Cara Khilafah Mengatasi Makelar Proyek
Cara Khilafah Mengatasi Makelar Proyek
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Istilah makelar proyek begitu populer dalam negara yang menganut sistem Kapitalis, seperti saat ini, tak terkecuali Indonesia. Namanya makelar, jabatannya bisa macam-macam. Bisa pejabat, sampai tokoh LSM, ormas dan parpol. Semuanya menjalankan aksinya sebagai makelar, yang mengatur proyek. Lalu, bagaimana posisi mereka dalam Negara Khilafah? Bagaimana pula cara mengatasinya?
Makelar dalam Fikih
Makelar dalam fikih disebut simsâr, jamaknya samâsîr. Didefinisikan sebagai al-wâsith bayn al-bâ’i’ wa al-musytarî [perantara antara penjual dan pembeli], yang membelikan atau menjualkan barang. Pelakunya mendapatkan komisi [‘amulah], bisa dari hasil menjualkan, atau membelikan barang. Aktivitas samsarah ini boleh, karena praktiknya sudah ada sejak zaman Nabi saw. Nabi saw. pun mendiamkannya.
Hanya saja, yang menjadi masalah di sini bukanlah aktivitas samsarah biasa, tetapi samsarah yang melibatkan jabatan dan posisi tawar tertentu. Karena, yang menjadi makelar adalah pejabat yang mempunyai otoritas untuk memutuskan kontrak proyek tersebut. Jika pun bukan pejabat yang bersangkutan, boleh jadi keluarga, atau kroninya. Dalam konteks pejabat yang menjadi makelar, secara syar’i jelas tidak boleh. Begitu juga keluarga, atau kroni pejabat yang bersangkutan, juga tidak boleh.
Dalam konteks pejabat yang menjadi makelar, jelas tidak boleh, karena sebagai pemegang otoritas untuk memutuskan kontrak dia sudah dibayar oleh negara. Apa yang diputuskan adalah bagian dari kewenangannya, sehingga tidak boleh menerima komisi, karena untuk mengerjakan itu dia sudah digaji. Jika tidak disebut komisi, mungkin disebut hadiah atau gratifikasi, juga tidak boleh. Karena, hadiah atau gratifikasi tersebut terkait dengan kepentingan tertentu, yang untuk merealisasikannya pejabat tersebut sudah digaji. Jadi, hadiah atau gratifikasi di sini bisa masuk dalam kategori risywah [suap], yang diharamkan.
Ini seperti kasus Ibn Utbiyyah, ketika datang menyerahkan hadiah kepada Nabi saw. seraya berkata, “Ini untuk-Mu, dan ini dihadiahkan untukku.” Ketika Nabi saw. mengetahuinya, kemudian baginda menyampaikan khutbah di hadapan para sahabat seraya bersabda, “Aku telah mengutus seseorang untuk menjadi petugas, lalu dia datang membawa hadiah, seraya mengatakan, “Ini untuk-Mu dan ini untukku.” Tidakkah sebaiknya dia duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu dia perhatikan, apakah dia akan mendapatkan hadiah.” Jadi, hadiah dan gratifikasi karena jabatan jelas haram, sama dengan risywah.
Begitu juga dengan keluarga dan kroni pejabat yang bersangkutan. Jika mereka bertindak sebagai makelar, sebenarnya posisi mereka merupakan kepanjangan tangan pejabat tersebut. Hanya saja, disiasati agar tidak tampak secara langsung, maka keluarga atau kroninya yang disetting untuk melakukan samsarah. Dalam hal ini, status hukumnya sama dengan ketidakbolehkan samsarah, jika dilakukan sendiri oleh pejabat tersebut. Demikian juga hadiah dan gratifikasi yang diberikan kepada keluarga atau kroni pejabat, status hukumnya juga sama seperti ketika diberikan langsung kepada pejabat tersebut. Karena, melalui merekalah proyek tersebut akhirnya diberikan.
Bagaimana Mengatasi Makelar Proyek?
Praktik makelar proyek seperti ini jelas haram. Keharaman ini akan bertambah haram, ketika proyek tersebut diberikan kepada yang tidak berhak untuk mengelola. Misalnya, proyek atas kepemilikan umum yang diserahkan kepada swasta, bahkan swasta asing. Lebih haram lagi, jika swasta asing itu negara penjajah. Jika ini terjadi, bagaimana cara Khilafah menghentikan semuanya?
Pertama, jika praktik ini dilakukan oleh pejabat di bawah Khalifah, maka Khalifah bisa membatalkan proyek tersebut. Alasannya, untuk menghentikan penyimpangan [kemunkaran]. Jika Khalifah tidak mengetahui, maka pejabat lain yang tahu, parpol, atau masyarakat bisa mengadukan kepada Khalifah untuk diambil menghentikan pelanggaran ini. Jika Khalifah tidak mendiamkan pelanggaran ini, maka pejabat lain yang tahu, parpol, atau masyarakat bisa mengajukan kasus ini kepada Mahkamah Mazalim. Mahkamah Mazalimlah yang akan menghentikan pelanggaran ini.
Kedua, jika praktik ini dilakukan oleh Khalifah, dan atau melibatkan Khalifah, maka parpol atau masyarakat bisa mengajukan kasus ini kepada Mahkamah Mazalim. Mahkamah Mazalimlah yang akan menghentikan pelanggaran ini.
Ketiga, jika praktik ini dilakukan oleh keluarga atau kroni Khalifah, tanpa keterlibatan Khalifah di dalamnya, yang menimbulkan kerugian kepada negara, maka Khalifah bisa menghentikan pelanggaran ini melalui kewenangan yang dimilikinya. Jika Khalifah tidak menghentikan pelanggaran ini, maka Khalifah bisa diingatkan oleh Majelis Umat, parpol dan masyarakat. Jika ini tidak diindahkan, maka Mahkamah Mazalim bisa mengambil tindakan untuk menghentikan pelanggaran ini.
Mengenai bentuk pelanggarannya bisa mulai dari status komisi, hadiah dan gratifikasi yang diharamkan, sampai penguasaan proyek yang tidak sesuai peruntukan. Misalnya, pengelolaan Migas yang seharusnya iserahkan kepada perusahaan milik negara, ternyata diserahkan kepada swasta, bahkan swasta asing negara penjajah. Maka, semua pelanggaran ini harus dihentikan seketika.
Komisi, hadiah dan gratifikasi yang haram tersebut, misalnya akan diambil dan dimasukkan ke kas Baitul Mal, di pos dana haram. Sedangkan, proyek pengelolaan yang salah tersebut dibatalkan, dan diserahkan kepada perusahaan milik negara. Sedangkan pelaku yang terlibat di dalamnya bisa dikenai sanksi, mulai dari mutasi jabatan, pemberhentian hingga sanksi ta’zir yang pantas diberikan.
Bahkan, jika mereka terbukti menjadi agen [komprador] negara Kafir penjajah, maka sanksinya lebih berat lagi. Ini karena, mereka tidak saja melakukan pelanggaran, tetapi juga pengkhianatan terhadap Allah, Rasul-Nya dan umat.
Ketika Transaksi Diatur di Luar Negeri
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa banyak proyek diatur di luar negeri. Jika wilayah tersebut tidak termasuk wilayah yuridiksi Khilafah, dan Khalifah mengetahui praktik tersebut, maka meski kejahatan tersebut tidak terjadi di wilayahnya, namun Khalifah tetap harus mengambil tindakan tegas.
Pertama, Khalifah bisa mengeluarkan peringatan hingga ancaman kepada negara yang bersangkutan, karena telah menjadi sarang kejahatan yang dilakukan terhadap Khilafah. Pesannya jelas, negara tersebut diminta dengan segera menghentikan praktik kejahatan tersebut. Menangkap dan menghukum pelakunya.
Kedua, jika negara yang bersangkutan tidak bersedia, bahkan terus menerus membiarkan praktik kejahatan terhadap Khilafah tersebut dilakukan di wilayahnya, maka negara tersebut bisa dianggap telah melakukan kejahatan yang sama. Dalam hal ini, Khilafah bisa mengumumkan perang kepada negara tersebut. Menangkap dan menghukum pelakunya. Termasuk rakyat negara Khilafah yang terlibat di dalam kejahatan tersebut.
Tindakan yang terakhir ini pernah dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II, ketika mengirim pesan kepada pemerintah Inggris dan Perancis agar menghentikan pementasan drama yang menghina Nabi Muhammad saw. Penghinaan kepada Nabi saw. adalah bentuk kejahatan yang dilakukan terhadap Islam dan kaum Muslim, sama seperti kejahatan “mengatur proyek” yang dilakukan terhadap Khilafah.
Dengan cara seperti itu, maka tidak ada yang akan berani melakukan persekongkolan untuk melakukan kejahatan terhadap Negara Khilafah. Semuanya itu hanya bisa diwujudkan dengan Khilafah, dengan sistem syariahnya yang luar biasa, dan manusia-manusia yang bertakwa kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.