Dakwah kepada Keluarga
“Semut di seberang lautan terlihat, gajah dipelupuk mata tidak terlihat,” mungkin benar juga peribahasa Indonesia yang satu ini. Kita seringkali lupa, bahwa ada yang dekat yang terlupakan. Kita seringkali lupa, bahwa berdakwah.. yang pertama adalah kepada kerabat.
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”, Quran Surat As-Syu’ara ayat 214 merupakan wahyu pertama yang turun berkaitan dengan beban dakwah dan risalah yang dipikul oleh Rasullah dan juga komunitas orang-orang mukmin yang saat itu mulai terbentuk.
Setelah turun ayat tersebut, Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam mengundang seluruh keluarga bani Hasyim dan mereka pun memenuhi undangannya bersama beberapa orang dari bani Muthalib bin Abdi Manaf yang berjumlah 45 orang. Ketika Rasulullah akan memulai pembicaraan, Abu Lahab mendahului pembicaraan dengan berkata, “Mereka yang hadir memenuhi undanganmu adalah paman-pamanmu dan anak-anaknya, maka bicaralah dan janganlah bersikap kekanak-kanakkan. Ketahuilah bahwa tidak ada orang Arab yang berani menyernyitkan dahi terhadap kaummu. Dengan begitu, aku berhak menghukummu. Biarkanlah urusan bani bapakmu. Jika engkau tetap bertahan dengan urusan ini, maka itu lebih mudah bagi mereka dari pada seluruh kabilah Quraisy menerkammu dan semua bangsa Arab ikut campur tangan. engkau tidak pernah melihat seorang pun datang dari bani bapaknya yang pernah berbuat macam-macam seperti yang engkau perbuat saat ini.” Rasulullah pun diam dan tidak berbicara sedikitpun dalam pertemuan itu.
Kemudian Rasulullah mengundang mereka (baca: kerabat Rasulullah) untuk yang kedua kalinya, beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya, percaya serta tawakal kepada-Nya dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya”, kemudian beliau melanjutkan lagi. “Sesungguhnya seorang pemandu itu tidak akan mendustakan keluarganya. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian secara khusus dan kepada manusia pada umumnya. Demi Allah, kalian akan mati seperti halnya kalian sedang tidur nyenyak dan kalian akan dibangkitkan layaknya kalian terbangun dari tidur, lalu kalian akan dihisab atas apa yang telah kalian perbuat, lalu di sana ada surga dan neraka yang abadi.”
Lalu membaca kisah di atas, kita kembali diingatkan. Bahwa mungkin, ada saudara kita yang mungkin terlupa. Bahwa mungkin, kita terlalu kita sibuk berdakwah pada mereka yang ‘jauh’, sehingga mereka yang di dekat kita justru tidak merasakan kehangatan dakwah. Ya, membaca kisah di atas, kembali mengingatkan kita. Bahwa bisa jadi, kita terlalu fokus pada yang jauh, padahal yang di dekat kita lebih membutuhkan nasihat, pengingat, atau ajakan. Meski sekedar dengan ketuk pelan setiap subuh hendak menjelang. Meski sekedar, dengan senyum di bibir tiap kali berjumpa.
Di pertemuan kedua itu, Abu Thalib berkata, “Kami tidak ingin menolongmu, menjadi penasihatmu serta membenarkan perkataanmu. Orang-orang yang menjadi bani bapakmu ini sudah bersepakat, dan aku ada di antara mereka, tetapi akulah orang pertama yang mendukung terhadap apa yang engkau sukai, maka lanjutkanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Demi Allah, aku senantiasa menjaga dan melindungimu, tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain untuk meninggalkan agama Abdul Muthalib.”
Abu Lahab berkata, “Demi Allah, ini adalah kabar buruk. Lakukanlah sesuatu sebelum orang lain melakukannya.” Abu Thalib menimpali, “Demi Allah, kami akan tetap melindunginya selama kami masih hidup.”
Dan seperti halnya berdakwah kepada mereka yang ‘jauh’, berdakwah kepada kerabat juga sama. Akan ada orang-orang yang menolak dengan frontal apa yang kita sampaikan. Ada juga yang tidak membenarkan, namun tidak memusuhi kita. Dan semoga, ada juga hati-hati yang tergerak, memperoleh cahaya hidayah dari-Nya, melalui dakwah yang kita lakukan.
Maka membaca kisah di atas, membuat kita bertanya pada diri. Adakah nasihat kerabat yang kita sikapi dengan buruk? Atau adakah ajakan kebaikan dari ia yang dekat, yang sering kita respon, justru dengan penolakan yang kasar? Atau?
Akan selalu ada hikmah yang menanti untuk ditemukan, pada kisah hidup Sang Rasul, Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam. Mari kembali tengok lagi Sirah Nabawiyah, kemudian biarkan diri takjub pada sosoknya, hingga setiap langkah, inginlah kita berteladan padanya. Kemudian menjadikan kehidupan dakwah menjadi tradisi keluarga kita, sebagaimana Rasulullah berdakwah pula.