
Kegentingan Toleransi dalam Ancaman Hanyalah Narasi Buzzer Pemecah Belah
MUSTANIR.net – Islam adalah agama yang mengajarkan bagaimana menyikapi perbedaan, karena perbedaan adalah sesuatu yang tak dapat ditolak dari hukum alam.
Seperangkat hukum telah disiapkan oleh Islam bagaimana menyikapi perbedaan dalam keyakinan dan agama. Sejarah kesempurnaan Islam dimulai dari masa Rasulullah yang menjadikan Madinah sebagai negara yang dihuni oleh beragam keyakinan, tidak hanya Islam tapi ada juga di dalamnya Nasrani dan Yahudi bahkan penyembah api (Majusi).
Sesungguhnya mengajari toleransi umat Islam bagaikan menggarami lautan. Berabad-abad sejak masa Rasulullah ﷺ hingga runtuhnya Khilafah Islamiyyah Utsmaniyah di Turki, hukum Islam mampu mengatur perbedaan dalam agama dan keyakinan.
Córdoba, atau yang kita kenal dengan Andalusia adalah wilayah yang diperintah oleh Islam tapi umat yang beragama Islam tidaklah mayoritas.
Kota yang awalnya bernama Iberi Baht itu dibangun pada masa pemerintahan Romawi di Guadalquivir. Sejak saat itu, nama Córdoba mulai termasyhur. Penguasa Romawi bernama Lotheo pernah menguasai kota itu dan menjadikannya sebagai ibu kota negara Meridional Spanyol pada 169 SM. Julius Caesar, panglima militer dari Romawi juga sempat menaklukan Córdoba pada tahun 45 M. Lima abad kemudian, Córdoba berada dalam kekuasaan Bizantium di bawah komando Raja Goth Barat.
Sejarah Córdoba memasuki babak baru ketika Islam datang ke wilayah itu pada 711 M atau 93 H. Di bawah komando Tariq bin Ziad, tentara Islam yang membawa pesan dakwah dan berhasil menaklukkan Spanyol dari Goth Barat, memperdaya Visigoth.
Misi penaklukan yang dilakukan Tariq bin Ziad dilakukan atas perintah Musa bin Nusair, gubernur Afrika Utara, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik atau al-Walid I (705-715) dari Kekhilafahan Bani Umayyah yang dikumpulkan di Damaskus. Dengan dikuasainya Spanyol, 700 tentara kavaleri Islam yang dipimpin panglima perang Mugith ar-Rumi, seorang bekas budak, dengan mudah menguasai Córdoba.
Pada puncak kejayaannya Sultan Abdulrahman II, Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dan penuh toleransi –atau dalam bahasa Spanyol disebut convivencia. Kebijakan ini lahir dari tangan Abdurahman I, pemimpin kharismatik yang fasih bicara ihwal agama dan budaya di mimbar-mimbar masjid serta kerap menganggit puisi dan membacakannya di depan publik.
Selain menerbitkan harmoni sosial, kebijakan ini memberi kesempatan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk menjadi pejabat negara. Penerusnya, Abdurahman III, menjaganya dengan mengangkat Hasdai Ibn Shaprut, seorang Yahudi, sebagai penasihatnya dan Racemundo, seorang uskup Katolik Elvira, sebagai duta besar Córdoba untuk Konstantinopel.
Sejarah juga mencatat bagaimana Sholahuddin al-Ayyubi memperlakukan orang Nasrani dan Yahudi di Yerusalem setelah ditaklukkan. Melindungi mereka, membebaskan dengan keyakinannya dan memberikan akomodasi yang akan keluar dari Yerusalem ke wilayah Romawi dan di antara hingga perbatasan.
Utsmaniyah sebagai kekuatan Islam terbesar pada masanya memberikan tempat kepada Yahudi yang terusir dari Eropa, Galata adalah saksi bagaimana Khilafah Utsmaniyah memperlakukan manusia sebagai manusia.
Sungguh di sinilah penerjemah Islam rahmatan lil ‘alamiin dalam praktiknya harus dipahami secara komprehensif, sehingga tidak gagal paham yang akhirnya membuat fitnah kepada Islam dan kaum muslimin.
Maka narasi Islam radikal yang dikembangkan oleh para orientalis dan pemuja sekulerisme yang menjadi kacung kapitalisme yang menuduh Islam memecah belah, adalah fitnah keji dan kejam.
Kegentingan toleransi yang terancam adalah fitnah. Wallahu’alam. []
Sumber: Mas Farin