Corona, Globalisasi, dan Dalil Giddens tentang Kapitalisme
Tak hanya itu, sebanyak 219.199 warga dunia dari puluhan negara terpapar virus corona. Hingga Kamis (19/3/2020), sebanyak 8.939 warga dunia menemui ajal, mati akibat virus yang terdeteksi pertama di Provinsi Wuhan, Republik Rakyat China (RRC). Corona jadi ancaman dunia. Nyaris sebagian besar negara di dunia terpapar corona, tak peduli negara maju, berkembang, dan negara terbelakang.
Di RRC, negara pertama kali terdeteksi corona, tingkat kematian mencapai 3.249 orang dengan jumlah warga terpapar 81.155 orang. Italia di posisi kedua dengan jumlah warga terpapar 35.713 dan kematian 2.978 orang. Iran di tempat ketiga dengan jumlah warga terpapar 17.361 orang dan kematian 1.135 orang.
Selanjutnya, Spanyol jumlah warga terpapar 14.769 orang dan kematian 638 orang, Jerman warga terpapar 12.327 orang dan kematian 28 orang, Amerika Serikat warga terpapar 9.403 orang dan kematian 150 orang, Jepang jumlah warga terpapar 889 orang dan kematian 29 orang, Prancis jumlah warga terpapar 9.045 orang dan kematian dengan 243 orang, Korea Selatan jumlah warga terpapar 8.565 orang dan kematian 91 orang, Israel dengan jumlah warga terpapar 529 dan kematian nihil, dan Qatar dengan jumlah warga terpapar 452 orang dan kematian nihil (Johns Hopkins University, Baltimore, Amerika Serikat, 2020 sebagaimana dilaporkan BBC, 19 Maret 2020).
Virus corona membuat warga dunia tersentak, was-was, khawatir, dan dihantui ketakutan. Corona berdampak pada perekonomian Indonesia. Kurs mata uang rupiah terkoreksi cukup tajam. Kini telah mencapai 16.000 rupiah per satu dolar Amerika Serikat. Ini dipastikan bisa berakibat berat pada struktur APBN Indonesia.
Terlebih lagi, negara ini masih dibebani pembayaran utang yang tak nilainya tak kecil. Virus corona adalah faktor nonteknis yang sangat mungkin tak dikalkulasi bakal menghantam perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi global dan banyak negara kemungkinan besar terkoreksi seiring dengan wabah global ini.
Wabah virus corona menjadi problem global dan menjadi fenomena khas globalisasi di awal abad XXI. Globalisasi hakikatnya proses bersifat top down: Pembentukan sebuah sistem global tunggal yang menjejakkan kaki-kakinya di seluruh belahan dunia.
Dalam pandangan ini, globalisasi berkait erat dengan homogenisasi, di mana keragaman kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik dihancurkan di sebuah dunia di mana kita semua menyaksikan program televisi yang sama, membeli komoditas ekonomi yang sama, memakan makanan yang sama, mendukung bintang olahraga yang sama, dan mengikuti gaya antik dari selebriti yang sama (Andrew Heywood, 2014; Hal: 245).
Dalam konteks ini, di era globalisasi kita menyaksikan jenis wabah virus yang sama: Corona, yang menghantam sebagian besar negara di dunia. Tak peduli negara kaya seperti Amerika Serikat, atau negara baru kaya seperti RRC, negara berkembang menuju maju seperti Indonesia, dan negara nyaris di ambang kebangkrutan seperti Venezuela, karena hiperinflasi, jebloknya harga minyak dunia, dan mismanajemen politik dan ekonomi. Mereka semua terserang wabah virus yang sama: corona. Ke depan, bakal tercatat dalam sejarah peradaban dunia bahwa virus corona telah mengiring globalisasi era masyarakat industri 4.0.
Dalam pandangan Kenichi Ohmae (1989), globalisasi adalah dunia tanpa batas. Globalisasi bukan hanya menunjuk pada kecenderungan di mana batas-batas politik tradisional, yang didasarkan pada batas-batas nasional dan negara bersifat statis, jadi semakin lunak dan kurang bermakna. Tapi sekaligus globalisasi juga mengimplikasikan bahwa pembagian masyarakat yang sebelumnya dipisahkan waktu dan ruang semakin tak signifikan dan tak relevan lagi. Apa yang terjadi di Wuhan China pada akhir 2019 lalu kini menjadi global pandemic dan warga dunia membicarakannya.
Hanya benua Antartika yang belum terjamah virus corona. Benua Asia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Australia disapa corona. Manajemen politik pemerintahan masing-masing negara yang terpapar corona pusing tujuh keliling dan berpikir keras membentengi rakyatnya agar hidupnya tak berakhir karena corona.
Dalam perspektif ekonomi bisnis, globalisasi hakikatnya merupakan pengintegrasian masyarakat ekonomi dunia, yang tak lagi mengenal batas dan wilayah produksi. Dalam konteks ini, pembagian kerja yang efisien, efektif, dan profitable dari satu negara atau satu multinational corporation yang bakal menguasai pasar dan memenangkan pertarungan global.
Dalam bahasa Scholte (2005), globalisasi terkait dengan pertumbuhan hubungan-hubungan suprateritorial antara masyarakat di seluruh dunia. Di mana aliran uang elektronik sekarang dapat melintasi seluruh penjuru dunia dalam sekali ketukan pada tombol sebuah komputer, yang memastikan mata uang dan pasar finansial yang lain bereaksi hampir seketika terhadap peristiwa ekonomi di mana pun di dunia.
Sekali pun kemajuan ilmu kedokteran dan farmasi berkembang sangat pesat, kini yang mengglobal bukan hanya uang elektronik, tapi sekaligus wabah virus corona, yang mengancam keselamatan dan kesehatan masyarakat dunia.
Coronaisasi adalah fenomena wabah virus corona yang mendunia di era globalisasi. Di titik lain, dalam perspektif globalisasi kebudayaan digambarkan adanya proses yang disebut McDonaldisasi (Andrew Heywood, 2014; Hal: 247). Globalisasi kebudayaan dimaknai sebagai informasi, komoditas, dan gambaran yang telah diproduksi di satu wilayah dunia masuk ke dalam sebuah aliran global yang cenderung menipiskan perbedaan kebudayaan antarbangsa, wilayah, dan individu. Ini yang digambarkan dan disebut proses McDonaldisasi.
Meskipun penjualan barang-barang ke seluruh dunia membutuhkan kepekaan terhadap kebudayaan dan praktik sosial pribumi. Glokalisasi, regionalisasi, dan multikulturalisme adalah fenomena yang selalu mengiringi trend globalisasi. Ketiganya tak bisa disebut sebagai antitesa globalisasi.
Globalisasi dalam perspektif politik, ekonomi, dan kebudayaan makin menapakkan posisinya ketika ideologi kapitalisme menang vis a vis komunisme di akhir abad XX. Kebangkrutan komunisme Uni Soviet dan pilihan Deng Xiao Ping mengakomodasi dalil-dalil ekonomi pasar untuk menata ekonomi China sepeninggal Mao Zedong, dengan tetap mempertahankan sistem politik berpaham sosialis Stalinis, menempatkan kapitalisme sebagai sistem tunggal yang mengatur ekonomi dan perdagangan dunia.
Di ranah politik, liberalisasi politik menjadi fenomena yang menggejala di mana-mana, dengan ekspor demokrasi sebagai komoditas politik global yang mempesona banyak negara di dunia, khususnya negara-negara yang baru mengalami transisi demokrasi dari era sebelumnya: otoritarian atau totalitarian. Negara yang bergerak dari level ademokratis ke level demokratis, seperti pada banyak negara di Asia dan Afrika. Fenomena Arab spring setelah tahun 2010 di kawasan MENA (Middle East and North Africa) meneguhkan fenomena menguatnya liberalisasi politik di banyak negara yang sebelumnya rezim politiknya berkarakter otoritarian atau totalitarian.
Liberalisasi politik dan kapitalisme usaha (pasar) adalah keniscayaan yang merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Para ekonom klasik seperti Adam Smith dan David Richardo, yang kemudian diperbaharui para teoritikus ekonomi modern lainnya, seperti Milton Friedman dan Friedrich von Hayek meyakini bahwa persaingan pasar adalah kenyataan yang tak mungkin dihalangi. Pasar adalah sebuah mekanisme yang mengatur diri yang selaras dengan prinsip laissez-faire. Karena itu, produktivitas yang tinggi dan fleksibilitas kerja sangat penting dalam konteks pemaksimalan profit korporasi (Andrew Heywood, 2014; Hal: 228).
Karena itu, di mata Anthony Giddens, negara kapitalis dapat disamakan dengan konsep masyarakat kapitalis. Sebab, negara-bangsa dan batasan mekanisme pembatasan definisi merupakan dasar yang penting pada sifat kapitalisme. Itu yang kemudian menjadi salah satu ciri penting dari lima klasifikasi masyarakat kapitalis menurut Giddens.
Empat klasifikasi lain masyarakat kapitalis menurut Giddens antara lain:
Pertama, layanan tatanan ekonomi sebagai basis utama produksi barang dan jasa di mana keseluruhan populasi masyarakat bergantung. Ketika ciri kapitalisme semacam ini digabungkan dengan pentingnya struktur ekonomi dengan siklus investasi, laba, dan investasi kembali, maka keputusan ekonomi dan pelakunya pasti mencapai satu hal penting dalam masyarakat kapitalis yang tak bisa diterapkan pada masyarakat prakapitalis.
Ciri ke dua, mendasari hal penting itu, perputaran itu digabungkan dengan perburuhan yang diperluas dan produk pasar untuk membentuk pemisahan kondisi ekonomi dari perekonomian dan politik Eropa yang feodal secara vertikal dan horisontal.
Ke tiga, pemisahan atau penyekatan itu diperkirakan berada pada kekayaan individu dalam alat-alat produksi.
Dan ke empat, pemisahan pemerintahan (politik) dan perekonomian (ekonomi) dalam tatanan institusional masyarakat yang kompleks antara kegiatan negara dan kegiatan properti swasta adalah satu hal yang mesti terjadi (David Goldblatt, 2019; Hal: 32).
Karena itu, pemerintahan sebaiknya lepas dari bisnis. Itu jadi salah satu implikasi penting dari globalisasi ekonomi, di mana berkurangnya kapasitas pemerintahan nasional mengatur dan mengelola ekonomi mereka dan, terutama, untuk menolak restrukturisasi mereka selaras dengan garis-garis pasar bebas.
Wabah virus corona yang menglobal seperti sekarang bukan sekadar sebagai tantangan bagi negara, korporasi multinasional (terutama di bidang farmasi), dan profesional bidang kesehatan untuk menemukan panacea penawarnya. Virus corona bisa juga diposisikan dalam bingkai narasi akses ekonomi bisnis sangat besar nilainya ketika obat penawarnya berhasil ditemukan dan diproduksi secara massal. Dalam konteks ini, antara virus corona, globalisasi, dan kapitalisme pasar menemukan relevansinya. []
Sumber: Ainur Rohim, Ketua PWI Jatim