MUSTANIR.net – Berbicara soal demokrasi, kiranya kita perlu kembali memahami sejarah tentang demokrasi, di mana John Hobson (1918) menyimpulkan bahwa demokrasi lahir dari penggunaan kekuatan secara langsung dan penuh dengan pemaksaan oleh mayoritas terhadap minoritas sehingga tidak relevan untuk diterapkan dalam sebuah sistem bernegara.

Kekhawatiran atas tirani mayoritas inilah yang membuat para pendiri AS menolak demokrasi pada saat kemerdekaan mereka tahun 1776. Mewakili pandangan dominan saat itu, Thomas Jefferson, Presiden Amerika Serikat ke tiga, seorang penulis Deklarasi Kemerdekaan Amerika berpendapat bahwa, “Demokrasi tidak lain hanyalah aturan rimba, di mana 51% orang merampas hak 49% lainnya.” [1]

Namun euphoria dan hegemoni dunia Barat dalam memposisikan demokrasi sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan kini memposisikan demokrasi sebagai sebuah produk yang sacral tak tersentuh, tak peduli betapa demokrasi pada hakikatnya adalah kekerasan yang dijadikan justifikasi untuk menyerang dan melawan sistem ideologi lainnya.

Proses demokratisasi di dunia masih terus berlanjut. Dengan dalih demokratisasi, negara yang selama ini “mengekspor” ideologi demokrasi, yaitu Amerika, dengan mudahnya berperang melawan negara yang dianggap selama ini belum berdemokrasi dengan baik. Dengan dalih demokrasi, Amerika dengan mudahnya memberikan bantuan kepada negara lain. Dengan dalih demokrasi, Amerika mau bekerja sama lebih jauh dengan negara lain. Dengan demokrasi, Amerika berdalih untuk apa pun.

Amerika sebagai negara yang mengaku paham dan telah melaksanakan sepenuhnya prinsip-prinsip demokrasi, seolah menjadi “pengadil” dalam “menghukum” bangsa mana yang melakukan “penindasan” terhadap rakyatnya. Hal ini karena sistem politik non demokrasi dianggap sebagai sistem politik otoriter, totaliter, sistem diktator, rezim militer, rezim satu partai, monarki absolut, dan sistem komunis.

Tapi apakah dengan ingin menegakkan demokrasi, lantas Amerika dan sekutunya boleh melanggar kedaulatan negara lain. Coba bayangkan, sekiranya Indonesia dianggap sedang melakukan penindasan/pelanggaran HAM. Kemudian Amerika yang mempunyai kekuatan diplomasi di PBB dan organisasi dunia lainnya memutuskan untuk mengintervensi negara kita. Apakah kita bisa menerima hal itu?

Inilah yang pernah terjadi di Irak, Libya saat ini dan banyak negara lain di dunia yang pernah menjadi korban intervensi Amerika Serikat. Amerika seolah membawa bungkusan yang indah, namun di dalam bungkusan itu terdapat bom waktu yang bisa mengorbankan banyak warga sipil yang tidak berdosa.

Amerika Serikat menampilkan dirinya sebagai demokrasi yang paling maju dunia. Konstitusi Amerika Serikat dianggap konstitusi standar emas yang menyatakan setiap manusia dilahirkan setara dan menjamin kebebasan dan pengejaran kebahagiaan tanpa pandang keyakinan, ras atau jender.

Demokrasi telah banyak meninggalkan noda darah, karena melalui darah, Amerika mampu menunjukkan bahwa ia adalah negara yang mampu memberi donor pada negara-negara yang telah bersimbah darah. Apalagi jika merujuk kepada perkembangan kehidupan global saat ini, kekuatan-kekuatan yang mengatasnamakan demokrasi dilakukan dengan rekayasa yang kelihatannya cantik dan masuk akal dengan kampanye bahaya otoritarianisme, terorisme, radikalisme agama tertentu, dan lain sebagainya. Seolah menjadi pintu masuk diizinkannya penindasan yang dilakukan oleh negara yang didaulat sebagai pionir demokrasi terhadap suatu negara berdaulat.

Terorisme kejam dan radikalisme berbahaya, propaganda inilah yang menjadi fitnah yang selalu dituduhkan kepada kelompok tertentu. Apalagi ada kesan bahwa bangsa Amerika Serikat justru menjadi bangsa satu-satunya yang memiliki kemampuan menumpas terorisme dan radikalisme serta menjaga perdamaian, maka runtuhnya gedung World Trade Centre (WTC) pada tanggal 11 September 2001 menimbulkan kekuatan yang sangat besar dan menjadi momentum terciptanya sinergi di sebagian besar warga negara Amerika Serikat dan menciptakan kondisi warga negara Amerika Serikat yang siap membiayai suatu perang besar.

Dalam politik demokrasi, hal ini dikenal dengan the dark side of democracy (sisi gelap demokrasi). Melalui proses yang demokratis, akan terjadi transformasi kedaulatan menjadi kewenangan. Kewenangan inilah yang dimanfaatkan oleh Amerika dan sekutunya dalam mengintervensi negara-negara yang “tidak berdemokrasi dengan baik”. [2]

Akhirnya hukum besi oligarki muncul. Bangsa oligarki ini berkuasa berkuasa di dunia atas nama rakyat yang tertindas, selalu berusaha memperpanjang bahkan jika mungkin melestarikan dan memonopoli kekuasaan dan ekonomi yang dipegangnya dengan selubung ideology tertentu yaitu demokrasi. Dengan dalih consensus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bangsa oligarki ini menghancurkan setiap negara yang menentang dan mempertanyakan legitimasinya dengan berbagai macam tuduhan dan fitnah.

Demokrasi seolah menjadi pemanis bibir semata untuk kepentingan politik dan penguasaan ekonomi segelintir negara terhadap negara lain. Mereka menyuarakan demokrasi sekencang-kencangnya agar negara lain menjadi tunduk dan patuh dengan kepentingan mereka. []

Sumber:  Mohammad Mulyadi dalam Buku Falsifikasi Demokrasi: Berpikir Ulang Demokrasi (2019)

[1] https://www.academia.edu/6301555/thomas_jefferson, diakses 19 Oktober 2018.
[2] Mann, Michael, 2005, The Dark Side of Democracy Explaining Ethnic Cleansing, New York: Cambridge University Press.

About Author

Categories