di dalam Kitab Tafsir as-Sa’di, “Dan barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,” yakni dari kebenaran yang jelas dan ia memutuskan berdasarkan kebatilan yang diketahuinya, karena satu tujuan yang rusak, “… maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah termasuk perbuatan orang-orang kafir dan bisa jadi ia adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama, hal itu jika ia meyakini kebolehan dan kehalalannya, dan bisa pula ia merupakan salah satu dosa besar dan termasuk perbuatan kekufuran yang mana pelakunya berhak mendapat azab yang keras.

Dijelaskan di dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an bahwa Ibnu Mas’ud dan al-Hasan menafsirkan, “Ayat itu berlaku umum bagi siapa pun yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, baik dari kalangan umat Islam, Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya, orang tersebut membenarkan dan meyakini perbuatannya berhukum dengan hukum selain hukum Allah. Ada pun orang yang melakukannya, sedangkan ia berkeyakinan dirinya melakukan perbuatan yang haram, maka ia tergolong orang muslim yang berbuat fasik.”

Jelaslah, berhukum dengan selain yang diturunkan Allah akan menyebabkan kekufuran jika hal itu dilakukan dengan keyakinan (i’tiqadi). Jika tanpa disertai dengan keyakinan, maka tidak akan mengantarkan kepada kekufuran, melainkan kepada kezaliman ataupun kefasikan (lihat QS al-Maidah 45 dan 47).

Bolehkah Manusia Membuat Aturan?

Ada aturan yang bisa dibuat oleh manusia, tetapi hal itu harus bersumber dari nas-nas syarak. Hal itu tidak terkategori “membuat hukum” sebagaimana pembahasan di atas.

Segala hal yang berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semisalnya, serta segala macam bentuk benda/alat/bangunan yang bercorak kekotaan dan terlahir dari kemajuan sains dan teknologi, boleh diambil. Boleh juga membuat hukum dan aturan berkaitan dengan hal tersebut.

Hanya saja, hal tersebut dikecualikan jika terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam sehingga haram untuk mengambilnya. Ini dikarenakan semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidaklah berhubungan dengan akidah islamiah dan hukum-hukum syarak yang berkedudukan sebagai solusi terhadap problem manusia dalam kehidupan. Melainkan dapat dikategorikan ke dalam sesuatu yang mubah, dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya.

Dalil untuk ketentuan tersebut adalah ayat-ayat yang bersifat umum yang menerangkan bolehnya memanfaatkan seluruh benda yang ada di alam semesta bagi kepentingan manusia.

Juga berdasarkan hadis Nabi Muhammad ﷺ, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian. Jika aku perintahkan kepada kalian mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan agama kalian, laksanakanlah perintah itu. Akan tetapi, jika aku perintahkan kalian mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan dunia kalian, ketahuilah aku ini hanyalah manusia biasa.” (HR Muslim)

Juga berdasarkan hadis Nabi ﷺ tentang penyerbukan kurma sebagaimana sabdanya, “… Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian.” (HR Muslim)

Juga berdasarkan tindakan Nabi ﷺ tatkala mengutus beberapa sahabatnya ke suatu daerah di Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata perang. Atas dasar inilah, setiap perkara yang tidak termasuk masalah akidah atau hukum syarak, boleh untuk diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam dan sepanjang tidak terdapat dalil khusus yang mengharamkannya.

Bolehkah Mengambil Demokrasi sebagai Sandaran Hukum?

Selama ini memang ada pendapat yang menyamakan demokrasi dengan Islam karena adanya kesamaan dalam konsep tentang musyawarah. Dalam QS Ali Imran ayat 159 Allah subḥānahu wa taʿālā memang memerintahkan untuk bermusyawarah, “Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”

Akan tetapi, sebenarnya ada perbedaan yang sangat mendasar antara konsep musyawarah di dalam demokrasi dan musyawarah di dalam Islam. Dalam demokrasi, musyawarah dilakukan dalam segala hal, dalam segala urusan, termasuk urusan kenegaraan, memecahkan masalah, hukum, dan aturan semuanya. Sementara itu, di dalam Islam tidaklah demikian. Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Kitab Syakhsiyyah Islamiyyah Juz 1, pengambilan pendapat di dalam Islam tidak selalu dengan musyawarah, tetapi dibagi menjadi tiga hal.

• Pertama, jika berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya mubah, misal terkait sarana dan prasarana, dibolehkan bermusyawarah dan voting (pengambilan suara) untuk pengambilan pendapat,

• Ke dua, jika berkaitan dengan hukum dan aturan, harus dikembalikan pada hukum Allah (syarak) sehingga tidak dikembalikan kepada musyawarah.

Contohnya terkait masalah prostitusi yang merajalela. Kalau dalam sistem demokrasi, solusinya adalah dengan musyawarah atau voting. Akan tetapi, dalam Islam, tersebab jelas masalahnya bahwa zina adalah haram, maka tidak ada kompromi dalam masalah yang haram sehingga tentu saja tidak boleh solusinya diambil dengan musyawarah atau voting.

• Ke tiga, terkait hal-hal yang sifatnya membutuhkan keahlian dan pengetahuan yang mendalam, maka Islam menetapkan hal itu dikembalikan kepada ahlinya.

Misalnya, ketika perlu ditetapkan pada sebuah daerah apakah di situ membutuhkan jembatan yang kuat, kokoh, dan tahan terhadap gempa bumi, maka hal itu tidak dimusyawarahkan, juga tidak ditetapkan berdasarkan hukum syarak, melainkan dikembalikan kepada pendapat ahli dalam pembuatan jembatan.

Jelaslah, musyawarah di dalam demokrasi jauh berbeda dengan Islam. Adanya konsep musyawarah dalam demokrasi tidak lantas menjadi alasan kebolehan mengambil demokrasi yang sudah jelas haramnya karena menjadikan manusia sebagai sumber hukum.

Khatimah

Demikianlah, hanya hukum Allah yang harus diambil dan diterapkan untuk mengatur seluruh urusan umat manusia, baik terkait masalah individu, masyarakat, maupun negara.

Ada pun berhukum dengan hukum buatan manusia, dalam perkara dan urusan terkait hukum syarak dan akidah, maka itu adalah perbuatan haram. Jika hal itu dilakukan dengan keyakinan bahwa hukum Allah tidak benar dan tidak layak mengatur umat manusia, hal ini bisa mengantarkan seseorang pada kekufuran.

Sedangkan untuk hal-hal yang diperbolehkan oleh syarak, semisal mengambil ilmu dan teknologi demi untuk kemaslahatan umat manusia, selama di sana tidak bertentangan dengan ajaran Islam, boleh saja manusia membuat hukum dan aturannya.

Wallahualam bissawab. []

Sumber: Halima Noer

About Author

Categories