Generasi Eskapisme, Pasar Besar Industri Kapitalis

MUSTANIR.net – Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Menpora RI) Dito Ariotedjo meluncurkan program Youth Mental Health Center di Media Center Kemenpora, Jakarta, Rabu (2-8-2023). Dalam situs resmi Kemenpora, ia menekankan pentingnya kesadaran dan pemahaman mengenai kesehatan mental.

Ini disebabkan berdasarkan survey Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), 1 dari 3 remaja Indonesia usia 10—17 tahun memiliki masalah kesehatan mental. Menurutnya, program kesehatan mental ini juga dirancang demi meningkatkan program pembangunan kepemudaan di Indonesia.

Pasar Kapitalis

Aktivis muslimah sekaligus ahli geostrategi Dr. Fika Komara menuturkan, pengambil kebijakan di Indonesia perlu melihat masalah ini lebih saksama, tidak hanya berhenti di aspek hilir saja sehingga terjebak pada sindrom perbaikan parsial.

“Ini karena terjadi eskapisme pada generasi muda yang menjadi pasar bagi industri kapitalis. Oleh karenanya, akar penyebab kesehatan mental yang menimpa remaja dan pemuda sebenarnya terjadi lebih sistemis dan perlu dilihat dengan lensa lebih besar. Tidak semata diperlakukan sebagai kasus-kasus personal,” ujarnya kepada MNews, Selasa (5-9-2023).

Ia menguraikan, selama ini jutaan remaja dan anak muda di Indonesia diasuh oleh produk-produk teknologi, gaya hidup, dan informasi hiburan kapitalistik.

“Mereka ditarget untuk menjadi penikmat/konsumen industri hiburan dan gaya hidup dari berbagai platform teknologi global,” ucapnya.

Berdasarkan laporan State of Mobile 2023, ulasnya, Indonesia dinobatkan sebagai negara yang paling kecanduan scrolling gawai di dunia dengan penggunaan menghabiskan lebih dari 5,7 jam sehari.

“Laporan itu juga menguak bahwa Indonesia merupakan pasar gim mobile terbesar ketiga di dunia dengan jumlah unduhan sebanyak 3,45 miliar pada 2022. Fenomena lain Indonesia juga memimpin konsumsi di Asia Tenggara terhadap layanan streaming film over-to-top (OTT) platform seperti Netflix, Viu, Prime Video, atau Disney Hotstar. Satu dari tiga orang Indonesia menonton konten OTT dan mereka mengonsumsi 3,5 miliar jam konten setiap bulannya,” bebernya.

Di sisi lain, tambahnya, remaja dan anak muda Indoesia yang merupakan negeri muslim terbesar ini, juga mengalami banyak tekanan dalam hidup baik dari sisi ekonomi, pendidikan, dan sosial.

“Biaya pendidikan yang makin tinggi, tekanan komersialisasi kurikulum yang padat, serta gaya hidup flexing/pamer di sosial media menimbulkan frustasi social. Belum lagi fenomena disfungsi keluarga muslim yang makin mewabah. Kehidupan yang depresif ini sebenarnya konsekuensi nyata dari jauhnya anak muda dari agama,” ungkapnya dengan melandaskan pada QS Thaha ayat 124,

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, ia akan menjalani kehidupan yang sempit.”

Eskapisme

Dr. Fika mengemukakan, interaksi kompleks faktor-faktor di atas, yakni tekanan hidup multidimensi serta arus marketing produk-produk teknologi hiburan kapitalistik, telah menimbulkan gejala serius yang disebut sebagai eskapisme di kalangan generasi muda.

“Eskapisme adalah sebuah mekanisme coping psikologis, yakni kondisi seseorang yang memiliki perilaku untuk menghindari (escape) pahitnya kenyataan atau peliknya masalah di dunia nyata dengan melarikan diri ke dunia lain. Umumnya dengan hiburan atau sumber kesenangan lainnya,” paparnya.

Lebih lanjut, jelasnya, fenomena eskapisme ini juga ditandai dengan intensnya ticket war di kalangan anak muda untuk bisa menghadiri konser-konser musik di Indonesia, terutama dari performer musik Barat dan Korea.

“Eskapisme yang terjadi secara massal, bisa jadi merupakan alarm berbahaya bagi suatu negeri, karena ancaman lost generation yang sekaligus menunjukkan hilangnya kapabilitas problem solver anak bangsa dalam menyelesaikan problem mereka,” ucapnya mengingatkan.

Ironisnya, ia menyayangkan, negara muslim seperti Indonesia belum memiliki regulasi yang kuat dalam melindungi generasinya akibat ketergantungan ekonomi dan teknologi dari pasar bebas globalisasi.

“Kalaupun ada UU ITE, itu lebih dominan pada pengaturan kebebasan berekspresi yang cenderung menjadi alat negara membungkam rakyat untuk bersikap kritis, bukan malah menertibkan platform-platform digital asing,” kritiknya.

Akibatnya, ia menyatakan, penjajahan digital yang asimetri berlangsung tanpa hambatan berarti.

“Platform-platform teknokapitalisme dengan rezim algoritmanya bisa dengan seenaknya mengendalikan konten apa yang menarik di mata anak muda, termasuk konten kebebasan, materialisme, feminisme, dan LGBT yang merusak moral dan mengeksploitasi syahwat anak muda,” tukasnya.

Apalagi, sambungnya, tingkat penetrasi internet di Indonesia sudah tergolong tinggi, mencapai 78%, jumlah pengguna internet di Indonesia, yakni mencapai 213 juta jiwa dari 280 juta jiwa populasinya.

“Walhasil, banyak platform teknokapitalisme melenggang masuk ke negeri ini dengan karpet merah sejak tiga dekade terakhir dan dengan gemilang telah ‘memangsa’ generasi muda muslim,” cetusnya.

Dari sini, urainya, mereka menganalisasi ihsas kaum muda yang masih tajam, semangat mereka yang bergelora, tenaga mereka yang masih prima, merusak moral dan fitrah kaum muda, merapuhkan mental, dan mengancam masa depan yang cerah bersama Islam.

“Lalu, di manakah kehadiran negara? Di mana peran mereka melindungi anak-anak muda dari bahaya nyata ini?” tanyanya lugas sekaligus mengingatkan dengan pesan Rasulullah yang diriwayatkan Muslim, “Imam adalah perisai di mana orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung.” []

Sumber: Muslimah News

About Author

Categories