
(nahimunkar.org)
Corak Otoritarian Presiden dalam Omnibus Law
MUSTANIR.net – Pasca Reformasi, konstitusi diamandemen agar sejalan dengan kehendak rakyat serta cita negara hukum. Masalah checks n balances juga menjadi perhatian.
Terkait sistem pemerintahan, terdapat perubahan corak yang sangat signifikan. Negara totaliter ala Orba dengan pendekatan kekuasaan sentralistik, dikaji dan dikoreksi secara signifikan. Ide pemerintahan yang desentralistik, mulai diadopsi.
Namun RUU Omnibus Law Cipta Kerja nampaknya dirancang dengan corak sentralistik, dengan mengambil alih sejumlah kewenangan pemerintah daerah oleh pemerintah pusat. Baik dalam hal tata kelola ruang, lingkungan, perijinan, dan berbagai aspek pengelolaan daerah yang sebelumnya di dalam berbagai undang-undang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, dikoreksi total (dihapus) dan kewenangannya diambil oleh pemerintah pusat.
Misalnya saja diihilangkannya kewenangan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten dan kota dalam penyelenggaraan penataan ruang melalui penghapusan pasal 10 dan pasal 11 Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik 15 Indonesia nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4725).
Sebelumnya, Pemerintah Daerah (baik tingkat provinsi, kabupaten dan kota) diberi wewenang dalam hal penyelenggaraan penataan ruang, baik pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota.
Termasuk kewenangan pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
Namun dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja khususnya di pasal 18, kewenangan Pemerintah Daerah dalam hal penataan ruang berdasarkan ketentuan pasal 10 dan pasal 11 Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dihapus.
Hal mana jelas bertentangan dengan prinsip pemerintahan daerah yang memiliki wewenang menyelenggarakan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Semestinya, pemerintahan daerah diberi kewenangan penuh untuk mengatur pemerintahan daerah, termasuk urusan tata ruang daerah, kecuali dalam urusan pemerintahan absolut yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, yakni urusan pemerintahan di bidang: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama.
Dengan demikian RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah merampas kewenangan daerah dan mengalihkannya ke pemerintah pusat (presiden). Keadaan ini akan menjadikan corak pemerintahan yang sebelumnya desentralistik menjadi sentralistik, presiden berpotensi menumpuk kekuasaan eksekutif.
RUU ini akan menyebabkan Pemda kehilangan sejumlah wewenang mengelola daerah, karena sejumlah UU yang memberi kewenangan daerah dihapus (tidak saja pada UU Tata Ruang). RUU Omnibus Law berpotensi menjadikan presiden menumpuk kekuasaan dan bertindak diktator dan otoriter.
Apalagi melalui draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja pasal 170 jo pasal 167, paradigma otoriter sangat terlihat kental. RUU Omnibus law ini ingin mengatur dan memberikan wewenang kepada pemerintah agar dapat mengubah undang-undang cukup melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Karena itu, aneh jika ada pemerintahan daerah atau masyarakat umum termasuk legislator di Senayan yang setuju dengan RUU ini. RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah ancaman bagi tata kelola pemerintahan yang proporsional dan seimbang, termasuk ancaman bagi kekuasaan yudikatif dan eksekutif yang akan dikangkangi oleh lembaga eksekutif (presiden). []
Sumber: LBH Pelita Umat